NovelToon NovelToon
GAZE

GAZE

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Duniahiburan / Matabatin
Popularitas:717
Nilai: 5
Nama Author: Vanilla_Matcha23

“Setiap mata menyimpan kisah…
tapi matanya menyimpan jeritan yang tak pernah terdengar.”

Yang Xia memiliki anugerah sekaligus kutukan, ia bisa melihat masa lalu seseorang hanya dengan menatap mata mereka.

Namun kemampuan itu tak pernah memberinya kebahagiaan, hanya luka, ketakutan, dan rahasia yang tak bisa ia bagi pada siapa pun.

Hingga suatu hari, ia bertemu Yu Liang, aktor terkenal yang dicintai jutaan penggemar.
Namun di balik senyum hangat dan sorot matanya yang menenangkan, Yang Xia melihat dunia kelam yang berdarah. Dunia penuh pengkhianatan, pelecehan, dan permainan kotor yang dijaga ketat oleh para elite.

Tapi semakin ia mencoba menyembuhkan masa lalu Yu Liang, semakin banyak rahasia gelap yang bangkit dan mengancam mereka berdua.

Karena ada hal-hal yang seharusnya tidak pernah terlihat, dan Yang Xia baru menyadari, mata bisa menyelamatkan, tapi juga membunuh.

Karena terkadang mata bukan hanya jendela jiwa... tapi penjara dari rahasia yang tak boleh diketahui siapapun.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vanilla_Matcha23, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 21 - LIANG.. KAMU BUTUH BANTUAN?

Seorang pria terlelap dalam tidurnya. Tubuhnya tampak lusuh dan tidak terurus. Sekilas, tak ada yang akan mengira bahwa dia adalah seorang bintang yang tengah naik daun. Ia tinggal di sebuah apartemen sederhana, jauh dari gemerlap dunia yang seharusnya mengelilinginya.

Namun malam itu, tidurnya begitu pulas. Ia bahkan tak ingat, kapan terakhir kali bisa tidur senyenyak ini.

Cahaya pagi perlahan menembus celah gorden yang setengah tertutup. Debu-debu kecil menari di udara, berkilau oleh sinar matahari yang lembut.

Di meja sudut, secangkir kopi sisa semalam telah dingin, meninggalkan lingkar noda di permukaan kayu.

Pria itu perlahan membuka mata. Pandangannya kosong, seolah masih terjebak antara mimpi dan kenyataan.

Nafasnya berat, tapi tenang. Dalam keheningan itu, suara detik jam di dinding terdengar begitu jelas, mengingatkannya bahwa waktu terus berjalan, bahkan ketika ia berhenti.

Ia menatap langit-langit beberapa detik sebelum akhirnya mengangkat tubuhnya. Rambutnya berantakan, kausnya kusut. Ada letih yang menempel di sorot matanya, letih yang tidak berasal dari kurang tidur, melainkan dari sesuatu yang lebih dalam.

Di luar jendela, dunia tampak berputar seperti biasa. Tapi baginya, segalanya terasa diam.

Pria itu adalah Yu Liang.

Ia bekerja seperti sapi perah, terus menerus tanpa henti, memberi tanpa pernah sempat menikmati hasil jerih payahnya sendiri.

Dunia menilainya dari senyum yang selalu ia pasang di depan kamera, tapi tidak ada yang tahu betapa hancurnya dirinya di balik layar.

Siang itu, suara ketukan di pintu membuyarkan lamunannya.

Pelan-pelan, Yu Liang berdiri dan berjalan menuju pintu. Langkahnya berat, seolah setiap gerakan menuntut tenaga yang tersisa. Ketika daun pintu terbuka, beberapa orang di hadapannya tertegun.

“Yu Liang… i-ini…?” salah satu dari mereka bergumam, setengah tak percaya.

Penampilan Yu Liang benar-benar jauh dari citra publiknya. Rambut acak-acakan, mata sayu, dan pakaian seadanya. Tapi di tengah kekusutan itu, senyum lembutnya tetap muncul, seperti kebiasaan lama yang sulit dihapus.

Mereka, orang-orang yang dulu bersamanya di ajang pencarian bakat, tempat segalanya bermula saling berpandangan. Dunia yang dulu mereka impikan bersama telah berubah arah.

Kini, mereka hidup bebas, tanpa tekanan, tanpa tatapan intimidatif yang terus membayangi.

Sementara Yu Liang… masih terjebak dalam jerat yang sama.

Namun, melihat senyum hangatnya hari itu, mereka justru merasa sungkan, seolah lelaki di depan mereka bukan sosok yang kalah, melainkan seseorang yang masih bertahan dengan sisa cahaya yang ia punya.

Hening sejenak mengambang di antara mereka.

Udara siang yang hangat terasa menekan, seolah waktu ikut menahan napas. Salah satu dari mereka, pria berjaket denim, akhirnya bersuara,

“Sudah lama, Liang… kami cuma ingin mampir. Kamu tidak apa-apa, kan?”

Yu Liang tersenyum tipis, matanya menatap mereka satu per satu.

“Tidak apa-apa. Masuklah, tempatnya berantakan sedikit.”

Suara itu terdengar tenang, tapi ada sesuatu yang nyaris pecah di balik ketenangan itu, seperti kaca retak yang tetap dipaksakan utuh.

Mereka masuk, menatap sekeliling apartemen yang sederhana dan tampak lelah seperti penghuninya.

Tumpukan naskah, botol air mineral kosong, dan beberapa foto lama di meja membuat ruangan itu terasa seperti museum kecil dari masa lalu.

Salah satu gadis di antara mereka berbisik,

“Kau masih simpan ini semua?”

Yu Liang menoleh, menatap foto-foto mereka saat masih menjadi finalis ajang pencarian bakat. Di dalam foto itu, senyumnya lebih cerah, matanya masih penuh harapan.

“Kadang… sulit melepaskan hal-hal yang pernah membuatmu percaya,” katanya pelan.

Tidak ada yang membalas.

Keheningan kembali jatuh, kali ini lebih berat.

Mereka tahu, kata-kata itu bukan sekadar nostalgia.

Itu adalah bentuk kejujuran dari seseorang yang tidak pernah benar-benar berhenti berjuang, bahkan ketika semuanya terasa sia-sia.

Yu Liang lalu tertawa kecil, berusaha mencairkan suasana.

“Sudah, jangan diam saja begitu. Duduklah. Aku buatkan teh… meski mungkin rasanya tidak sehebat dulu.”

Tawanya ringan, tapi matanya… menyimpan lelah yang bahkan tak bisa disembunyikan oleh senyum yang paling tulus sekalipun.

Salah satu temannya, diam-diam mengeluarkan ponselnya.

Gerakannya perlahan, hampir tak terdengar. Ia membuka aplikasi kamera dan mulai merekam setiap sudut ruangan, dari sofa yang usang, meja penuh kertas, hingga cangkir kopi yang sudah mengering di sudut meja.

Tak ada kata yang terucap, hanya suara lembut dari kipas angin tua yang berdecit pelan. Matanya bergetar menahan pilu. Bukan karena jijik atau kasihan, tapi karena sulit menerima bahwa lelaki yang bersinar di panggung, yang suaranya pernah mengguncang ribuan penonton, kini duduk di ruangan sempit dengan mata yang kehilangan cahaya.

Yu Liang menyadari gerakan kecil itu. Namun alih-alih marah, ia hanya menatap dengan senyum samar.

“Mau ambil kenang-kenangan?” tanyanya lembut.

Nada suaranya ringan, tapi terasa seperti sesuatu yang menyayat di dalam dada. Temannya cepat-cepat menurunkan ponsel, wajahnya memerah.

“Ah, maaf… aku cuma—”

“Tidak apa-apa,” potong Yu Liang cepat, “kalau itu bisa membuatmu tenang.”

Keheningan kembali jatuh.

Hanya suara detik jam di dinding yang terus berdetak, mengiringi pertemuan yang entah kenapa terasa seperti perpisahan.

Pandangan mata mereka kembali pada, baju-baju Yu Liang tidak tergantung di lemari besar seperti milik para bintang lain.

Sebagian hanya dilipat seadanya dan diletakkan di dalam kardus di sudut ruangan, kardus yang mulai usang, dengan tepian yang terkelupas karena lembap.

Salah satu temannya menatapnya lama. Ia ingat, Yu Liang selalu tampil sempurna di setiap panggung. Jas rapi, sepatu mengilap, senyum menawan yang membuat sorak penonton tak berhenti. Tapi kini, segala kemewahan itu lenyap tanpa jejak.

Dibenak mereka, Yu Liang seharusnya hidup lebih baik, bahkan lebih terkenal dari mereka semua. Namun kenyataan di hadapan mereka justru sebaliknya. Hidupnya tampak lebih miris, sepi, dan menyakitkan.

Mereka saling berpandangan, tak tahu harus berkata apa.

Salah satu dari mereka menelan ludah, menatap tumpukan kardus itu seolah menatap bukti nyata betapa keras dunia hiburan memperlakukan seseorang yang mereka kagumi.

Yu Liang menyadari tatapan itu. Ia tersenyum kecil.

“Lemari besar membuat ruangan terasa sempit,” katanya ringan, meski dalam nada suaranya ada gurat getir yang nyaris tak terdengar.

“Lagipula, aku tak punya banyak yang perlu disimpan.”

Kalimat itu jatuh pelan, tapi cukup untuk membuat dada mereka sesak.

Tak ada yang berani menjawab.

Hanya diam, dan rasa bersalah yang perlahan memenuhi udara di ruangan itu.

Keheningan menggantung lama di antara mereka. Aroma teh hangat memenuhi udara, tapi tak cukup untuk mencairkan suasana yang terasa kaku dan berat.

Salah satu dari mereka akhirnya angkat bicara.

Nada suaranya ragu, tapi jujur.

“Yu Liang… kenapa kau sekarang… terlihat begitu berbeda?”

Pertanyaan itu sederhana, tapi terasa menohok.

Yang lain menunduk, seolah menyesal karena tak berani menanyakannya lebih dulu. Yu Liang menatap ke arah mereka.

Untuk sesaat, ia hanya diam, membiarkan pertanyaan itu menggantung di udara.

Senyumnya masih ada, tenang, tipis, dan seperti biasa, hangat. Tapi di balik itu, matanya menyimpan sesuatu yang sulit dijelaskan… semacam lelah yang tidak bisa diistirahatkan.

“Aku?” ia tertawa kecil, nyaris seperti gumaman.

“Mungkin karena dunia yang kalian lihat… berbeda dari dunia yang aku jalani.” Tak ada yang menyela.

Mereka hanya menatapnya.

Yu Liang menunduk, jarinya memutar gelas teh yang mulai dingin.

“Dulu, aku pikir kerja keras dan ketulusan bisa menyelamatkan siapa pun. Tapi ternyata…” Ia berhenti sejenak, mencari kata yang tepat.

“Ternyata ada hal-hal yang tidak bisa kita lawan, meski kita sudah memberi segalanya.”

Salah satu dari mereka, perempuan berambut pendek, menggenggam tangannya di atas meja.

“Liang… kalau kamu butuh bantuan—” Yu Liang menggeleng pelan.

“Tidak perlu. Aku baik-baik saja.” Ia kembali tersenyum.

Senyum yang terlalu lembut untuk seseorang yang sedang baik-baik saja.

Suasana kembali sunyi.

Namun kali ini, bukan karena tidak ada yang ingin bicara, melainkan karena tidak ada yang tahu bagaimana caranya berbicara setelah mendengar kalimat seperti itu.

1
Om Ganteng
Lanjut thorrr💪
Om Ganteng
Yang Xia
Om Ganteng
Chen Wei
Om Ganteng
Yang Xia/Determined/
Om Ganteng
Yu Liang/Sob/
Om Ganteng
Thor... apa ini Yu Menglong?
Zerine Leryy
Thor, Yu Liang... seperti Yu Menglong/Sob//Sob/
Zerine Leryy
Guang Yi keren...
Zerine Leryy
Bagus, lanjutkan Thor... Semoga ceritanya bagus sampai akhir/Good//Ok/
Zerine Leryy
Yang Xia dibalik Yang Grup, Guang Yi dan Feng Xuan 👍 perpaduan keragaman yang keren
Zerine Leryy
Ceritanya bagus, Sangat jarang ada Ceo wanita yang tangguh seperti Yang Xia.
☘☘☘yudingtis2me🍂🍋
Jelek nggak banget!
Yue Sid
Aduh, cliffhanger-nya bikin saya gak tahan nunggu, ayo lanjutkan thor!
Gladys
Asik banget!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!