My Sexy Little Wife

Tidak mudah bagi seseorang untuk tetap berpikir logis saat hati sedang carut-marut. Mereka yang hatinya dipatahkan kadang kehilangan akal sehatnya.

Adrian merasakan hal yang sama. Masih lekat dalam ingatannya betapa kekasihnya hanyut dalam buaian pria lain. Dan ingatan itu berhasil membangkitkan amarah dalam dirinya.

Prang!

Sebuah desk name berbahan kaca baru saja menghantam dinding hingga pecahannya berhamburan di lantai. Napas Adrian tersengal. Ia menghempas tubuhnya di kursi sembari demi mengurai rasa panas yang terasa membakar tubuhnya. Jemarinya bergerak memijat kening yang terasa berdenyut.

"Tuan!" Panggilan itu mengalihkan perhatian Adrian. Bruno berdiri di ambang pintu dengan mimik terkejut menatap lantai. "Apa yang terjadi? Tadi saya bertemu Nona Haylea di bawah."

Nama yang baru saja disebut Bruno kembali melecut amarah Adrian. Pria itu menghunus tatapan tajam yang membuat tubuh Bruno seperti terbelah menjadi dua bagian.

"Jangan sebut nama pengkhianat itu lagi!"

Bruno gelagapan.

Pengkhianat? Apa maksudnya? Apa jangan-jangan Nona Haylea sudah mengkhianati tuan? Apa karena itu tuan memutuskan hubungan dan menikahi Nona Naomi?

Namun, deretan pertanyaan itu hanya berani ia gumamkan dalam hati. Apalagi setelah menyadari raut wajah tuannya yang sedang menunjukkan status awas.

"Maafkan saya, Tuan. Saya tidak akan menyebut nama Nona Haylea lagi."

Adrian melotot marah.

"Ma-maaf, Tuan! Mulut ini kurang ajar sekali. Kenapa menyebutnya lagi," maki Bruno pada mulutnya sendiri.

"Menyebut nama itu lagi, kupotong gajimu sampai habis," ancam Adrian.

Baik, Tuan. Sekali lagi maaf." Bruno mengangguk pasrah dan berjalan ke sisi sang bos. "Oh ya, Anda mau berangkat sekarang? Sepertinya Nona Naomi juga sudah siap."

Adrian terdiam sebentar. Tiba-tiba pikirannya tertuju pada seorang wanita muda yang hari ini akan ia bawa pulang untuk dikenalkan dengan keluarga besarnya.

"Di mana dia sekarang?"

"Tadi saya mengantarnya ke salon."

Adrian melirik arah jarum jam pada pergelangan tangannya. Hari hampir sore.

"Baiklah, mari kita jemput dia."

Adrian beranjak keluar dari ruangan diikuti Bruno di belakang punggungnya.

Kurang dari dua puluh menit, mereka telah tiba di sebuah salon ternama. Seperti biasa, Adrian akan disambut dengan hormat.

"Di mana dia?" tanya Adrian kepada beberapa pekerja salon yang baru saja menyambutnya.

"Nona Naomi ada di lantai atas, Tuan. Mari saya antar," jawab salah seorang karyawati salon.

Adrian berjalan di belakang wanita itu. Begitu tiba di sebuah ruangan, Adrian menatap Naomi yang sedang duduk dengan posisi membelakangi pintu. Ia sedang dilayani seorang wanita.

"Anda beruntung sekali bisa menikah dengan Tuan Marx, Nona," puji wanita yang sedang menyisir rambutnya.

"Beruntung apanya? Aku malah merasa buntung."

Adrian terdiam di ambang pintu, memberi kode pada wanita yang mengantarnya agar tetap diam. Sepertinya ia tertarik untuk tahu seperti apa dirinya di mata Naomi.

"Memangnya kenapa, Nona?"

"Apa kamu tahu, dia itu sangat menyebalkan. Sudah jelek, arogan, pemaksa, tua bangka, hidup lagi. Dia pikir dirinya itu sehebat apa?"

"Tapi, Tuan Adrian Marx memang salah satu orang hebat di kota ini. Dia sangat berpengaruh. Memang Anda tidak tahu?"

"Setahuku dia hanya berpengaruh bagi Bruno saja. Bruno seperti jamur yang terus menempel di tubuh tuannya. Mereka berdua adalah paket kombo paling menyebalkan di dunia."

"Bagaimana dengan Anda sendiri? Apa Tuan Marx tidak berpengaruh dalam hidup Anda?"

Naomi menyandarkan punggungnya. "Tentu saja sangat berpengaruh. Sejak menikah dengannya aku ingin sekali mempelajari rumus nuklir."

Rumus nuklir? Kamu mau meledakkanku dengan bom?

Bibir Adrian terkatup rapat. Perlahan mulai melangkah dengan pelan agar suara hentakan kakinya tak terdengar.

Pekerja salon yang menyadari kehadiran Adrian mendadak Menundukkan kepala. Namun, Adrian memberi sebuah isyarat, sehingga wanita itu mundur agar Adrian dapat menggantikan posisinya.

"Kalau dia masih macam-macam denganku lagi, maka aku akan meninju wajahnya dan menjambak rambutnya sampai botak."

Tanpa disadari Naomi, Adrian meraih segelas jus dan meletakkan di sisi Naomi. Secepat kilat Naomi menyambar gelas. Lalu menyeruput jus dengan nikmat hingga tak tersisa.

Adrian lalu melanjutkan menyisir rambut Naomi.

"Ah, segar sekali. Terima kasih jusnya. Aku memang butuh tenaga untuk menghadapi manusia jadi-jadian itu," ucapnya sambil menyerahkan kembali gelas yang telah kosong.

"Sama-sama, Nona," bisik Adrian.

Mendadak suasana berubah mencekam bagi Naomi saat menyadari pemilik suara yang baru saja menyahut.

Tamat riwayatmu Naomi Claire!

.

.

.