"Kehilangan terbesar adalah kehilangan yang terjadi lagi setelah kehilangan yang sebelumnya. Karena itu menandakan kita selalu kehilangan lagi, lagi dan lagi."
Season : I ....
જ⁀➴୨ৎ જ⁀➴
“Kamu udah nyerah satu tahun yang lalu!” gertak Ernest.
“Itu dulu, sekarang beda!” Kakiku pun mengetuk lantai, dan kami berdiri saling berhadapan.
“Terserah! Aku enggak mau harga diriku kamu injak-injak!”
“Kamu masih sayang sama aku kan, Ernest?”
Dia enggak berkedip sedikitpun. “Tandatangani aja suratnya, Lavinia!!!”
“Gimana kalau kita buat kesepakatan?”
“Enggak ada kesepakatan. Tandatangani!!”
“Mama kasih aku dua bulan di sini. Aku janji, dua bulan lagi ... apa pun yang terjadi ... mau ingatan aku pulih atau enggak ... kalau kamu masih pingin cerai, aku bakal tandatangani! Tapi please ba—”
“Udah, lah!! Aku jemput kamu jam sembilan, Sabtu pagi!” dengusnya sambil membanting pintu.
Aku ambil surat cerai itu, lalu membuangnya ke tempat sampah.
Aku enggak akan tanda tangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
I. Bu Guru Lavinia
Seminggu setelah tinggal di Villa ....
Aku bangun di kamar tamu dan bukannya langsung turun, aku malah duduk dulu di pinggir kasur sambil memandangi jendela depan.
Ada suara di bawah, sepertinya Lavinia sedang membuat sarapan. Beberapa hari terakhir, dia lagi mencoba makanan-makanan baru. Gara-gara, dia suka banget sama Sufle buatan Pincho di penginapan waktu itu.
Dia bilang kalau hari ini lagi buat varian barunya. Aku tertawa sendiri. Karena Lavinia yang dulu enggak pernah mau mencoba apa pun yang dia belum yakin bakal suka.
Sebenarnya, aku sudah merasakan dari awal waktu setuju untuk membantunya. Batas di antara kita pasti akan pudar. Tapi bukannya menginginkan Lavinia yang dulu, aku malah makin suka sama Lavinia yang sekarang.
Aku pakai kaus dan turun ke bawah buat sarapan. Aku sudah ada janji hari ini sama kepala sekolah tempat dulu Lavinia bekerja, buat ajak dia lihat-lihat kelas lamanya dan bertemu sama anak-anak.
Pak Sonny bilang, semua murid sudah tulis surat dan enggak sabar ingin bertemu dengan Lavinia. Kayaknya, sih itu bakal bikin dia senang.
“Auughhh, panas!” kata Lavinia saat aku masuk dapur, dia memasukkan jari ke mulut. “Yah, kok malah jadi Pancake, sih?”
Dia menggeleng masih dengan jari di mulut. Aku tarik pergelangan tangannya dan bawa ke wastafel, lalu aku menyalakan keran air.
“Kalau gitu aku mau coba buah mana yang paling aku suka buat Pancake,” katanya.
Aku lihat ke meja, ada stroberi, blueberry, pisang, sama anggur.
“Jangan kasih tahu dulu buah yang dulu aku suka,” imbuhnya sambil kabur, dan aku tertawa.
“Hemm. Lukanya enggak parah, kok,” kataku sambil mematikan keran. “Tapi perhatiin, siapa tahu melepuh, tuh.”
“Cuma kena mentega doang. Tenang aja.”
“Mau aku bantu?” tawarku sambil ambil spatula.
“Enggak usah! Kamu duduk aja, biar aku yang masakin.” Dia menunjuk ke bangku di meja dapur.
Dia pakai celana piyama dan kaus bertulisan, "Fvcking Amnesia!!"
Dia memperhatikanku yang sedang fokus ke tulisan di kausnya. “Oh, Talia yang beliin ini. Katanya lucu.”
Aku ambil kopi dan duduk di bangku sambil memandangi dia. “Terus Mama kamu ngerasa itu lucu juga?”
Dia tertawa. “Menurutmu?”
“Feeling aku, sih, enggak.”
“Hahaha.Tapi yang dikatain sama kaus ini bener, lho.” Dia tunjukkan spatula ke arahku.
“Udah ngobrol sama Mama?”
Dia angkat bahu. “Dia nge-chat, terus aku jawab kalau aku baik-baik aja.”
“Dan kamu bilang lagi di sini?”
Dia balik Pancakenya, terus diam sejenak. “Enggak. Aku enggak yakin dia bakal ngerti.” Dia susun Pancake yang sudah jadi di piring dan mematikan kompor.
“Kamu masih ingat cara masak, nyetir mobil, hal-hal lain gitu?”
Dia memberikanku piring. “Iya. Namanya Amnesia Retrograde. Jadi aku ingat sama hal-hal yang terjadi jauh sebelum kecelakaan, tapi kata dokter, biasanya memori dekat-dekat waktu kejadian lebih susah baliknya.”
“Makanya kamu masih ingat orang tua kamu sama aku, tapi yang lainnya belum semua, ya?”
Dia mengangguk, kecewa. “Iya.”
“Kamu pernah nyetir?”
Dia tertawa sambil menaruh empat Pancake di piringku, dua di piring dia. “Dulu, kan aku pernah belajar nyetir bareng Mama, ingat?”
Aku tersenyum. “Yah, mungkin sekarang bisa belajar lagi.”
Dia lihat keluar jendela. “Enggak mungkin aku nyetir sendirian, di sini.”
Aku beri mentega dan sirup ke Pancakeku, tanpa buah. “Aku bakal temenin.”
“Terus kalau mobilnya meluncur dari tebing gimana, kamu juga mau temenin?”
Dia potong Pancakenya jadi empat bagian dan taruh buah yang berbeda di setiap potong.
“Itu gunanya ada pagar pembatas.” Aku kedipkan mata ke dia.
Dia tertawa, terus melihat ke piringnya. “Mau taruhan enggak, mana yang bakal jadi favorit aku?”
“Aku pilih stroberi.”
“Oke. Aku pilih pisang,” jawabnya sambil mulai mencicipi dari yang pakai blueberry.
“Kamu tahu, kan kalau aku tahu semuanya tentang kamu?” Dia geleng-geleng. “Tosss!!” Aku kasih isyarat biar dia mulai makan.
Aku potong Pancake dan memasukannya ke mulut. Andai saja ada sosis. Tapi malas banget masaknya, lagipula aku juga enjoy sama permainan Lavinia sekarang.
Dia mengunyah, terus tiba-tiba berhenti. “Wih, meledak di mulut aku.” Dia tertawa, bibirnya biru.
Aku ambil satu blueberry dan makan juga. “Justru itu enaknya.”
“Buat aku enggak. Tapi rasanya, sih enak.”
“Besok cobain ke muffin, kali ya.”
“Ide bagus.” Dia tunjuk aku pakai garpu terus mencoba Pancake stroberi. “Hmm …” Dia menelannya “... aku suka.”
Aku kedipkan mata, dalam hati sudah merasa menang. “Sekarang udah tahu, kan siapa yang bakalan menang?”
“Hei, bentar dulu. Biar aku cobain semuanya dulu.”
Tawa dia menggema. Suara paling enak yang pernah aku dengar. Saat kita mengadakan acara kecil minggu lalu, dia juga tertawa. Tapi enggak seperti sekarang, waktu cuma berdua saja.
Dia masukkan potongan Pancake pisang ke mulut, menatap ke atas. “Hummm ... Enak sih. Tapi bukan favorit aku.”
Aku tersenyum. “Tuh, kan aku enggak bohong. Terus kalau aku menang, aku dapat apa?"
Ruangan langsung menjadi hening, dan dia berhenti bergerak. Aku enggak yakin kita masih bisa pura-pura enggak terpikirkan soal seks. Aku pernah memergokinya sedang memperhatikanku dengan tatapan mesum, dan beberapa hari terakhir, setiap pagi, aku harus lihat dia jalan-jalan tanpa Bra, cuma pakai kaus putih tipis.
Butuh tenaga super buat menahan diri agar enggak membawanya ke sudut kamar dan menunjukkan bagaimana dulu kita berhubungan badan.
"Kalau kamu menang, aku yang nyetir hari ini," kata dia.
"Deal," jawabku, buru-buru mengusir bayanganku untuk bercumbu dengannya di atas meja dapur sambil makan blueberry sama stroberi dari tubuh dia.
Astaga.
"Oke deh, yang terakhir ya." Dia masukkan pancake rasa anggur ke mulutnya, mengunyahnya sekali, terus langsung jalan ke wastafel untuk meludah.
"Enggak bisa nih. Semua biji-biji kecilnya pahit banget di mulut aku."
Aku pun tersenyum, terus menghabiskan pancakeku yang lain. "Jadi, bisa dibilang aku yang menang, dong?"
Dia balik badan, ambil tisu dari rak dan bersihkan mulutnya.
"Aku dari dulu suka stroberi, ya?" tanyanya, terlihat kecewa.
Jadi aku buat dia sedikit tenang dengan menggelengkan kepala dulu.
"Terus dulu favorit aku apa?"
Aku tunjuk pisang, dan dia tersenyum.
Aku tahu, apa yang sudah dikatakan Inggrid ke dia waktu di pesta malam itu sudah keterlaluan. Sekarang Lavinia merasa bersalah, selalu punya pikiran kalau dia enggak suka dirinya yang dulu.
Padahal aku cinta banget sama cewek itu. Jadi aku janji sama diri aku sendiri, apapun yang terjadi, aku akan buat dia cinta sama dirinya yang sekarang, entah dia nantinya kembali kepadaku atau enggak.
...જ⁀➴୨ৎ જ⁀➴...
Kita duduk di mobilku, dan dia terlihat kecil banget duduk di kursi sopir. Dulu waktu dia masih tinggal di sini, dia punya SUV kecil dan paling anti buat menyentuh mobilku.
"Aku perlu jelasin lagi mana rem, mana gas?" tanyaku.
Dia langsung melirikku.
Aku angkat tangan. "Maaf, ya ... tapi kamu aja enggak ingat pernah nikah sama aku. Aku cuma mau pastiin kita semua aman selama petualangan ini."
Dia memutar mata. "Ingat. Aku enggak ingat pernah nikah sama kamu, bukan berarti aku lupa semuanya." Dia fokus ke dashboard, berharap mobilnya nyala sendiri.
"Masukin kunci ke situ, tuh ... dan puter ke depan," jelasku, memberikannya instruksi.
"Iya, iya aku tahu," katanya sambil mengatur posisi duduk, punggungnya tegak, dan dia mengecek kaca spion, untuk yang keseribu kalinya.
Bahkan aku sudah memutarkan mobil ini agar dia enggak perlu mundur dari garasi.
Aku menunggunya santai, satu tangan bersandar ke belakang kursinya, tangan satunya menyandar di pintu.
"Yuk lah, entar kita telat."
Dia kasih aku tatapan tajam lagi, terus mulai menjalankan mobil, lepas rem pelan-pelan ... tapi langsung menginjak rem lagi sebelum keluar garasi.
"Maaf," katanya, menyeringai.
"Enggak apa-apa."
Dia condongkan badan ke depan, lihat kanan-kiri dari garasi. Aku pun ikut melihat juga, dan dia menempelkan tamparan canda ke lengan aku.
"Kayaknya aman," kataku.
Dia mulai jalan lagi, pegang setir seperti anak SMA baru dapat SIM.
"Kita lihat dulu nih, kamu bisa antar aku sampai sekolah enggak," godaku.
"Aku tahu jalan kok," ketusnya.
Aku angkat tangan, membiarkan dia mengambil alih. Saat kita sudah keluar dari pegunungan dan mulai masuk ke kota, dia mulai santai duduknya. Meski masih sering menginjak rem, dia lumayan juga.
"Ini seru juga, ya. Aku jadi pingin beli mobil," katanya.
"Raize kamu emang ke mana?" tanyaku.
"Di Jogja."
Jadi dia sempat menyetir ke sana. "Kenapa enggak sekalian bawa balik ke sini aja?"
Dia angkat bahu.
"Apaan tuh maksudnya angkat bahu doang?"
Aku bergeser sedikit di kursi, memperhatikannya.
"Hemm ... aku kayaknya pingin mulai dari awal lagi. Udah aku pikirin lama, dan jangan salah paham, ya." Dia melirik ke arahku, aku pun langsung tunjuk ke jalan. "Aku pingin ingat kenapa aku pergi, dan aku bakal lakuin apapun buat cari tahu. Tapi sekarang aku lagi senang banget bisa nemuin diri aku yang baru. Berapa banyak orang sih yang dapat kesempatan buat nemuin versi baru dari dirinya sendiri?"
Dia berhenti di depan sekolah, yang sekarang sudah ganti papan namanya untuk menyambut dia pulang.
"Tuh, lihat deh."
Saat dia parkir, maju-mundur beberapa kali untuk membenarkan posisi, kata-kata dia tadi masih menempel di kepalaku. Dia benar-benar enggak suka dirinya yang dulu.
Kita turun dari mobil, dan dia melirik bokongku. "Aku enggak dapat ucapan selamat nih? Aku ingat jalan ke sekolah, loh!"
"Selamat," jawabku sambil tersenyum ke dia.
Dia miringkan kepala saat aku pencet bel sekolah. "Kamu enggak apa-apa?" tanyanya.
Aku mengangguk, dan menatap langsung ke mata gelapnya. "Kamu tahu enggak, dulu kamu tuh hebat, sebelum kecelakaan, ya. Dan aku enggak bakal jatuh cinta sama orang yang enggak hebat."
Untuk pertama kalinya pagi itu, senyumnya hilang. Dia mengangguk pelan. "Aku tahu. Aku cuma lagi senang aja sekarang."
Dia mungkin sedang menjadi versi baru dari dirinya. Tapi ada satu hal yang enggak akan berubah ... aku masih bisa tahu, kapan dia berbohong.
lanjut kak