El Gracia Jovanka memang terkenal gila. Di usianya yang masih terbilang muda, ia sudah melanglang buana di dunia malam. Banyak kelab telah dia datangi, untuk sekadar unjuk gigi—meliukkan badan di dance floor demi mendapat applause dari para pengunjung lain.
Moto hidupnya adalah 'I want it, I get it' yang mana hal tersebut membuatnya kerap kali nekat melakukan banyak hal demi mendapatkan apa yang dia inginkan. Dan sejauh ini, dia belum pernah gagal.
Lalu, apa jadinya jika dia tiba-tiba menginginkan Azerya Karelino Gautama, yang hatinya masih tertinggal di masa lalu untuk menjadi pacarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Regret
...Bagian 21:...
...Regret...
...💫💫💫💫💫...
Mengapa Tuhan tidak ciptakan mesin waktu, supaya kalau ada manusia yang berbuat kesalahan, dia bisa menggunakannya untuk kembali ke masa lalu. Jika tidak memungkinkan untuk mengulang waktu untuk memperbaiki kesalahan yang terlalu besar, maka cukup beri kesempatan untuk mengulang demi memperbaiki satu kesalahan kecil yang di kemudian hari mendatangkan malu.
Karena demi Tuhan, Jovanka rasanya ingin tenggelam saja ke dasar palung Mariana. Daripada harus berbaring di ranjang IGD dengan tangan diinfus, sambil diperhatikan oleh sepasang mata yang tak lepas mengawasi setiap embusan napasnya. Tidak perlu dijelaskan, ia tahu betul lelaki itu sedang kesal setengah mati. Alasannya juga sudah pasti, karena harus direpotkan sekali lagi.
"Ekhem..." Jovanka berdeham. Canggungnya terasa sampai bilik-bilik sebelah, yang hanya disekat gorden pembatas berwarna putih.
Dibalikkannya tubuh, memunggungi Karel yang duduk bersilang kaki dan bersedekap. "Makasih," cicitnya. Suaranya hampir kalah dengan desis udara air conditioner di langit-langit. "And sorry, udah ngerepotin lo sekali lagi."
"Madep sini kalau mau ngomong sama gue. Nggak sopan ngomong sama orang tua dengan kasih punggung kayak gitu," sahut Karel tegas.
Jovanka menggigit bibir bawahnya, menahan diri tidak menangis. "No," balasnya, hanya seperti sebuah bisikan. "Lo bilang nggak mau interaksi dulu sama gue sebelum gue ngerti apa yang bikin lo marah." Dia menjeda, menggigit bibirnya lagi lebih dalam. "Gue belum ngerti. Gue masih nggak ada clue apa yang bikin lo marah kayak gitu, so I can't face you right now."
Dengusan kasar terdengar. Jovanka merinding karena tekanan emosi dari dengusan itu terasa keras mendobrak punggungnya. Sepersekian detik kemudian, ia mendengar suara derit kursi yang diduduki Karel. Indikasi bahwa lelaki itu baru saja mengubah posisi duduknya.
"Madep sini," ulang lelaki itu. "Biar gue kasih tahu alasan kenapa gue marah."
"Tapi lo bilang gue harus pikirin sendiri."
"Kelamaan," sentaknya. "Bukannya mikir, lo malah bego mau bundir."
Tuduhan di akhir kalimat Karel memantik ketersinggungan di diri Jovanka. Praktis ia membalikkan badan. Alisnya mengerut dalam, tatapannya menajam. "Nggak ada yang mau bundir."
Sudut bibir Karel terangkat sedikit, tersenyum sinis. "Oh ya?" balasnya skeptis. "Kalau bukan mau bundir, terus apa? Orang gila mana emangnya yang nekat minum americano triple shot pas perutnya kosong, sama sekali nggak terisi apa pun selama lebih dari 24 jam? Coba bilang, apa tujuan lo begitu kalau bukan biar mati?"
Kata-kata itu menghantam dada Jovanka lebih keras daripada yang bisa ia duga. Tatapannya terkunci sejenak pada sosok Karel, lalu perlahan ia alihkan, kepada apa saja yang bisa dilihatnya selain laki-laki itu.
"Kerjaan gue banyak, gue butuh doping biar kuat bergadang," gerutunya, hampir tidak jelas karena dia mengatakannya dengan perasaan kesal. "Lagian gue nggak serajin itu. Ngapain inisiatif mati sendiri sebelum dijemput Tuhan."
Beberapa detik selanjutnya, hening yang terasa. Dari ekor matanya, Jovanka menemukan Karel seakan membatu di tempat duduknya. Lelaki itu memasang wajah datar, mata tidak berkedip, dan embusan napas yang hampir tidak terdeteksi.
Hawa di sekitarnya jadi makin tidak enak. Jovanka membalikkan badannya lagi, meringkuk lebih dalam, tangannya erat meremas sarung bantal dekat kepalanya.
"Kalau udahan yapping-nya, silakan pulang. Nanti gue urus semuanya sendiri. Makasih sekali lagi."
Masih saja hening. Malah sepersekian detik, didengarnya kursi kembali berderit.
"Madep sini."
Perintah itu datang setelah belasan detik keheningan menguasai keadaan. Jovanka meremas sarung bantal makin kuat. Sesuatu di kepalanya berteriak tegas, memintanya menolak. Sehingga tubuhnya menurut. Ia tetap tak beranjak.
"Madep sini, Jovanka." Nada suara Karel terdengar semakin tegas. "Buruan, jangan sampai gue bikin keributan cuma biar lo berhenti munggungin gue."
Jovanka menekan gigi-giginya, sampai terasa ngilu. Matanya terpejam sebentar, menahan amarahnya agar tidak meledak. Saat akhirnya berbalik, bukannya wajah Karel, ia malah berhadapan dengan wajahnya sendiri.
Potret real time dirinya muncul di dalam kamera depan lelaki itu. Pangkal-pangkal alis Jovanka nyaris menyatu. Ia menelengkan kepala, meninggalkan kamera ponsel Karel demi menatap lurus manik mata lelaki itu.
"Apa?" tanyanya, setengah mengomel.
"Look at yourself trough my camera."
"Buat apa?"
"Do it."
Jovanka mendesah cukup keras. Dialihkannya kembali tatapannya pada kamera ponsel Karel. Di sana, ia menyadari wajahnya tampak pucat dan berantakan. Kantung matanya menghitam, bibirnya kering pecah-pecah, dan rambutnya kusut acak-acakan.
"Iya, gue berantakan. Terus apa?" tanyanya tajam.
"Minta maaf."
"Huh?"
Dia menelengkan kepalanya lagi. "Minta maaf ke siapa? Tadi udah ke lo."
"Lihat kamera hape gue, terus minta maaf ke orang yang ada di sana."
Jovanka mengerjap pelan. "Apa?" gumamnya, seraya menggerakan kepalanya menghadapi kamera ponsel Karel sekali lagi. "Kenapa gue harus minta maaf sama diri gue sendiri?"
"Because that's the problem." Karel menarik ponselnya, meninggalkannya begitu saja di ranjang dekat kaki Jovanka. "Lo keterlaluan ke diri sendiri, itu yang bikin gue marah." Karel mendorong punggungnya ke sandaran kursi, melipat kedua tangannya di depan dada.
"Sekali dua kali, gue kasih tahu lo untuk lebih care ke diri sendiri. Tapi lo sama sekali nggak dengerin. Berkali-kali juga gue ingetin, kalau gue nggak akan selamanya ada buat beresin semua kekacauan yang lo bikin, dan lagi-lagi lo entengin omongan gue. Semua yang keluar dari mulut gue cuma lo anggap omong kosong, padahal semuanya demi kebaikan lo sendiri."
Otak Jovanka mendadak kosong. Sisi dirinya yang tidak mau kalah, mendadak mengibarkan bendera putih.
"Di dunia ini, Jov, nggak ada yang akan peduli ke kita selain diri kita sendiri. Sampai detik ini, gue bisa aja masih bantuin lo, gue bisa aja maish mau repot beresin kekacauan yang lo bikin. Tapi siapa yang tahu soal besok, lusa, dan hari-hari setelahnya? Gimana kalau sehabis pulang dari sini, gue kecelakaan terus mati? Gimana kalau pas tidur nanti malem, gue kena serangan jantung terus nggak balik lagi? Gimana kalau terjadi hal-hal buruk sama gue, yang bikin gue nggak bisa bantuin lo lagi, di saat lo udah terlanjur tergantung dan nggak peduli sama diri sendiri?" Karel menjeda, mengisi kekosongan dengan helaan napas panjang. "Gimana ka--"
"Cukup." Jovanka menarik diri. Duduk perlahan-lahan. Matanya mulai berair. "Jangan dilanjutin," mohonnya.
"Gue nggak akan berhenti sebelum lo sadar dan janji nggak akan semena-mena sama diri sendiri lagi."
Sia-sia sudah ditahan. Sebulir cairan bening akhirnya menetes juga dari sudut matanya, disusul kelompok lain yang dalam sekejap membuat wajahnya basah.
"Lo nangis bukan karena nyesel, tapi karena gue omelin, kan?"
Jovanka menyeka wajahnya kasar. "Iya!" serunya. "Lo galak banget, sialan. Kayak bapak-bapak yang habis mergokin anak gadisnya pertama kali pacaran."
Celotehan di sela isakan Jovanka itu sampai di telinga Karel dengan nada yang lucu, membuatnya tak kuasa menahan senyum geli. "Alay," cibirnya.
Srekkk
Distraksi kecil dari tarikan gorden di bilik sebelah lantas mendistraksi keduanya. Mereka menoleh serempak. Karel tidak tampak terkejut menemukan satu kepala kecil menyembul di tengah-tengah gorden yang mengimpit. Sementara Jovanka, cepat-cepat mengusap wajahnya demi menghilangkan jejak air mata. Gengsi menampilkan air matanya pada bocah kematian yang entah kenapa bersikap lunak padanya belakangan ini.
"Ngapain kamu di situ?" tanyanya sengak.
Eliana yang sedari tadi memang menunggu di bilik sebelah, mendengar semua obrolan antara ayahnya dan Jovanka, melirik Karel sebentar. "Jagain kamu, lah," sahutnya kemudian, ketika mata bobanya menatap Jovanka lekat. "Sekalian mau lihat, kamu masih nangis apa enggak."
"Kalau masih nangis emangnya kenapa? Kamu rugi?"
"Iyalah!" seru Eliana. Mula-mula hanya kepalanya yang menyembul, anak itu lantas menarik gorden lebar-lebar dan meringsek masuk ke bilik Jovanka. "Kalau kamu nangis terus, aku nggak bisa lanjutin belajar sihir."
Jovanka mencebik. Seketika, sesak di dadanya berangsur teralihkan oleh rasa jengkel sekaligus gemas akan eksistensi Eliana di hadapannya.
"Pinter ngomong banget," ejeknya. Lalu dia menoleh pada Karel dan melanjutkan, "kayak bapaknya."
Di hari-hari biasanya, Karel akan merespons dengan kekesalan yang meledak-ledak. Tetapi hari itu ia hanya tersenyum tipis. Sulit dijelaskan, namun yang jelas perasaan menjadi sedikit lega setelah mengungkapkan isi pikirannya panjang lebar.
Ya... Semoga saja setelah ini, Jovanka betulan sadar dan tidak lagi berbuat onar.
Bersambung....