"Kenapa harus aku yang menikah dengannya?”
Ava Estella tak pernah membayangkan hidupnya akan berubah sedrastis ini. Setelah kehilangan kekasihnya—putra sulung keluarga Alder—ia hanya ingin berduka dengan tenang. Namun keluarga Alder terlanjur menaruh rasa sayang padanya; bagi mereka, Ava adalah calon menantu ideal yang tak boleh dilepaskan begitu saja.
Demi menjaga nama baik keluarga dan masa depan Ava, mereka mengambil keputusan sepihak: menjodohkannya dengan Arash, putra kedua yang terkenal keras kepala, sulit diatur, dan jauh dari kata lembut.
Arash, yang tak pernah suka diatur, menanggapi keputusan itu dengan dingin.
“Kalau begitu, akan kubuat dia meminta cerai sebelum satu bulan.”
Dua pribadi yang sama sekali berbeda kini dipaksa berada dalam satu ikatan.
Apakah pernikahan ini akan membawa mereka pada jalan yang diharapkan keluarga Alder?
Atau justru membuka luka, rahasia, dan perasaan yang tak pernah mereka duga sebelumnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17 TIDAK BISA MASUK
Sementara itu, di gedung tinggi Helion, lift berhenti di lantai paling atas dengan bunyi lembut ding sebelum pintunya bergeser terbuka. Cahaya putih dari koridor menyinari Arash yang melangkah keluar dengan aura dingin dan percaya diri. Di sisinya berjalan seorang wanita paruh baya berpenampilan rapi—Merry, sekretaris sang Ayah yang sementara ditugaskan menemaninya sampai Arash mendapatkan sekretaris pribadi.
“Apa Papa sudah di ruang rapat?” tanyanya tanpa memperlambat langkah. Suaranya datar namun tegas.
Merry menyesuaikan langkah, mengangguk cepat. “Sudah, semuanya sudah menunggu di dalam. Termasuk para petinggi.”
Arash hanya mengangguk kecil, ekspresinya sulit dibaca. “Baik.”
Ia kembali melangkah, membuka pintu ruang rapat besar tanpa keraguan sedikit pun. Aura pemimpin muda yang mulai menguasai ruangan yang bahkan belum melihatnya.
...----------------...
Malam turun perlahan, menyelimuti kota dengan cahaya lampu yang berkilau seperti bintang jatuh. Gedung butik Miella sudah mulai sepi. Karyawan satu per satu pulang—kecuali Ava, Bella, dan beberapa penjahit yang masih sibuk menyelesaikan fitting terakhir.
“Bagaimana? Apa Anda menyukainya?” tanya Ava lembut, suaranya penuh profesionalisme namun tetap hangat.
Wanita yang berdiri di depan cermin mengamati gaun berwarna champagne yang membungkus tubuhnya. Ia tersenyum kecil. “Aku menyukainya, tapi bagian sini…” Ia menunjuk bagian pinggang. “Terlalu longgar. Aku ingin gaun ini lebih ngepas body.”
Ava mendekat, mengangkat sedikit kain di sisi pinggang dan menjepitnya dengan jarum. “Seperti ini?”
Klien itu memandangi siluetnya di cermin dan tersenyum puas. “Perfect.”
Senyuman klien selalu menjadi hadiah terbesar bagi Ava. Ia membalas senyuman itu dengan tulus—secercah kebahagiaan yang membuat lelahnya hari terasa layak.
Setelah Bella dan tim membantunya melepas gaun, mereka membawa gaun itu ke ruang kerja untuk memperbaiki potongannya. Tidak butuh waktu lama, gaun sudah selesai dan dibawa pulang oleh sang klien dengan ucapan terima kasih dan kepuasan.
Ava keluar beberapa menit kemudian, ia berdiri sejenak di bawah langit malam. Angin dingin menyapu wajahnya, membuat bulu kuduknya meremang. Lampu-lampu kota memantul di trotoar basah, membentuk garis cahaya yang tampak melukis jalan.
“Kau menunggu suamimu menjemput?” Bella menatapnya dengan senyum menggoda.
Ava menarik rambut ke belakang telinga. “Tidak.”
Bella mengerucutkan keningnya. “Kenapa? Kau tadi berangkat dengannya juga kan?”
“Tadinya,” jawab Ava malas. “Tapi di tengah jalan aku ikut seseorang.”
Bella langsung memiringkan kepalanya penasaran. “Siapa?kenapa?”
“Kau terlalu banyak bertanya malam ini,” keluh Ava sambil menatap sinis.
“Itu karena aku penasaran bagaimana hari pertama sahabatku setelah menikah dengan pria muda.” Bella merangkul bahunya dengan gaya dramatis.
Ava menghela napas panjang, menoleh perlahan pada sahabatnya yang tampak menunggu jawaban. “Kau mau tahu?” Bella mengangguk cepat, seperti anak kecil menunggu cerita petualangan.
“Pokoknya tidak seperti yang kau bayangkan,” ucap Ava pelan.
“Maksudmu?” Bella masih penasaran.
Ava melangkah pergi menuju mobil hitam yang berhenti tak jauh dari pintu butik, ia meraih pegangan pintu mobil yang dikendarai paman Theo. “Lain kali aku jelaskan.” Ia masuk ke mobil lebih cepat daripada Bella sempat menahannya.
“Ava! Tunggu!” panggil Bella. Namun Ava hanya tersenyum tipis dan melambaikan tangan dari balik kaca sebelum mobil melaju.
Di dalam, suasana jauh lebih sunyi. Ava bersandar dalam-dalam, lalu menarik napas panjang—napas yang terdengar seperti upaya menenangkan diri setelah hari yang kacau. Paman Theo melirik lewat kaca spion, wajahnya penuh perhatian.
“Nona… apa saya terlalu cepat melajukannya?”
Ava tersentak kecil. “I-iya… tolong pelankan sedikit lagi, ya, Paman.”
Theo mengangguk, lalu memelankan mobil hingga nyaris serupa gerakan mengayun. Sementara itu Ava menutup matanya, mencoba menghapus bayangan tangan yang gemetar, suara rem mendadak, dan ingatan yang kembali mencengkeramnya tanpa ampun. Mobil pun terus melaju pelan menembus malam, membawa Ava yang masih berusaha menata napas dan dirinya sendiri.
Setibanya di rumah, Ava turun dari mobil dengan langkah yang masih goyah. Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya, menusuk lapisan bajunya hingga membuatnya merapatkan kedua tangan ke tubuh. “Terima kasih, Paman,” ucapnya lirih. Theo mengangguk pelan sebelum menutup jendela dan melaju pergi, mobilnya menghilang perlahan di ujung jalan.
Ava menatap halaman rumahnya yang remang. Mobil hitam milik Arash tidak ada di sana—tidak ada siluetnya, tidak ada pantulan lampu dari bodi mobil itu. Hanya halaman kosong, teras yang sepi, dan suara dedaunan yang bergesek diterpa angin. Entah kenapa, ketiadaan Arash membuat napasnya sedikit lebih lega.
“Setidaknya… hanya ada bi Ana dirumah,” gumamnya, berusaha menenangkan diri.
Ia menaiki anak tangga dengan pelan. Malam itu begitu sunyi sampai suara derit kecil dari tumit sepatunya di anak tangga terdengar keras. Ava menggenggam gagang pintu dan mendorongnya pelan—namun pintu itu tak bergerak. Terkunci.
Ava mengerutkan kening. “Bi Ana?” panggilnya sambil mengetuk, mengetuk lebih keras setelah tak mendapat respons. “Bi Ana, tolong bukakan…” Tetap sunyi.
Ia menempelkan telapak tangan dan wajahnya ke jendela, mencoba mengintip ke dalam. Lampu ruang tengah menyala terang. Sofa tampak rapi, beberapa barang berada di tempatnya. Terlihat sangat jelas bahwa seseorang berada di dalam—setidaknya lampu tidak pernah dibiarkan menyala kalau rumah sedang kosong pikir Ava.
“Bi Ana!” panggilnya lagi, kali ini suaranya menggema di halaman depan.
Tidak ada langkah kaki. Tidak ada suara dari arah dalam rumah. Hening. Hening yang membuat Ava merasakan sesuatu yang menekan dadanya, seperti ditinggalkan sendirian di tempat yang seharusnya menjadi tempat paling aman.
Ia memutar tubuhnya, ingin meminta bantuan Paman Theo. Namun saat ia menoleh, mobil pria itu sudah hilang—tertelan gelapnya jalan. Ava berdiri terpaku beberapa detik, seakan menunggu kemungkinan mobil itu kembali hanya karena ia sangat membutuhkan seseorang saat ini.
Tidak. Tidak ada siapa-siapa. Ava merogoh kantong baju, lalu menghela napas panjang ketika menyadari sesuatu yang lebih buruk: tasnya tertinggal di mobil Arash. Ponselnya, dompetnya, kartu identitasnya—semuanya ada di sana. Bahkan ponsel untuk menghubungi Theo tadi pun ia menggunakan milik Bella, bukan miliknya sendiri.
“Bagus sekali, Ava…” gumamnya dengan getir.
Ia melangkah mondar-mandir di teras yang dingin, merangkul tubuhnya sendiri ketika angin malam meniup rambutnya hingga berantakan. “Sekarang aku harus bagaimana?” katanya pada dirinya sendiri, suaranya melemah. “Setelah tidur di sofa kemarin… apa aku juga harus tidur di luar malam ini?”
Ava menatap pintu kayu itu seperti musuh yang tidak bisa ia kalahkan. Rasanya ingin menangis—bukan karena dingin, tapi karena stres yang terus menumpuk sejak pagi.
“Ah, sialan,” desisnya frustrasi.
Ia menatap jalanan gelap yang kosong. “Pergi ke hotel pun percuma… dompetku ada di tas itu.” Bahkan menyewa taksi pun ia tak bisa. Untuk berjalan ke tempat Bella, jaraknya lebih dari lima kilometer. Malam sudah larut, dan ia berada sendirian.
Ava memejamkan mata sambil meraih lengan sendiri, seolah meredakan gemetar kecil yang mulai muncul. Dan kini ia hanya berdiri di teras, diterangi cahaya lampu kuning pucat, tidak tahu harus ke mana.
...----------------...
Beberapa jam kemudian, ketenangan malam terusik oleh sorot lampu mobil yang perlahan memasuki halaman. Cahaya itu menyapu permukaan lantai teras, dinding, hingga akhirnya berhenti tepat di depan rumah. Mesin dimatikan, dan keheningan kembali jatuh.
Pintu mobil terbuka. Arash keluar dengan langkah santai, bahunya sedikit turun seolah hari panjangnya baru saja selesai. Ia mengunci mobil, kemudian berjalan menuju pintu rumah. Namun langkahnya terhenti begitu matanya menangkap sesuatu di sudut teras, tepat di samping pintu.
Ava.
Ia tertidur sambil duduk bersandar pada dinding, tubuhnya mengecil seolah mencoba bersembunyi dari dinginnya malam. Rambutnya berantakan, sebagian menutupi wajah yang pucat. Kedua tangannya memeluk tubuh sendiri, dan setiap kali angin malam berhembus, bahunya tampak bergetar pelan.
Arash mendekat. Ia berjongkok di samping wanita itu, memandangnya tanpa ekspresi yang bisa ditebak. Cahaya lampu teras jatuh lembut ke wajah Ava, memperlihatkan sisa kelelahan dan dingin yang menempel seperti bayangan.
Bibir Arash terangkat sedikit—bukan senyum iba, bukan simpati. Lebih seperti kepuasan kecil yang ia sendiri tidak sadari ia nikmati. “Kenapa kau tidak pulang ke rumah ayahmu?” gumamnya pelan, nada meledek tapi datar.
Ava tidak bergerak, tidak membuka mata. Ia terlalu lelah, atau mungkin terlalu kedinginan, hingga tubuhnya tak merespons suara itu.
Arash berdiri tanpa menunggu reaksi. Ia masuk ke dalam rumah dengan langkah ringan, meninggalkan pintu yang menutup perlahan di belakangnya. Keheningan kembali mengisi teras.
Beberapa detik kemudian, pintu itu terbuka lagi. Arash muncul membawa sehelai selimut tebal dan sebuah bantal. Ia berjalan kembali ke arah Ava tanpa tergesa. Dengan satu gerakan pelan, ia menutup tubuh Ava menggunakan selimut itu, merapikannya hingga menutupi bahunya yang gemetar.
“Tidurlah yang nyenyak,” ucapnya singkat—tanpa emosi, tanpa peduli.
Lalu ia berbalik, masuk ke dalam rumah, membiarkan pintu tertutup dan meninggalkan Ava sendirian di bawah dingin malam… namun kini dengan sedikit kehangatan yang tidak ia minta.
.
.
.
.
.
.
.
.
Jangan lupa tinggalkan like dan komen yaa 🤗