“Aku kecewa sama kamu, Mahira. Bisa-bisanya kamu memasukkan lelaki ke kamar kamu, Mahira,” ucap Rangga dengan wajah menahan marah.
“Mas Rangga,” isak Mahira, “demi Tuhan aku tidak pernah memasukkan lelaki ke kamarku.”
“Jangan menyangkal, kamu, Mahira. Jangan-jangan bukan sekali saja kamu memasukkan lelaki ke kamar kamu,” tuduh Rukmini tajam.
“Tidak!” teriak Mahira. “Aku bukan wanita murahan seperti kamu,” bantah Mahira penuh amarah.
“Diam!” bentak Harsono, untuk kesekian kalinya membentak Mahira.
“Kamu mengecewakan Bapak, Mahira. Kenapa kamu melakukan ini di saat besok kamu mau menikah, Mahira?” Harsono tampak sangat kecewa.
“Bapak,” isak Mahira lirih, “Bapak mengenalku dengan baik. Bapak harusnya percaya sama aku, Pak. Bahkan aku pacaran sama Mas Rangga selama 5 tahun saja aku masih bisa jaga diri, Pak. Aku sangat mencintai Mas Rangga, aku tidak mungkin berkhianat.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
mh 8
Mahira mengumandangkan iqamah. Sudah enam tahun ia tidak berjemaah dengan keluarganya.
Dulu, sebelum Rukmini dan Ratna datang, Mahira sering salat berjemaah bersama Pak Harsono dan Ibu Lisnawati.
“Allahu akbar,” Doni mengangkat takbiratul ihram.
Dada Mahira bergetar saat lantunan ayat suci dibacakan Doni—merdu, tidak terlalu lambat dan tidak juga cepat.
Setelah salat, kepala Mahira terasa berat. Ketika Doni berdzikir, Mahira tak kuasa menahan kantuk dan akhirnya terlelap.
Selesai berdoa, Doni menoleh ke belakang.
“Yah… dia ngorok,” gumamnya.
Doni menggoyang tubuh Mahira, tetapi Mahira tidak juga bangun.
Dengan mudah Doni membopongnya, membawa Mahira masuk ke kamar. AC dinyalakan dengan suhu tidak terlalu dingin, tubuh Mahira ia selimuti, lalu ia keluar kamar.
“Gue harus laporan dulu. Sama beli ponsel baru. Bisa acak-acakan pasukan kalau gue nggak ada,” gumam Doni.
Ia melangkah ke dapur. Tangannya cekatan memasak, dan aroma masakan mulai menguar ke udara.
…
Di rumah Pak Harsono, suasana sudah ramai. Akad nikah diundur dari pukul sembilan pagi menjadi pukul dua siang. Sebagian keluarga besar sudah tahu penyebabnya. Sebelum akad dimulai, kedua keluarga besar melakukan rapat mendadak supaya semuanya jelas.
“Mahiranya ke mana, Pak?” tanya Ibu Wati.
Pak Harsono, yang duduk bersama adiknya Pak Yutiman dan kakaknya Pak Sardi, tampak menghela napas panjang.
“Mahira semalam pergi dari rumah,” jawabnya.
“Kenapa sih Mahira berubah mendadak begitu, Pak? Jujur saja… aku masih berharap Mahira jadi istri Rangga,” ucap Pak Dasuki.
“Sudah terlambat, Pak. Semalam Mahira sudah menikah dengan orang lain,” sela Ibu Rukmini.
“Kenapa kalian ambil keputusan sepihak? Kenapa tidak telepon saya dulu?” protes Pak Dasuki kesal.
“Bukankah Rangga sudah tahu, Bu? Dan Rangga sendiri yang membatalkan pernikahan,” ujar Pak Harsono.
“Ya… Rangga itu masih belum panjang pikirannya. Harusnya dia telepon saya dulu. Kami kenal baik dengan Mahira… rasanya kami tidak percaya kalau Mahira selingkuh. Dan lagi, bagaimana bisa lelaki asing masuk ke kamar Mahira? Apa kalian tidak melihat kejanggalan itu?” tekan Pak Dasuki.
“Pak, jangan cuma pikirkan kecocokan Bapak dengan Mahira saja. Pikirkan juga kebahagiaan Rangga, Pak. Rangga itu perjaka. Dia harus menikah dengan gadis perawan. Seorang perempuan memasukkan lelaki ke kamarnya… apa bisa dijamin kegadisannya?” terang Ibu Rukmini.
“Baiklah kalau begitu. Tapi maaf, kami masih ragu sama Nak Ratna,” ucap Pak Dasuki. “Jadi hadiah rumah dari kami untuk Rangga dan istrinya… kami tahan dulu. Kalau Mahira jelas bisa masak, bisa urus rumah, kami menyaksikan sendiri dan merasakan masakannya. Kami takut anak kami kelaparan kalau punya istri yang nggak bisa masak.”
“Ya nggak bisa begitu dong!” seru Rukmini kesal. “Itu hak Rangga dan Ratna, Bapak nggak boleh batalkan begitu saja!”
“Bu, yang bikin masalah itu dari keluarga Ibu, loh,” sahut Ibu Wati tegas. “Sebenarnya Rangga tidak punya kewajiban menyelamatkan kehormatan keluarga kalian. Itu adalah syarat dari kami. Kalau mau, ayo lanjut pernikahan ini. Kalau nggak mau, ya kita batalkan saja.”
“Jangan, Bu,” ucap Pak Harsono cepat. “Saya setuju dengan syarat dari Ibu.”
“Ya sudah kalau begitu, kita langsungkan saja akad pernikahan,” ucap Pak Dasuki.
Rukmini tampak jelas tidak puas dengan keputusan itu.
Sementara itu di kamar pengantin, para sepupu sudah berkumpul di kamar pengantin.
“Kamu yang sabar ya, Ratna,” bisik Rini lirih.
“Ya mau bagaimana lagi, Na… demi Bapak aku lakukan ini semua,” balas Ratna dengan suara berat.
“Padahal bisa saja lu nolak, Ratna… masa depan lu masih cerah. Tapi pasti keluarga kita malu,” sahut Rini, terdengar ragu.
“Tapi lu cinta nggak sama Rangga?” tanya Lukman menyelidik.
“Aku bahkan belum berpikir punya pacar. Sekarang tiba-tiba aku harus punya suami… aku hanya berharap Mas Rangga baik sama aku. Mungkin seiring waktu aku bisa menerima dia apa adanya,” tutur Ratna sendu.
“Iya, lagian Mahira keterlaluan banget sih. Masa menjelang malam pernikahan dia malah bikin onar,” gerutu Anton kesal.
“Iya, memang Mahira berubah akhir-akhir ini. Suka bikin onar…” tambahnya lagi dengan mendengus.
“Mungkin Kak Mahira masih belum bisa terima keberadaanku dan Ibu, makanya dia selalu membuat onar. Padahal aku juga nggak tahu apa-apa… aku juga korban. Bahkan aku baru tahu kalau aku punya ayah setelah 15 tahun aku hidup. Aku nggak tahu masalah orang tua, tapi kenapa aku yang selalu jadi korban…” isak Ratna, suaranya pecah.
Rina memegang pundak Ratna, menenangkan. “Kamu yang sabar ya, Ratna. Kami sekeluarga berterima kasih sama kamu. Tenanglah… kami akan bersama kamu. Kami tidak akan membiarkan Mahira berbuat jahat sama kamu,” ucap Rina tulus.
“Terima kasih, Rina,” Ratna membalas pelan.
Pintu kamar mendadak terbuka.
“Ayo kalian keluar. Akad sudah mau dimulai,” seru Bu Mimin, istri Pak Ruslan, sembari masuk bersama Rukmini.
“Ok deh… bismillah, Ratna. Mudah-mudahan ini yang terbaik,” ujar Rina memberi dorongan.
“Terima kasih semuanya…” lirih Ratna, suara gemetarnya hampir tak terdengar
Rangga berhadapan dengan penghulu.
“Apakah Anda sudah menghafal ijab kabulnya?” tanya Pak Karna.
“Sudah, Pak,” sahut Rangga singkat.
“Jangan sampai salah nama ya, karena awalnya kan Mahira,” ingat Pak Karna hati-hati.
“Ya, Pak,” jawab Rangga menegaskan.
“Ya, Ananda Rangga bin Dasuki, saya nikahkan engkau dengan Ratna Wulandari binti Harsono dengan maskawin seperangkat alat salat dibayar tunai.”
“Saya terima nikahnya Ratna Wulang binti Harsono dengan maskawin tersebut dibayar tunai,” ucap Rangga terbata, namun tetap lantang.
Pak Karna mengedarkan pandangan.
Rukmini hampir saja protes karena setahu dia maskawin yang akan diberikan pada Mahira adalah satu set perhiasan.
Tatapan tajam Pak Harsono langsung menghentikan upaya protes Rukmini.
“Sah!” seru para saksi.
Ruangan pun pecah oleh sorak sorai.
Pak Karna melantunkan doa.
Ratna keluar dari kamar pengantin, dibawa oleh Bu Mimin dan Linda.
“Kenapa pucat sekali ya muka pengantinnya,” gumam seorang tamu.
Ratna duduk di samping Rangga, lalu mencium tangan suaminya.
Rangga melirik wajah Ratna. “Kenapa dia nggak secantik Mahira sih…” keluhnya dalam hati.
Setelah pembacaan janji pernikahan dan beberapa ritual, pengantin dibawa ke pelaminan.
Rukmini yang sejak tadi menahan diri akhirnya menghampiri Ibu Wati.
“Bu, kok nggak ada satu set perhiasannya sih? Kan kemarin katanya maskawinnya satu set perhiasan,” protes Rukmini.
Ibu Wati menatap sinis, lalu mengalihkan pandangan. “Itu kan kalau pengantinnya Mahira. Ini bukan Mahira. Kalau Mahira, aku sudah tahu dari kecil sampai besar… kalau sekarang, kan aku nggak tahu.”
“Nggak bisa begitu dong, Bu,” desis Rukmini kesal.
“Sudah, Bu… harusnya Ibu bersyukur Rangga masih mau menikah. Bahkan Rangga masih bisa mencari yang lebih baik dari anak kamu,” balas Ibu Wati tegas.
Kemudian Ibu Wati melangkah ke pelaminan menemani pengantin menerima tamu.
anak buah doni kah?
sama" cembukur teryata
tapi pakai hijab apa ga aneh