Novel ini merupakan kelanjutan dari cerpen Gara-gara Nolongin Bos Galak versi horor komedih nggak pakai putar.
Rachel nggak akan menyangka kalau pertemuannya dengan bos garang bin gahar malam itu merupakan awal dari segala kesialan dalam hidupnya. Asisten Pribadi yang menjadi jabatan yang paling diincar dan diinginkan para ciwik-ciwik di kantor malah jatuh pada cewek cupu macam Rachel, tapi dengan syarat dia harus mengubah penampilannya. Daaaan atraksinya menyambung rambut di salon malah membuat Rachel terus-terusan di ganggu makhluk halus. Akankah Rachel bisa melepaskan diri dari jeratan teror makhluk tak kasat mata itu? we never know...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reina aka dian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tolongin Saya Pak
"Heh? kamu kenapa?" ucap pak Raga.
"Ini film action tapi ekspresi kamu malah seperti nonton film horor! dasar aneh," lanjut pak Raga.
Coba kalau yang di depanku ini mas Liam, beuuh aku udah lompat ke dia mungkin. Tapi yang di depanku ini singa, kalau aku lompat yang ada aku disemprot.
Doa aja udah, nggak ada cara lain.
"Ya Allah, tolong dong. Tolongin akuuuu, tangan siapapun ini tolong menyingkir dari kepalaku," ucapku dalam hati, pandanganku lurus ke depan layar.
"Kenapa pop cornnya nggak dimakan?" pak Raga nanya, cuma aku nggak berani nengok.
Tangan siapa nggak tau, masih ngetayang-tanyangin rambut.
Sreeet!
Udah kayak disisirin.
"Racheeel?!"
"Eh, iya, Pak Raga. Ini saya makan kok, pop cornnyah iyaaah..." ucapku. Aku masukkan beberapa popcorn asin ke mulutku.
Sepanjang nonton, aku tuh nggk tau jalan ceritanya. Yang aku tangkep cuma kebut- kebutan mobil sama suara dar-dor yang suka ngagetin.
Tangan yang tadi ngelus rambut, sekarang pindah ke pundak diiringi sebuah bisikan, "Kembalikaaaan..." suara seorang wanita.
Aku narik lengan baju pak Raga, "Paaak..."
"Jangan tarik-tarik baju saya, Rachel!" pak Raga ngelepasin tanganku.
"Ada setan loh, Pak. Dibelakang sayaaa..." aku nunjuk ke arah belakang, tapi aku nggak berani nengok.
"Jangan mengada-ada, Rachel..."
Ya ampun, pak bos nggak percayaan banget sih. Dan dari depan bioskop itu akunliat ada mas Liam.
Udahlah, kalau pak Raga nggak percaya mending aku pergi aja keluar mumoung ada mas Liam tadi di luar.
"Pak, saya ke toilet..." ucapku.
"Hem..."
Dan pas aku mau berdiri nih, tau nggak? rambut akoooh kecangkol gengs di kursi.
"Adudududuh,"
"Paak, tolongin saya, Paakk...!" tanganku menjulur ke pak Raga.
"Ya pun, salah besar saya bawa kamu kesini, Rachel!"
Pak Raga pun tergerak hatinya buat nolongin tapi dia bilang gini, "Nggak kok, nggada ada yang nyangkol! kamu ini heboh sendiri Rachel," kata pak Raga.
"Beneran, Pak. Saya nggak bohong, tadi tuh rambut saya---"
"Sudah sana ke toilet!" pam Raga ngibasin tangannya, kita berasa laler di warteg yang lagi diusir, hus hus sanaah gitu.
Dapet perintah disuruh pergi ya malah alhamdulillah. Aku balikin jasnya pak Raga dan pergi keluar bawa tas. Dan di pintu keluar itu aku ketemu sama mas Liam.
"Ketemu lagi disini," ucap mas Liam.
"Mas kok bisa disini, sih?" aku lega karena bisa ketemu orang selain pak Raga yang cuek.
Mas liam cuma senyum, "Kok kamu keluar? bukannya pak Raga masih di dalam?"
"Aku ... aku, mau ke toilet..." aku ngeles.
Aku nggak mungkin juga bilang ke mas Liam kalau aku abis digangguin setan di dalem theater sana. Belum tentu juga mas Liam percaya.
"Ya udah aku duluan, Mas..." kataku, aku berjalan meninggalkan mas Liam menuju toilet.
Kayaknya mas Liam ini tipe-tipe cowok yang dateng pas aku lagi kesusahan. Baik banget orangnya, nggak ada sombong-sombongnya, makanya aku langsung akrab.
Baiknya mas Liam kayaknya beda sama Tristan. Nggak tau deh kenapa, aku ada feeling kurang enak sama si Tristan itu.
Beteweh, di dalam theater sana aja sepi, apalagi toilet. Dan setauku para makhluk astral suka banget dengan yang lembab ya seperti toilet ini. Geblegnya aku melupakan itu.
"Salah tempat ini mah," ucapku dalam hati. Aku inget banget kejadian di toilet beberapa hari yang lalu di kantor.
"Mending balik lagi aja nemuin mas Liam, daripada disini," gumamku.
Sebenernya kan ke toilet hanya alasan supaya aku bisa keluar dari ruang theater itu.
Dan pas aku keluar sudah ada pak Raga di depan toilet perempuan.
"Loh kok Bapak ada disini?" tanyaku.
"Filmnya sudah selesai!" karanya ketus.
"Tapi kok Bapak pucet?"
"Sudah selesai belum? kita pulang sekarang!" ucap pak Raga yang narik tanganku supaya ngikutin dia.
"Mas Liam? mana dia? apa udah pulang?" aku ngomong lirih.
"Kamu bilang apa?" ternyata pak Raga denger apa yang aku ucapin.
"Tadi saya liat mas Liam..."
"Jangan bertingkah yang aneh-aneh kamu Rachel!" kata pak Raga.
Dih si Bapakee, yang aneh itu sebenernya dia sendiri. Ini udah mau tengah malam, aku sama pak Raga masuk ke dalam mobil.
Aku sempet ngeliat ada satu sosok yang seliweran di parkiran mobil ini. Cuma aku berusaha mengalihkan pandangan dan jangan teriak daripada dimarahin si bos lagi.
Aku bisa bernafas lega ketika mobil ini udah di jalan raya, minimal aku nggak harus ngeliat yang bikin bulu kudukku berdiri.
"Pak Raga..."
"Hem," pak Raga cuma dehem.
"Pak, tolong jangan turunin saya di jalanan ya? ini udah tengah malam," aku memberanikan diri buat bilang kayak gitu.
"Kamu pikir saya manusia yang nggak punya hati nurani? hati saya ini sangat suci, mana mungkin saya menurunkan kamu di jalan sedangkan ini sudah tengah malam," ucap pak Raga.
"Kalau begitu, terimakasih, Pak..."
Sakarepmu lah Pak. Mau bilang hatimu suci bersih dan lembut seperti bayi yang baru lahir juga sabodo amat. Yang penting aku jangan di turunin di pinggir jalan. Selain takut ada setan lewat, aku juga takut kalau jadi sasaran empuk target kejahatan.
Nggak perlu ke tempat angker buat diganggu makhluk halus, nih nih di dalam gedung bioskop aja kita bisa digangguin sampe pengen ngibrit aja bawaannya.
Pak Raga beneran nganterin ke kosan, alhamdulillah dia nggak ingkar janji. Ya kali dia setega itu sama asistennya sendiri.
"Ini kosan kamu?" tanya pak Raga yang menelisik bangunan yang ada si depannya.
"Iya, Pak..." ucapku melepaskan sabuk pengaman.
"Jelek sekali! apa kamu bisa tidur di tempat seperti ini?" tanya pak Raga nylekit.
"Ya yang penting bisa buat berteduh, Pak. Jelek atau tidak kan relatif..." ucapku berusaha supaya nggak keliatan kesel dengan ucapan pak Raga tadi.
"Saya permisi, Pak..."
"Oh ya, besok jangan telat! atau nanti saya hukum kamu,"
"Siap, Pak!" ucapku.
Dan begitu aku turun, mobil pak Raga perlahan bergerak menjauh dari kosanku.
Seketika aku agak ngeri buat sekedar naik ke lantai dua.
"Apa aku gedor aja kamar penjaga kos ya?" pas aku lagi bimbang, gundah gulana, eh si Mirna dateng.
"Ngapain di depan gerbang?" tanya Mirna si lambe-lambean.
"Nggak kenapa-kenapa, cuma ngeliat ini gerbang kok bagus banget kayaknya kuat sampe ratusan taun gitu ya?" ucapku sambil elus-elus gerbang besi.
"Sarap nih orang!" Mirna nyinyir.
Dan emang pertolongan Tuhan nggak main-main ya kan? Dan aku yang ngeliat Mirna udah masuk ya otomatis ikutan juga. Aku ngintilin tuh si Mirna spai lantai atas, kebetulan kamar kita nggak begitu jauh.
"Alhamdulillah ada temennya," ucapku dalam hati.
"Mirna, Mir! Jalannya jangan cepet-cepet!" ucapku mengejar Mirna.