NovelToon NovelToon
Adara'S Daily

Adara'S Daily

Status: tamat
Genre:Tamat / Cintapertama / Dosen / Cinta Seiring Waktu / Keluarga / Persahabatan / Romansa
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Alunara Jingga

Tentang keseharian seorang gadis biasa dan teman-temannya. Tentang luka.
Tentang penantian panjang, asa dan rahasia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alunara Jingga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ibu Dosen

Dua bulan berlalu sejak pernikahan Byan. Masih ku ingat omelan yang ku terima dari Mas Azis hari itu.

"Ha? Apa? Udah balik lagi? Yang bener aja, Juleha?! Ini beneran ga sih? Atau aku semalem cuma mimpi kalo kamu pulang?!"

"Ehehe, maaf. Aku ada hal yang bener-bener ga bisa ditinggal disini. Maaf banget. Oiya mau minta tolong lagi dong, aku ga ada orang yang bisa direpotin lagi soalnya."

"Ck, giliran ngerepotin aja, yang diinget gue," bisiknya. "Ada apa?"

"Iye, besok ga bakal minta tolong lagi. Tolong ambilin motor di bandara, aku titip di Fendy. Kartu parkir sama kunci di jok, kunci cadangan ada di kamarku, di laci ke dua meja belajar. Thanks sebelumnya."

"Ya Allah, bener-bener akhlakless jadi adek!! Kalo ilang gimana?!"

"Ga bakal, Insyaa Allah. Aku udah suruh pindahin ke kantornya. Yekali ruang security bakal kemalingan?"

"Pasrah apa bego? Yang namanya maling ,mana peduli itu kantor security ato kantor gubernur! Satu lagi, beli ponsel! Sampe nebeng nelpon lagi, gue bekuin lu punya rekening!"

"Hahahaha, dikira lagi ngibulin bocah, mana bisa sih kalo bukan aku sendiri yang minta di bekuin. Iya, besok aja, udah malem, di luar dingin. Besok pas pulang dari kampus."

"Iya, terserah. Yang jelas kamu beli ponsel sendiri. Kasian temenmu, ponsel kan harusnya jadi privasi. Kamu baik-baik disana, cepet pulang, betah banget diluar!"

"Lha aku kan ga punya rumah, mas. Makanya aku hidup dimana mana. Selama ini kan nebeng di rumah Mas Azis, tenang, kalo jodohku orang Lombok, ya bakal pulang juga ke Lombok. Kalo bukan, ya sabar aja sih jadi sugar daddy. Hahaha ...." Aku tertawa, sedang ia melanjutkan acara ngomelnya.

Dan hari ini, disinilah aku, menikmati rintik hujan di gazebo depan rumah ditemani alunan merdu lagu maroon 5, must get out. Sambil bersenandung lirih, aku mengotak atik ponsel yang baru sempat ku beli tadi siang. Sebenarnya aku masih merasa belum perlu untuk memiliki ponsel. Karena memang tak ada yang perlu ku hubungi, untuk keperluan tugas mahasiswa pun, aku menggunakan surel, namun permintaan nomor ternyata tak hanya dari pihak mahasiswa, para rekan dosen pun protes saat aku berkata aku tak punya ponsel. Hal itulah yang melatar belakangiku menyempatkan mampir di outlet handphone terdekat.

Terbayang omelan yang akan ku terima dari sepupu bawelku karena baru menghubunginya setelah berjanji akan segera membeli ponsel membuatku meringis sambil tertawa. Aku segera mengirim pesan padanya untuk mengabarkan bahwa ini nomor baruku. Tak ada balasan, sudah jelas, ia tengah berada di rumah sakit. Tak apa, biarlah, aku sedang malas menerima omelan darinya.

Pemberitahuan demi pemberitahuan masuk ke ponselku. Aku menghubungi Wulan, ah, aku membuatnya menunggu selama dua bulan. Terdengar nada sambung sejuta umat, tuut tuuut. Pada deringan ke lima, aku mendengar suara cempreng yang ku rindukan.

"Selamat sore, dengan butik Sunny Land, ada yang bisa saya bantu?" terdengar suara lembut, aku yang tak terbiasa mendengarnya berbicara sesopan itu, tertawa. "Ara? Ini kamu, Ra?"

"Iya, Lan. Ini aku. Gimana kabar kamu?"

"Aku, ga pernah sebaik ini sebelum kamu pergi"

"Masa sih? Bisaan aja."

"Lho beneran ini. Kamu dimana sih? Jahat bener ninggalin aku disini, sendirian pula. Nggak kamu, nggak Byan. Berdua sama aja," gerutunya.

"Heh, Byan tugasnya emang kek gitu ya, ga bisa suka-suka."

"Iya, itu Byan, lha kamu?!"

"Aku? Aku 'kan cuma pengen healing. Aku ngerasa kalo aku emang bener-bener butuh sendiri buat paham apa mau dan tujuanku sebenarnya," kilahku.

"Dan? Udah? Kamu udah nemu?"

"Apaan?"

"Jawaban dari apa yang kamu cari samapi tega ninggalin aku dengan segudang sesal."

"Aku udah nemu sebagian, sebagian lagi masih aku coba. Kamu nyeselin apa sampe segudang gitu?"

"Ya coba kamu posisinya jadi aku, apa ga nyesel udah nutupin sesuatu, sedang yang ku tahu, kamu paling anti ada rahasia?! Sebenarnya Aku udah tahu dari awal, dari cara abang natap kamu, cara dia peduli, dan cara dia buat bikin kamu seneng. Aku sama Byan udah tahu, buat orang yang ga kenal kamu dengan baik, mungkin mereka mikir kamu jual mahal, padahal sebenarnya kamu orangnya ga peka."

"Karena kamu bolot, akhirnya abang nyerah, butuh waktu lama buat bener-bener bisa anggep kamu temen kayak yang lain. Dan aku tahu, abang udah bener-bener move on, kamu aja yang overthinking macem mak anak 2!" Macam rapper saja ia merepet.

"Tau darimana kamu kalo dia udah move on?"

"Aku istrinya, ga mungkin aku sampe tekdung empat bulan kalo ga ada rasa. Bingung aku tuh sama kamu! Makanya nikah biar bisa ngerasain gimana rasanya bisa satu frekuensi sama pasangan!"

"Yeuh, ujungnya ngga enak. Aku masih belum nemu calon. Udah ah, jangan bahas itu!"

"Lha terus bahas apa? Kamu ga lagi becanda kan? Ga ada calon? Manusia segede itu kamu anggap apa? Jangan bilang kalo kamu ga peka juga?"

"Siapa?"

"Bang Dwi?" Entah ini pertanyaan atau pernyataan.

"Aku dah selesai, udah lama."

"Gimana? Coba kamu jelasin biar aku ga salah paham. Bisa jadi pikiranku salah."

"Hhh, sebenarnya aku sama dia dulu pernah satu langkah lebih dekat, tapi ya gitu, kandas. Ya salahku juga sih, ga pernah denger apa yang dia bilang, dia marah, dan gitu deh. Endingnya ga enak, ga usah di ceritain."

"Lah, kapan? Bohong kali, ah. Bang Ojik ga ada cerita. Padahal si Bang Dwi sering cerita apapun ke lakiku."

"Yekali perkara jadian sehari langsung end diceritain juga, tengsin kali dia ,tuh!"

Kami asyik bercerita hingga akhirnya suara salam menginterupsi, ternyata Devi dan Endy, dua orang mahasiswaku.

"Eh, ntar nyambung lagi ya, mahasiswa ku dateng nih."

"Hah? Macem dosen bae kamu pake ngomong mahasiswa."

"Iya aku emang jadi dosen sekarang. Udah ya, Assalamualaikum." Aku mematikan sambungan telpon dan menemui dua orang tamuku.

Mereka ternyata meminta bimbingan untuk mengikuti lomba karya tulis ilmiah tentang ekonomi kreatif dengan konsep syariah. Aku sarankan untuk mengkaji tentang pariwisata halal yang kerap di gaungkan. Dampak positif dan negatif serta bagaimana mewujudkannya. Tak lupa penjelasan mengenai apa itu pariwisata halal dan mengapa itu perlu realisasi. Banyak hal yang perlu dipertimbangkan, pro dan kontra sudah pasti terjadi, dan disinilah celah untuk masuk ke inti masalah.

Aku menjelaskan dengan gamblang dan tampaknya mereka mulai paham dan ada gambaran. Ku berikan kerangka penelitian yang akan mereka kembangkan. Setelah merasa mendapatkan pencerahan, mereka pamit. Petang datang, bersamaan dengan suara adzan magrib, dua gadis cerewet itu datang. Tadi pagi Piga ikut Tika pulang ke kota mangga, ada urusan penting katanya. Aku yang punya jadwal kelas tak bisa turut serta.

"Teteh, udah adzan, buka dulu, atuh!" Tika mengulurkan segelas air yang tentu ku sambut dan mengucap terima kasih.

Tak terasa hampir lima bulan aku bersama mereka. Hari-hari yang ku lalui penuh warna, tak selamanya cerah memang, ada kalanya hariku berwarna kelabu, namun tak ku biarkan menjadi pekat. Aku menjalani semua dengan penuh rasa syukur, Allah masih menyayangiku dengan mengirimkan orang-orang baik seperti mereka. Akan ku jaga mereka dengan sepenuh hati, tak kan terulang kejadian lalu, saat egoku mengalahkan semuanya.

...___...

Hari berganti, siang dan malam bergulir, hingga tak terasa tiga bulan sudah aku menjadi dosen pengganti. Besok adalah hari terakhirku mengisi kelas. Saat ini, aku tengah berada di ruang kaprodi ekonomi syariah, entah ada apa beliau memanggilku.

"Selamat siang, Bu Eka. Sudah lama? Maaf tadi saya dari ruang WD 1."

"Siang, Pak Sandi. Saya baru selesai kelas, jadi belum lama menunggu. Oh iya, ada apa ya, Pak, kalau boleh tahu?"

"Begini, sesuai dengan tanggal yang tertera di kontrak kerja, besok adalah hari terakhir Ibu untuk mengajar, betul?" tanya beliau, aku mengangguk.

"Betul, Pak. Besok adalah hari terakhir saya mengajar disini. Ibu Rina sudah bisa kembali."

"Jadi, tujuan saya memanggil Ibu Eka, saya ingin bertanya, apakah Ibu berniat untuk melanjutkan kontrak dengan kami? Banyak pertimbangan dari kami selaku dosen program studi Ekonomi Syariah untuk menawarkan perpanjangan kontrak pada Ibu. Selain itu, banyak mahasiswa yang menginginkan agar Ibu lanjut untuk mengajar di kampus kami ini. Bahkan dua orang mahasiswa yang mengikuti LKTI pun mengaku dibimbing oleh Bu Eka. Jadi besar harapan kami agar Ibu mempertimbangkan hal ini" tutur Pak Sandy, Kaprodi EkSyar.

"Begitu, saya akan pertimbangkan kembali, Pak. Bagaimana selanjutnya, saya akan segera mengabari. Terima kasih telah memberi saya kesempatan untuk bergabung."

Aku bersyukur, jika diminta meneruskan, artinya kinerjaku baik. Namun untuk menerima, aku perlu berpikir ulang. Banyak hal yang menjadi pertimbangan. Salah satunya adalah permintaan Ibu, beliau memintaku kembali. Namun sisi hatiku yang lain menolak, aku betah disini, pun dengan rutinitas baruku yang lumayan menyita waktu hingga tak membiarkanku memikirkan hal lain. Tak hanya Ibu, Wulan pun sudah mulai kewalahan, walau tak mengatakan secara langsung, namun aku tahu, ia tengah kesulitan menghandle butik seorang diri, dan lagi, ia tengah mengandung.

Aku butuh pikiran yang tenang untuk memutuskan. Semalam Tika dan Piga membahas hal ini, apakah aku akan kembali atau menetap. Aku tak bisa memberi jawaban, mereka mengerti dan menyerahkan semua padaku. Hari ini aku memutuskan pulang ke rumah Ibuk, sudah lama rasanya aku tak menemui beliau. Mungkin memberi mataku pemandangan hijau bisa mendinginkan otakku yang sedikit panas. Toh besok jadwal kelasku pukul 9.40, bisa terkejar jika aku bermalam disana.

...___...

Setelah berkendara selama 90 menit, akhirnya aku tiba di rumah Ibuk. Ku lihat ada Rey yang tengah bersiap kembali ke kota.

"Aku lho mau balik, kamu dateng!" serunya.

"Ck! Ribet bener, kamu kalo mau balik ya sana aja sih, aku kesini ga nyariin kamu juga," balasku.

"Eiyyy, nyebelin emang si Matahari," gerutunya.

"Mentari, Reyhan Alfian Syailendra! Tampol nih!"

"Sama aja artinya! Dahlah, ngegas mulu tiap ketemu kamu."

"Ga ada yang nyuruh ya! Ngapa pula jadi tambah nyebelin pas gedenya ini anak. Dulu aja, kalo jalan musti sembunyi dibelakangku." aku ngedumel sembari mengecek ponselku yang bergetar menandakan pesan masuk.

"Ya beda atuh! Dulu kamu tuh tinggi, judes, berani pula. Lha sekarang? Tinggi juga lebih tinggi aku, judes? Makin jadi. Berani? Heleh, berani apaan deh, nyapa mantan aja kaga berani. Hahahahaa ... cuma nyisa judes doang." Sungguh, mercon saja bisa insecure mendengar kalimat panjangnya.

"Kambing emang! Kaya kamu paling berani aja! Aku tantang kamu buat ngaku ke Tika kalo kamu suka sama dia! Berani gak?!" tantangku. Seketika wajahnya memerah hingga ke telinga, bah, bisa malu pula rupanya dia. "Ha! Ga berani kan?! Makanya, ngaca atuh, ngaca! Nih ada spion motor, perlu dicabutin?!"

"Siapa yang suka siapa?! Ngaco!"

"Heh, kamu ga bisa bohong sama aku! Kalo kata Ulan, aku ga peka, tapi ngeliat gelagatmu, mungkin dia salah. I know you so well~~" aku menyanyikan sebuah lagu dari boyband yang dulu pernah viral pada masanya. Ia melemparku dengan sapu yang ada di dekatnya. Ibuk keluar, mungkin mendengar kegaduhan yang kami sebabkan.

"Buk, Ibuk... Bentar lagi punya mantu baru, Buk." aku mendekat ke arah Ibuk dan menyalaminya.

"Ribut bener, kalian itu lho, udah pada tua begini masih bisa ribut macem bocah SD! Malu sama mahasiswa kalian."

"Ini lho, Buk, si Ara kok nyebelin," adu Reyhan pada Ibunya.

"Ngadu! Whooo! Dasar pundungan! Buru atuh bilang ke orangnya, aku liat-liat, dia banyak yang suka lho."

"Kompor mledug!" omelnya.

"Yeee dibilangin! Di nikahin anak gadis orang! Jangan di ajakin iya iya! Aku temenmu kan? Aku masih sayang nih makanya aku kasih saran. Mending ga usah ajakin pacaran, nikahin sekalian. Apalagi sampe di gantungin macem jemuran, jangan! Sakit itu. Tapi ngajakin nikahnya, nikah beneran ya! Jangan cuma ngomong doang!"

"Bah, curhat rupanya. Hahahaha ...." Ia tampak tertawa puas, sedang Ibuk hanya menggelengkan kepala.

"Sudah, Rey, berangkat sana! Biar ndak kemaleman ntar. Ara, masuk!"

Kami pun berpisah, seperti inilah aku dan Reyhan. Sedari dulu, zaman putih merah. Bersamaku ia akan sangat cerewet dan menyebalkan, namun entah, jika sudah bertemu orang lain, ia akan menjadi pendiam hingga menjadi sasaran empuk pelaku bullying. Bertemu dengannya lagi ternyata membawa perubahan besar untukku. Aku segera masuk, demi mendengar omelan Ibuk yang tak juga mendapatiku masuk.

...___...

1
Anjan
gitu dong, ngaku!
Anjan
Slice of life nya dapat banget, humornya juga dapet. Semangat, Kakak author!
Anjan
enteng kali si jule
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!