NovelToon NovelToon
Misteri Obat Kuat di Dompet Suamiku

Misteri Obat Kuat di Dompet Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Pelakor jahat / Pelakor / Selingkuh
Popularitas:157
Nilai: 5
Nama Author: Caracaramel

Anton selalu pulang dengan senyum hangat, perhatian yang tak berubah, dan alasan pekerjaan yang terdengar sangat wajar. Terlalu wajar, hingga Nayla tak pernah merasa perlu meragukannya.

Namun ketika satu demi satu kejanggalan kecil muncul, Nayla mulai dihadapkan pada kenyataan pahit. Pengkhianatan tak selalu datang dari sikap yang dingin, melainkan dari kehangatan yang dijaga dengan terlalu rapi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caracaramel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21

Malam hari, pintu rumah terbuka perlahan. Anton masuk sambil menghembuskan napas panjang, wajahnya terlihat lelah. Nayla berdiri di ruang tamu dengan senyum yang kalau dilihat lebih dekat, tidak pernah sampai ke matanya.

“Mas pulang,” ucap Nayla lembut, seolah tidak terjadi apa-apa.

Anton mengangguk cepat dan menaruh tasnya.

“Iya, Sayang. Capek banget kalau harus keluar kota. Nggak bisa diwakilkan.”

Nayla hanya tersenyum, tidak menanggapi. Senyum yang membuat dadanya sendiri perih.

Dea yang sejak tadi mendengar suara pintu, langsung berlari kecil dari lantai atas. “Papa pulang! Papa bawa apa?”

Anton tersenyum lebar, mengambil kotak kecil dari tasnya. “Nih, hadiah buat Dea. Jam tangan baru.”

Dea memekik kecil, senang bukan main. Nayla melihat itu, dan hatinya mencelos. Anton terlihat begitu hangat, begitu menjadi ayah yang baik, padahal yang dia ketahui beberapa jam lalu justru kebalikannya.

Mereka melalui malam seperti biasa. Mereka makan bersama, bercakap seperlunya. Anton bercerita panjang lebar tentang pekerjaan yang “menumpuk.” Nayla hanya mengangguk, tak ada sanggahan, tak ada pertanyaan.

Namun saat malam semakin larut dan Anton tertidur di sampingnya, Nayla menatap punggung laki-laki itu, punggung yang dua malam terakhir menindih perempuan lain.

Pelan-pelan, Nayla bangkit dan mengambil bantalnya. Ia berjalan keluar kamar tanpa suara, masuk ke kamar Dea. Ia memeluk putrinya yang sudah terlelap.

Dia tidak mau satu ranjang dengan laki-laki yang menghancurkan hatinya.

***

Pagi-pagi sekali, Nayla sudah sibuk di dapur. Dia memasak banyak hal, lebih banyak dari biasanya. Ketika Bu Sari datang, wanita paruh baya itu terkejut.

“Lho, Mbak Nayla, ini semua mbak yang masak? Aduh, maaf ya mbak.”

“Tidak apa-apa, Bu Sari. Saya lagi senggang,” jawab Nayla sambil tersenyum.

Anton turun ke meja makan dan mengangkat alisnya, terkejut.

“Wah, tumben lengkap begini?”

“Itu untuk menyambut Mas yang baru pulang dari luar kota.” Nayla menekan dua kata terakhir itu dengan halus, tapi jelas.

Anton menatapnya sejenak. Nayla balas menatap sambil tersenyum tipis. Anton mengalihkan pandangan. Kemudian Dea muncul sambil berseru bahagia melihat makanan sebanyak itu. Nayla menyuruhnya makan, begitu juga dengan Bu Sari.

Namun Nayla sendiri tidak ikut sarapan. “Aku sudah makan,” katanya, padahal belum. Dia kembali ke kamar, mandi, lalu berdandan. Ada sesuatu yang ingin ia tuntaskan hari ini.

Ketika kembali ke meja makan, Anton dan Dea sudah siap berangkat. Mereka pamit seperti biasa. Nayla mengiyakan dengan tenang, menatap mobil itu menjauh sebelum akhirnya mengambil tas dan kunci mobilnya.

Sebelum keluar, dia menatap Bu Sari.

“Bu, kalau Mas Anton telepon, bilang saya lagi istirahat ya. Saya matikan ponsel.”

Bu Sari mengangguk, bingung namun tidak berani bertanya.

Nayla masuk ke mobil dan melaju ke sekolah Dea. Tepat ketika Anton selesai menurunkan Dea, mobil Nayla tiba. Ia memanggil putrinya.

“Dea, Vina sudah datang?”

“Sebentar lagi, Ma,” jawab Dea polos. “Mama kenapa ke sekolah?”

Nayla tersenyum hangat. “Ada rapat sebentar sama wali murid.”

Dea menerima jawaban itu tanpa curiga, lalu mencium pipi mamanya, dan berlari ke kelas. Tak lama kemudian, mobil Vina dan ibunya tiba. Ketika Lestari keluar, Nayla menyapanya dengan sopan.

“Bu Lestari, bisa ngobrol sebentar? Di kafe dekat sini?”

Lestari tampak bingung, tapi mengangguk.

***

Di kafe, mereka duduk berhadapan. Lestari menatap Nayla dengan alis terangkat. “Ada apa, Bu Nayla?”

Nayla meneguk pelan kopi hitamnya. Lalu menatap lurus ke arah Lestari. Tatapan yang tajam, tapi tenang.

“Saya mau bilang sesuatu.” Hening sejenak. “Saya sudah tahu kalau kamu selingkuhan Anton.”

Wajah Lestari langsung pucat. Namun dalam satu detik, dia mencoba menopang diri dan tersenyum sinis.

“Saya nggak tahu maksud Ibu apa..”

Nayla menyela, tersenyum remeh. “Bu, saya sudah melihat semuanya.”

Kata-kata itu mengenai sasaran seperti pisau. Mata Lestari membesar, lalu tatapannya berubah menjadi tajam. Dan akhirnya, dia mengaku.

“Iya. Aku selingkuhan Anton. Dan yang harus kamu tahu, Anton lebih bahagia sama aku daripada sama kamu.” Suaranya meninggi, penuh kemenangan. “Lebih baik kamu ceraikan dia. Biar dia sama perempuan yang dia pilih.”

Nayla tersenyum kecil, senyum yang membuat Lestari tampak semakin gelisah.

“Bu Lestari,” ucap Nayla pelan namun menusuk, “saya kira kamu ini perempuan elegan. Ternyata suka barang bekas.”

Lestari membelalak, wajahnya memerah marah.

“JAGA MULUT KAMU!” bentaknya.

“Anton itu datang ke aku karena dia yang mau! Setiap kali dia bilang lembur, kami ada di hotel! Dia yang cari aku, bukan aku yang paksa!”

Suara Lestari bergetar, tetapi penuh rasa ingin menang. Sedangkan Nayla hanya menatapnya tanpa terpancing. Dia sudah terlalu menghabiskan tenaga belakangan ini. Nayla masih tersenyum. Senyum yang membuat Lestari semakin tidak nyaman, seolah apa pun yang ia ucapkan hanya akan dipatahkan dengan ketenangan Nayla.

“Padahal kamu tahu,” Nayla bersandar sedikit, suaranya lembut namun tegas, “Anton itu ayah dari sahabat Vina. Tapi kenapa kamu tega, kalau sahabat anakmu sendiri sampai kehilangan ayah karena kamu rebut?”

Nayla menatap langsung ke mata Lestari. “Kalau aku, tidak masalah kalau memang harus cerai. Aku cuma kehilangan suami. Tapi sebagai seorang ibu, apa kamu tidak pernah mikir, bagaimana perasaan seorang anak kalau kehilangan ayahnya karena direbut orang lain?”

Lestari terdiam sepersekian detik. Lalu ia tertawa, tawa remeh penuh penghinaan.

“Peduli apa aku sama anakmu?” katanya ketus. “Dia kan bukan anakku.”

Nayla mengangguk pelan, seolah sudah menduga jawaban itu.

Lestari melanjutkan dengan nada sinis.

“Yang penting aku bahagia, Anakku bahagia, Keluarga kami jadi lengkap, dan aku nggak sendirian lagi.”

Dia menyeringai, mengangkat dagunya.

“Sedangkan kamu? Dicampak begitu saja.” Lestari tertawa mencemooh, suara tawanya menusuk udara kafe yang sebelumnya tenang.

Namun Nayla tidak melakukan apa-apa selain tersenyum sekali lagi. Senyum yang justru membuat Lestari naik pitam karena tidak bisa mengoyak ketenangan wanita itu.

“Tidak apa-apa,” jawab Nayla lembut. “Kalau Anton memang mau mencampakkan aku, itu pilihannya. Dan aku tidak akan mempertahankan laki-laki yang sudah tidak menginginkan keluarganya.”

Dia mengangkat bahunya, seolah masalah itu bukan bencana besar dalam hidupnya, padahal hatinya hancur berkeping-keping.

“Tapi,” Nayla mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, “aku hanya ingin kamu tahu satu hal penting, Bu Lestari.”

Napasnya teratur. Tatapannya tajam.

“Aku tidak tertarik rebutan laki-laki seperti Anton, apalagi bersama perempuan seperti kamu.”

Lestari ternganga, tidak percaya Nayla berani mengatakannya begitu blak-blakan.

“Aku tidak akan menurunkan diriku untuk permainan semacam itu,” lanjut Nayla. “Kalau cerai adalah ide bagus, ya, mungkin memang begitu.” Dia merapikan rambutnya pelan.

“Tapi aku ini seorang ibu. Aku harus memikirkan Dea. Aku harus memastikan dia tidak hancur hanya karena ayahnya memilih wanita yang tidak memikirkan apa pun selain dirinya sendiri.”

Senyum itu kembali muncul. Tenang. Matang. Menyakitkan bagi lawannya.

“Jadi, kalau kamu ingin Anton, silahkan ambil saja,” Nada Nayla tetap lembut.

“Tapi jangan pernah berharap aku kalah atau tersingkir begitu saja. Aku tidak sedang memperebutkan laki-laki. Aku sedang melindungi anakku.”

Lestari mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. Untuk pertama kalinya sejak percakapan dimulai, dia tidak punya jawaban. Karena kalimat-kalimat Nayla menyentuh titik terlemah dalam dirinya sebagai seorang ibu, yang selama ini ia abaikan demi mengejar laki-laki bernama Anton. Dan itu membuatnya panas dan marah.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!