NovelToon NovelToon
GITA & MAR

GITA & MAR

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda / CEO / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu / Fantasi Wanita / Pengasuh
Popularitas:5.3M
Nilai: 5
Nama Author: juskelapa

Gita yang gagal menikah karena dikhianati sahabat dan kekasihnya, menganggap pemecahan masalahnya adalah bunuh diri dengan melompat ke sungai.

Bukannya langsung berpindah alam, jiwa Gita malah terjebak dalam tubuh seorang asisten rumah tangga bernama Mar. Yang mana bisa dibilang masalah Mar puluhan kali lipat beratnya dibanding masalah Gita.

Dalam kebingungannya menjalani kehidupan sebagai seorang Mar, Gita yang sedang berwujud tidak menarik membuat kekacauan dengan jatuh cinta pada majikan Mar bernama Harris Gunawan; duda ganteng yang memiliki seorang anak perempuan.

Perjalanan Gita mensyukuri hidup untuk kembali merebut raga sendiri dan menyadarkan Harris soal keberadaannya.


***

Cover by Canva Premium

Instagram : juskelapa_
Facebook : Anda Juskelapa
Contact : uwicuwi@gmail.com


Nover ini belum rampung. Disarankan untuk membacanya setelah TAMAT.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

021. Bukan Sengaja

Teriakan Harris membuat kepala Mar terbentur pintu saat ia buru-buru menutupnya. Terbiasa bekerja dalam ruangan besar dan hanya terdiri dari kubikel-kubikel membuat Gita yang sedang menjadi Mar sulit menyesuaikan diri. Ia sampai kesal sendiri.

Mampus … mampus! Kena amuk lagi gue! Kenapa gue selalu lupa kalau di rumah ini ada Harris sebagai pengganti si Braja?

“Mar! Jangan pergi jangan bergerak! Tetap di tempat!” Teriakan Harris kali ini tidak main-main.

Mar hampir mengangkat kedua tangannya karena teriakan itu. Tubuhnya bergeming dan jantungnya berdebar. Ia bisa mengendus kemarahan dalam nada suara Harris.

Kalau Harris marah semua bisa kacau. Nasib Jaya dan Hasan yang jadi taruhan. Aku harus pasang muka gimana? Memelas? Kayaknya muka Mar udah memelas tanpa dibuat-buat. Atau aku harus akting nangis kayak ngadepin Braja? Atau ….

Atau-atau Mar yang lain tidak sempat selesai ia pikirkan karena Harris keluar dengan wajah berang.

“Mar, saya perlu bicara serius dengan kamu. Ikut saya ke bawah,” kata Harris, mendahului Mar menuju tangga.

Mar mengikuti langkah pria itu. Dari belakang ia harus mendongak melihat kepala Harris. Tinggi badannya sebagai Mar mungkin hanya setengah tubuh Harris.

Kalau gue di badan Gita, ngeliat sosok Harris pasti lebih asyik dari ketinggian normal. Ngeliat kuduknya malah bikin gue merinding.

Tak sengaja Mar terus mendongak dan sampai tak memperhatikan kalau Harris sudah berhenti melangkah. Ia menubruk pria itu dari belakang. Harris memang tidak bergeser dari posisinya. Sebagai ganti, Mar merasa kepalanya berdenyut.

Mar mengusap dahinya dengan wajah penuh sesal. “Maaf, Pak,” kata Mar.

“Saya menunggu permintaan maaf versi bahasa Inggris,” sahut Harris, memutar handle menuju ruang kerjanya di lantai satu. Wajahnya masih terlihat kesal.

“I apologize.” Mar membuat wajahnya semakin terlihat menyesal.

Harris diam saja memutari meja kerja dan duduk di kursinya. “Duduk," pinta Harris.

Melihat permintaan maafnya tak membuat Harris goyah, Mar membuat wajahnya lebih merana. Membuat raut wajah orang yang baru tertimpa musibah, kelaparan, tidak tidur berhari-hari dan menderita putus cinta. Mar membuat gabungan ekspresi wajah itu saat Harris menyatukan tangannya di atas meja dan mencondongkan tubuh.

“Mar? Kamu sehat? Tadi sepertinya kamu baik-baik aja sewaktu buka pintu kamar saya? Kenapa sekarang keliatan lebih … mengenaskan?” Harris mengernyit seakan sedang menatap kecoa; hewan yang ia takuti.

Kayaknya ekspresi meranaku berlebihan, deh. Harris ngeliat aku malah kayak ngeliat muntahan. Padahal biasanya ekspresi ini bekerja dengan baik di tubuh Gita. Ck.

Mar menyatukan kedua tangannya di depan perut dan kembali membuat gerakan penuh hormat pada Harris. Mar menunduk dalam-dalam. “Maafkan saya, Pak Harris. Lagi-lagi saya ceroboh. Tangan saya hanya terlalu gesit membuka pintu karena mengira Chika berada di kamar papinya. Harusnya saya mengetuk atau memanggil lebih keras. Sekali lagi ….” Mar membungkuk. “Saya minta maaf.”

Harris spontan mengangkat tangannya dari meja dan menjauh dengan menyandarkan punggung di kursi. Memandang Mar lekat-lekat dengan wajah ngeri. “Saya nggak ngerti dengan apa yang terjadi belakangan ini. Kamu ingat pembicaraan kita minggu lalu? Kamu sudah janji untuk membantu saya Mar.” Harris menggeleng frustasi.

Pembicaraan apa? Soal apa? Gimana nanyanya? Ayo … bergunakah pelatihan marketing tingkat dewa yang udah gue pelajari selama ini? Pikir lagi, Git. Pikir ….

“Soal minggu lalu … saya kira saya juga nggak yakin.” Mar kembali dengan gesture-nya yang biasa. Ia menunduk dengan dua jarinya mengait di belakang tubuh dan menunduk memandang kaki.

Harris kembali mencondongkan tubuh. “Kamu bilang nggak yakin? Kamu sudah setuju menjaga Chika. Saya sudah tambah gaji kamu. Bahkan kamu terima pembayaran di awal karena kamu ngomong ke saya suami kamu perlu modal usaha. Kamu lupa? Kenapa baru sekarang ngomong nggak yakin? Berarti karena itu kamu keluar-masuk rumah sesuka hati dan pulang ke rumah kapan pun kamu mau? Jangan kamu pikir saya nggak tau kalau kamu tadi pergi ninggalin Chika.” Harris menghempaskan punggungnya ke kursi dan membuang pandangannya ke tempat lain selama beberapa detik. Ia lalu kembali memperhatikan Mar yang berdiri menunduk di depannya. Biasanya setelah dimarahi Mar akan menangis, pikirnya. Harris sedang menunggu momen itu dan tangannya bersiap menyorongkan kotak tisu di meja. Tapi ternyata yang terjadi menjelang malam itu di luar dugaan.

BRAKK!

“Sebelum marah-marah kenapa Bapak nggak tanya dulu apa yang terjadi? Anak saya dateng ke sini dan ngomong kalau adiknya dipukul cuma karena numpahin air minum. Anak saya juga disiram semangkuk mi kuah. Menurut Bapak, gimana perasaan saya jadi ibunya? Dengan suami biadaab kurang ajar dan nggak tau diri kayak si Samsul, menurut Bapak, apa saya bisa membiarkan anak saya tetap tinggal di rumah?” Mar sampai tersengal-sengal karena bicara dengan nada yang sangat cepat. Sebuah hal yang mustahil dilakukan oleh seorang Mar sebenarnya.

“Gimana…gimana? Jadi benar apa kata Agung? Kamu memang membawa anak-anak kamu ke sini?” Suara Harris bertanya dengan nada biasa saja. Kekesalan yang pertama terdengar tadi berangsur hilang.

“Saya pergi nggak lama. Kalau bukan karena inget Chika di rumah, saya mungkin meluangkan banyak waktu buat ngelindes kepala Mona si tante berengsek itu pakai bakiak. Saya balik cepat-cepat ke sini buat minta Surti bantu mandiin Chika. Saya cukup tau diri untuk bikin anak bapak nggak terbengkalai. Saya juga tau tugas saya apa. Saya sadar saya digaji untuk itu.” Mar merasa matanya memanas.

Anjay … kenapa gue harus nangis, sih? Yang gue jalanin ini hidupnya Mar, bukan hidup gue. Jaya dan Hasan itu anaknya Mar, bukan anak gue. Tapi kenapa ngomongin mereka bikin gue sedih banget?

Mar menunduk dalam-dalam. Tak berani beradu pandang dengan sorot tajam Harris yang sedang menatapnya.

“Saya enggak bilang kalau anak kamu nggak boleh di sini. Tapi sebelum melakukan sesuatu koordinasi itu penting, Mar.”

“Saya juga enggak bilang kalau koordinasi itu nggak penting. Tapi bawahan harus bisa mengambil inisiatif saat atasan sedang tidak berada di tempat. Benar begitu, kan?” Kali ini Mar memberanikan diri menatap Harris.

Rahang Harris berkedut. Apa-apaan ini? Asisten rumah tangga yang jarang bicara dengannya kini malah bicara tak henti-henti. Dulu setiap mendengar ia berdeham saja Mar langsung diam. Mar selalu menghindari untuk berada satu ruangan dengannya. Sebegitu sungkannya seorang Mar pada dirinya. Dan Mar yang sekarang? Sedang menatapnya dengan sorot berapi-api. Ia tak heran kalau Mar yang sekarang bisa membakarnya hanya dengan menatap.

“Jaya dan Hasan sekarang berada di kamar saya dan Surti. Saya memang belum nanya ke Surti soal kebersediaannya sekamar dengan anak-anak saya. Tapi dia pasti bersedia kalau Bapak memberi izin. Jaya dan Hasan bukan anak-anak yang banyak tingkah. Bahkan Hasan yang harusnya banyak menangis karena seorang balita, malah lebih banyak tidur. Mereka anak-anak yang tidak ceria.” Mar merasa air matanya menetes dan ia maju selangkah untuk menarik selembar tisu di meja Harris.

Harris menggaruk dagu. Apologize bukanlah cara meminta maaf yang dipilih seorang Mar, pikirnya. Jangankan mengucap apologize, Mar yang biasa bahkan mungkin tak bisa mengeja kata sorry yang bermakna sama.

Tentu saja Harris masih memiliki kontrak kerja yang ditandatangani oleh Mar dan dibubuhkan nama lengkap dengan tulisan tangan asisten rumah tangganya itu. Biasanya tangan Mar selalu bergetar. Tiap menulis. Dan tulisannya pun tidak lebih bagus dari tulisan anak SD. Harris mengambil buku catatan dan pulpen mahal yang biasa berada di meja.

“Ambil tisu lebih banyak dan hapus air mata kamu. Jangan keluar dari sini sambil nangis. Saya tidak ada melakukan hal apa pun ke kamu. Kalau sudah, kamu bisa tulis permintaan maaf di sini.” Harris menyodorkan buku catatan dan pulpen ke hadapan Mar.

Mar mengusap air mata dan menatap buku catatan di depannya. “Tulis?”

“Kalau saya tulis permintaan maaf, apa Jaya dan Hasan boleh tinggal di sini sementara?”

Harris kembali mencondongkan tubuh dengan tangan yang menaut di meja. “Lakukan apa yang saya minta. Saya atasan kamu dan saya tidak meminta hal melebihi perjanjian kerja. Tulis kata-kata yang kamu bilang ke saya tadi. A-po-lo-gize.” Telunjuk Harris mengetuk buku catatan.

Mar mengambil pulpen dan memutar pulpen mahal itu sebelum ia pakai menulis. Harris menaikkan satu alisnya dan menanti dengan penasaran apa yang akan ditulis oleh Mar. Dan Harris terhenyak ketika Mar di depannya menulis dengan sangat indah kata apologize (maaf). Menulis mantap dan tanpa tangan yang bergetar.

“Tanda tangani dan tulis nama lengkap kamu.” Harris kini bersandar dan menautkan jemarinya di bawah dagu. Pertanyaan di kepalanya semakin berdesakan. Siapa sosok Mar yang sedang menulis nama lengkap Markisah dengan tulisan sangat cantik dan menandatangani kertas itu dengan tanda tangan yang benar-benar baru? Jelas itu bukan tanda tangan Mar, batin Harris.

Mar meletakkan pena. “Gimana, Pak? Apa boleh saya membawa Jaya dan Hasan untuk tinggal di sini sementara waktu? Saya khawatir mereka akan jadi sasaran amukan Samsul biadaab.”

Harris menelengkan kepala. “Kalau saya tidak mengizinkan, apa yang akan kamu lakukan?” Harris seakan menantang.

“Saya akan pergi dari sini. Bapak kira rumah ini satu-satunya bangunan beratap?" Mar berkacak pinggang dan mengembuskan napas kesal. "Hah! Non sense banget dari tadi ngadepin atasan enggak punya perasaan. Ngabisin waktu.” Mar berbalik dan pergi meninggalkan ruang kerja Harris dengan membanting pintu.

Harris mengambil buku catatan yang berisi tulisan tangan Mar dan mengamatinya sebentar. Lalu ia berdiri menyusul asisten rumah tangganya itu keluar ruangan.

“Mar!” panggil Harris.

To be continued

1
Ela Nurlaela
Alhamdulillah,,, terima kasih njus karena sudah menyempatkan untuk tetap update disela2 pengobatan kamu,,saya selalu suka dengan karya2 kamu dan aku ikuti apa mau mu 🥰. semoga hasil op nya sesuai dgn harapan ya
Arista Putri
cepet sembuh kk jus....
Fitriyani Indri
si Gita takut Harris masuk kamarnya soalnya ada baju tidur tipis tergeletak di kasur😂😂
Aura Maheswari Tujuhlima
MasyaAllah akhirnya setelah lama juga aku tidak membuka noveltoon karena GitMar gak ada baru hari ini aku buka ternyata GitMar kembali menghiasi hari2ku
terimakasih banyak Njuss kamu yg terbaik sehat sehat selalu ya Njuss 😍😍😍
꧁☬𝕸𝖔𝖔𝖓𝖑𝖎𝖌𝖍𝖙☬꧂
😭😭😭... gaktau kenapa mewek

Bu Gendhis dapat calon menantu sekaligus cucu,

gimana rasanya Bu??
꧁☬𝕸𝖔𝖔𝖓𝖑𝖎𝖌𝖍𝖙☬꧂
kenapa lagi BuHel, rumah sakit sudah diserahkan. mau gimana lagi,

masak ya Harris harus terus dibayang2i Isyana

MOVE ON.. BU... MOVE ON
꧁☬𝕸𝖔𝖔𝖓𝖑𝖎𝖌𝖍𝖙☬꧂
🤣🤣🤣🤣...
꧁☬𝕸𝖔𝖔𝖓𝖑𝖎𝖌𝖍𝖙☬꧂
etdah Bu, ujung2nya minta surat rumah sakit kirain tulus mikirin Chika.

apa BuHel gak bahagia jadi seneng liat orang lain gak bahagia
Fitriyani Indri
aku ngerti sekarang, motif isyana kasih patahan gelang itu ke Mar karena dia yakin suatu saat Mar bisa ungkap siapa yg terlibat dalam kematian isyana yaitu samsul suaminya.
Fitriyani Indri
apa mungkin samsul mau jambret kalung isyana dan isyana melawan terjadilah tarik tarikan lalu isyana jatuh dari jembatan itu.
Fitriyani Indri
wahh samsul pembunuhnya
Fitriyani Indri
ohh jadi tempat Gita jatuh juga sama persis ditempat isyana juga jatuh
Hary Nengsih
lanjut
S𝟎➜ѵїёяяа
kampreettt kampret /Facepalm//Facepalm/
jangan sampe dihidupku ketemu org modelan Bu Helena, yg darah rendah bisa darting aku, yg manusia normal bisa jadi sikopet
makan ati tenan 😑
jumirah slavina
memang itu kan yg kamu harapkan Git...
🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
S𝟎➜ѵїёяяа
realistis tapi banyak org bilang ini matre
mau dinikahi bukan cuma dilihat dari kepribadian nya tapi dari sikapnya yg bertanggung jawab .
punya harta adalah perwujudan dia(laki laki) bertanggung jawab sama dirinya sendiri, dia berusaha , bekerja , supaya bisa mencukupi dirinya .

yo tapi dibedakno antarane wong Lanang seng wes usaha tapi urung ngasilne Karo wong Lanang seng Ra gelem usaha blasss
jumirah slavina
"bugh... bugh... cciiaatttt... bughhh" Jumi membalas Samsul dengan beringas
jumirah slavina
Git... tlp Haris dulu minta pertolongan
jumirah slavina
dasar Markonah🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
osa
Pak haris usia brp ?
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!