NovelToon NovelToon
Runaways Of The Heart

Runaways Of The Heart

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / CEO / Percintaan Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / Mafia / Cintapertama
Popularitas:238
Nilai: 5
Nama Author: Dana Brekker

Darren Myles Aksantara dan Tinasha Putri Viena sama-sama kabur dari hidup yang menyesakkan. Mereka tidak mencari siapa pun, apalagi cinta. Tapi pada malam itu, Viena salah masuk mobil dan tanpa sengaja masuk ke lingkaran gelap keluarga Darren. Sejak saat itu, hidupnya ikut terseret. Keluarga Aksantara mulai memburu Viena untuk menutupi urusan masa lalu yang bahkan tidak ia pahami.

Darren yang sudah muak dengan aturan keluarganya menolak membiarkan Viena jadi korban berikutnya. Ia memilih melawan darah dagingnya sendiri. Sampai dua pelarian itu akhirnya bertahan di bawah atap yang sama, dan di sana, rasa takut berubah menjadi sesuatu yang ingin mereka jaga selamanya.

Darren, pemuda keras kepala yang menolak hidup dari uang keluarga mafianya.

Viena, gadis cantik yang sengaja tampil culun untuk menyembunyikan trauma masa lalu.

Genre : Romansa Gelap

Written by : Dana Brekker

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dana Brekker, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ch 16

Tatkala alarm di ponselnya berbunyi, Viena sudah lebih dulu terjaga. Ia beranjak keluar dari kamar mandi, merapikan rambut, lalu menatap bayangannya di cermin persegi panjang yang tergantung di salah satu kamar rumah Sita yang kini gadis itu tinggali. Kata hati terus berucap bahwasanya menumpang di rumah orang bukanlah bagian dari rencananya, tapi Sita kan sudah lebih dari sekedar teman?

Sayangnya status itu tidak membuat Viena leha-leha dan menggantungkan hidupnya pada si cebol itu. Perjalanan sudah sampai sejauh ini. Pekerjaan sudah ia dapatkan, gaji datang satu bulan lagi selain uang yang di berikan oleh Darren selepas pesta dan keluarganya, terutama kakaknya yang brengsek seperti sudah lelah berurusan dengannya, dan itu berita bagus. Menurut prediksi, pintu rumah Sita seharusnya sudah digedor kakaknya sejak kemarin, tapi nyatanya tidak.

Sebelum bertempur di tempat kerja, Viena harus memastikan tidak ada hal yang membuat dirinya di pecat di hari kedua. Dia melangkah lebih dekat ke cermin. Mencuci muka dengan sabun facial lalu menyemprotkan sedikit parfum freshy. Rambut ia rapikan seadanya, poni ditata tepat di atas alis. Adapun kostumnya hari ini tidak jauh beda seperti kemarin, kemeja polos kebesaran warna oatmeal, cardigan, rok lipit hitam sebetis, kaus kaki yang nanti akan ditutup dengan sneakers putih. Nampak sudah, gadis culun yang tersenyum kaku di depan cermin. Gadis yang tak mengundang nafsu bejat orang-orang di sekitarnya, tidak pula mengundang masalah yang entah dari dulu timbul karena alasan apa. Namun penampilan ini benar-benar membuat dirinya lebih bisa menikmati hidup, sekaligus pelindung.

Beruntung kacamata bulat miliknya kemarin tidak terlepas saat ia jatuh di studio. Maka Darren belum melihat wajah aslinya. Dan itu penting. Pengalamannya di pekerjaan lama cukup mengajarkan betapa “cantik” bukanlah rezeki, melainkan sebuah kutukan. Hampir dicium senior di lift, tangan pria yang menahan pintu pantry, paket bunga anonim di depan pintu rumah, chat larut malam yang berubah ancaman ketika ia berhenti membalas. Lantaran itu semua, ia kabur dari pekerjaan itu, bahkan rumah. Viena lenyap dari jejak, menghilang dari radar para hyena, dan hidupnya kini jauh lebih tenang? Gadis itu sendiri belum bisa menarik kesimpulan.

Di atas meja rotan, ponselnya berdering. Nama Darren Aksantara terpampang jelas. Ini pertama kalinya Darren menelepon. Jantungnya memukul satu kali lebih keras.

Ia selipkan rambut ke belakang telinga, lalu menjawab.

“Ya? Halo?”

Suara Darren terdengar tenang seperti biasa, datar, rapi, tidak terburu-buru. Namun inti kalimatnya turun berat seperti besi yang dilempar dari langit.

“Aku cuma mau mengingatkan… kalau kontrak kita belum selesai.”

“Hah?” Viena mengerutkan dahi. “Aku pikir… setelah pesta itu—”

“Belum,” tukas Darren. “Mulai hari ini kamu bakal sering bertemu teman-temanku. Mereka harus tahu kalau kamu pacarku. Kalau nggak, keluarga besarku bisa tahu cerita aslinya. Aku belum mau itu terjadi. Nggak sekarang.”

“Tapi—”

“Viena,” sela Darren lagi, kali ini ketara sekali lebih lembut, tanpa tekanan, “tolong.”

“Kalau kamu merasa perlu kompensasi,” lanjutnya tanpa mengubah nada, “kita bisa atur bayaranmu.”

“Bukan itu masalahnya… ,” desah Viena, lirih.

“Kamu sendiri yang bilang,” lanjutnya kemudian, nadanya merajuk, “aku tuh orangnya nggak pandai pura-pura.”

Darren tak langsung menjawab. Bunyi napasnya terdengar di seberang, tenang, ia sedang memilah diksi.

“Justru karena kamu nggak pandai pura-pura, orang bakal percaya kalau itu nyata,” cetusnya.

“Kamu dengerin nggak sih, omonganku barusan?”

“Aku denger,” balas Darren, kalem. “Aku juga nggak minta kamu akting lebay atau manja. Kamu cuma perlu tetap ada. Jalan di sebelahku. Jawab seperlunya. Sisanya biar aku yang urus. Persis seperti waktu di pesta itu.”

“Tetap ada?” Viena mendengus . “Ngomong aja gampang.”

“Emang gampang,” Darren santai. “Yang ribet itu kalau semuanya kebongkar. aku nggak mau kita berurusan sama keluargaku sekarang. Kalau salah satu dari kita lengah, tamat sudah.”

“Kamu nakut-nakutin, ya? Tanya Viena lalu memejamkan mata sejenak. “Aku tuh memang takut ketahuan. Aku takut kepleset waktu ngomong.”

“Ada aku,” Darren menukas pendek. “Kalau kamu mulai panik atau bingung, bilang apa aja yang random, nanti aku yang tutup pembicaraannya.”

“Kayak kamu bakal nongol tepat waktu, nolongin aku tiap detik,” gerundel Viena, getir.

“Ya kalau kamu mau, aku tempelin kamu 24 jam biar aman,” seloroh Darren.

“Darren!”

Tawa laki-laki itu muncul, menikmati reaksi gadis itu.

Lalu jeda sebentar kala keduanya sama-sama berpikir. Memilah-milah pertanyaan sekaligus jawaban di satu waktu.

“Kalau kamu nggak mau pura-pura,” ujar Darren dengan nada yang terlampau santai untuk sebuah kalimat bom nuklir. “ya udah… beneran pacaran aja sekalian, gimana?”

“GILA lo ya—!!!” Refleks tangan Viena hampir melempar ponsel ke dinding.

Tawa Darren meledak lepas. Tawa yang benar-benar tanpa rem. Tanpa akhlak.

“Seriusan kamu.. ngomong gitu tuh—” Viena hampir kehabisan kata-kata, hanya bisa mengeluarkan dengus tak percaya.

“Santai aja. Aku cuma ngetes semangat pagi kamu.”

“Semoga dompet lu hilang hari ini,” gerutu Viena.

“Jangan ngedoain yang aneh-aneh,” Darren mencibir santai. “Ntar doanya balik, loh.”

“Makanya jangan semangatin orang pakai kalimat kayak gitu!” sergah Viena. “Dah, aku mau berangkat dulu.”

“Noted,” jawab Darren seolah tak merasa bersalah. “Hati-hati di jalan.”

Setelah itu Viena menurunkan ponsel kala nafas masih belum turun sepenuhnya. Gadis itu keluar dari kamar dan mengetuk pintu kamar Sita yang sedikit terbuka. Kepala gadis culun itu mengintip.

Di ruangan tiga kali tiga meter itu seorang gadis terkapar miring di kasur, selimut setengah jatuh ke lantai, rambut kusut, bibir terbuka sambil ngorok. Sementara di meja belajarnya berserakan draft tugas kuliah dengan stabilo warna-warni, gelas kopi dingin, dan earphone yang masih tercolok ke laptop yang layarnya menampilkan timeline revisi tugas. Tentu Viena tidak tega membangunkan sahabatnya.

“Babi satu ini… ,” decit Viena. Niat awal mau pamit dan minta wejangan mental support, alih-alih ia hanya menyentuh saklar lampu kamar sepelan mungkin.

“Udah mau berangkat, Dek?” suara pria dewasa keluar dari ujung lorong.

Ayah Sita muncul sambil membawa secangkir kopi panas, aroma robusta menghalangi kantuk. Viena segera merapat sopan.

“Iya, Om,” tutur Viena sambil sedikit membungkuk. “Saya berangkat dulu.”

“Rapi bener, padahal belum seminggu kerja,” gurau sang Om, menatap penampilan Viena dari atas sampai bawah. “Bagus, ya. Sudah pas jadi anak kantoran. Kalau mau Om anter nggak apa-apa loh atau mau Om jemput kayak kemarin?”

Viena menggeleng, garis lengkung berseri-seri di wajahnya. “Nggak usah, Om. Saya naik ojol aja. Nanti saya malah jadi kebiasaan diantar-jemput.”

“Hahaha, ya sudah.” Sang Om berjalan melewati Viena menuju ruang tamu.

Viena mengenakan sneakersnya di dekat pintu masuk, menyimpul tali.

“Oh iya Dek,” si Om menepuk kening. “Tadi Om lihat ada mobil item parkir depan gerbang dari jam tujuh lewat. Om kira itu bos kamu yang jemput.”

“Loh?” Viena berhenti. Mengerutkan dahi. “Bos saya… nggak bilang mau jemput.”

Ia menyingkap sedikit tirai jendela. Mobil sedan hitam yang dimaksud masih terpampang, hanya beberapa detik sebelum melaju pergi, seolah tahu dirinya tengah diperhatikan.

“Kayaknya bukan dia, Om,” ujar Viena, pelan. “Orang lain.”

“Oh gitu.” Si Om mengangkat bahu. “Ya udah. Hati-hati di jalan ya, Dek.”

“Iya, Om. Makasih.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!