Selina harus menelan pahit kenyataan di kala dirinya sudah bercerai dengan mantan suami hasil perjodohan. Ternyata tak lama setelah itu, dia menemukan dirinya tengah berbadan dua.
Selina akhirnya memutuskan untuk membesarkan bayinya sendiri, meskipun harus menjadi ibu tunggal tak membuatnya menyerah.
Berbeda dengan Zavier. Mantan suaminya yang hidup bahagia dan mewah dengan kekasihnya. Seseorang sudah hadir di hidup pria itu jauh sebelum kedatangan Selina.
Akankah kebenarannya terungkap seiring berjalannya waktu? Belum lagi Selina Kini harus terjebak dengan seorang bos yang sangat menyebalkan.
Ikuti kisahnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ara Nandini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18
Ian menatap Selina yang kini tengah menyiapkan makan malam untuknya. Ibunya pulang lebih cepat malam ini, katanya tak ada lagi pekerjaan di kantor.
“Mama nggak makan?” tanya Ian pelan ketika Selina hanya menaruh satu piring berisi nasi putih dan telur dadar di depannya.
“Kamu aja, mama masih kenyang.” Selina tersenyum tipis sambil mengusap lembut kepala Ian.
“Mama ke kamar dulu, habiskan makanmu ya,” katanya lagi sebelum berlalu meninggalkan dapur.
Ian menatap punggung ibunya yang perlahan menghilang. Anak itu menghela napas panjang, wajahnya tampak murung. Hatinya terasa berat, masih teringat jelas ucapan Anton siang tadi di sekolah. Kata-kata itu terus terngiang di telinganya, menyakitkan meski Jayden sudah berusaha menghiburnya dengan es krim dan pelukan hangat. Tapi tetap saja, luka di hatinya tak bisa hilang begitu cepat.
Ia menunduk menatap telur dadar di piringnya. “Apa benar… mama nggak sayang sama aku?” gumam Ian lirih. Tapi ia segera menggeleng cepat.
"Nggak mungkin ah, selama ini mama selalu bahagia aku, nggak mungkin mama nggak sayang, Papa Aria itu bohong"
Pria itu juga memintanya untuk tak memberitahukan Selina tentang hal itu karena kata Jayden itu pasti akan membuat Selena sedih dan Ian tak akan membuat mamanya bersedih.
Sementara Selina masuk ke kamar dan duduk di samping kasur, tatapannya kosong kedepan.
“Apakah tindakanku ini sudah benar?” katanya pelan. “Aku… aku nggak membiarkan Ian tahu siapa keluarganya. Ian hanya punya aku. Dia bukan pewaris mereka… dia anakku, hanya anakku.”
Air matanya menetes tanpa disadari. Sejak tadi pikirannya terus dipenuhi kecemasan. Selina tahu, orang tua Zavier pasti tidak akan tinggal diam. Mereka bisa saja sewaktu-waktu datang menuntut hak mereka atas Ian. Dan kemungkinan terburuknya, mereka akan mengajukan kasus ini ke pengadilan. Orang seperti mereka… pasti bisa melakukan apa saja untuk merebut Ian darinya.
Tidak! batin Selina gemetar. Aku nggak akan biarkan itu terjadi. Aku akan melindungi Ian bagaimanapun caranya.
Tok! Tok!
Suara ketukan pintu tiba-tiba terdengar dari luar.
Selina terperanjat. Ia buru-buru menyeka air matanya dengan punggung tangan.
Wanita itu berjalan ke arah pintu, jemarinya sempat menyentuh dinding dan menyingkap tirai sedikit sebelum membuka.
Napas Selina langsung tercekat saat melihat siapa yang berdiri di depan rumahnya.
Zavier… bersama kedua orang tuanya!
Tubuh Selina refleks mundur. Dadanya berdegup kencang, pikiran buruk mulai memenuhi kepalanya. Mereka pasti ingin mengambil Ian?
Ketukan di pintu terdengar lagi, kali ini lebih keras. Selina buru-buru berbalik menuju dapur. Ian baru saja selesai makan, menatap ibunya dengan heran.
“Mama, kenapa?” tanya Ian, melihat wajah Selina yang panik.
“K-kamu… ikut mama sekarang. Jangan bersuara, apa pun yang terjadi, jangan bersuara tanpa mama perintahkan,” kata Selina terbata.
Ian menatap ibunya bingung, tapi ia menurut. Selina segera menggendongnya, memeluk bocah itu erat-erat, lalu berjalan pelan ke arah kamar, berusaha tidak menimbulkan suara sekecil apa pun.
Ketukan pintu kembali terdengar, membuat jantung Selina semakin berpacu.
“Mama, kenapa…___”
“Syuttt!!” Selina buru-buru membekap mulut Ian.
“Jangan bicara, sayang,” bisiknya lirih.
Ian menuruti, menutup mulutnya rapat-rapat. Selina menghela napas lega begitu berhasil membawa Ian masuk kamar. Dengan pelan, ia menutup pintu kamar.
“Mama kenapa nggak dibukain pintunya?” tanya Ian saat Selina menurunkannya di atas kasur.
“Mama nggak mau… mama takut,” jawab Selina berbohong.
“Udah, kamu tidur sekarang, ya,” tambahnya lagi sambil mencoba tersenyum tipis.
Ian menatap wajah ibunya lekat-lekat. “Nggak biasanya mama takut…” katanya pelan.
Selina hanya terdiam. Ia membantu Ian membaringkan tubuhnya, lalu menepuk-nepuk kepala bocah itu dengan lembut. Senyum dipaksakan di wajahnya, meski dalam hatinya gemuruh ketakutan tak kunjung reda.
Di luar, suara ketukan masih terus terdengar. Selina menggenggam tangan Ian erat-erat. Ian juga belum bisa memejamkan mata.
Di teras rumah, Zavier menghela napas panjang. “Kayaknya Selina tahu kita bakal datang, Ma.”
Denada melirik putranya, wajahnya sama frustrasinya. “Terus gimana dong?” tanyanya dengan nada resah.
“Apa perlu aku dobrak saja pintu ini?”
“Jangan,” sahut Hero cepat, nada suaranya tegas. “Kita tidak boleh membuat keributan. Besok saja kita temui dia. Selina pasti akan keluar mengantar anaknya sekolah.”
Denada hanya bisa mengangguk, meski hatinya terasa berat.
“Untuk sekarang biarkan mereka istirahat. Lagi pula, ini sudah larut malam,” lanjut Hero.
Zavier akhirnya menurut. Ia menatap pintu rumah sekali lagi, sebelum berjalan ke arah mobil bersama kedua orang tuanya.
Selina menajamkan pendengaran. Saat tidak ada lagi ketukan pintu, ia baru berani bernapas lega. Meski begitu, dia masih tetap waspada.
Tatapannya jatuh pada Ian yang akhirnya terpejam.
Selina menunduk, menatap putranya nanar. Hatinya terasa tercabik. Ia merasa menjadi ibu yang egois, tapi di balik itu tak ada seorang pun yang benar-benar mengerti ketakutannya.
Dia hanya takut kehilangan Ian.
“Maafin Mama, sayang…” bisiknya lirih.
•
•
Sebuah mobil mewah melaju masuk ke pekarangan rumah Jayden. Dari dalamnya keluar seorang gadis berpenampilan mencolok, tubuhnya dibalut pakaian ketat yang mempertegas lekuk tubuhnya. Ia melepas kacamata hitamnya perlahan, senyum tipis terukir di wajahnya ketika menatap rumah megah Jayden.
Langkah kakinya yang terbalut sepatu b
terdengar saat dia mendekati pintu. Jari-jarinya yang lentik dengan kuku berwarna merah menyala menekan bel di samping pintu.
Di dalam, Jayden masih bergelut di kamarnya. Hari ini weekend, dan niatnya jelas hanya untuk bermalas-malasan. Saat suara bel menggema berulang kali, ia mendengus kesal.
“Siapa sih pagi-pagi begini?” gerutunya setengah malas.
Dengan enggan, Jayden bangkit. Ia menyambar kaos di tepi ranjang, mengenakannya sambil menggeliat sebentar, lalu berjalan keluar.
Saat pintu terbuka, matanya sontak melebar.
“Maisa…?” ucapnya nyaris tidak percaya.
Gadis itu tersenyum manis, lalu tanpa basa-basi langsung memeluknya erat. Tubuhnya sengaja menempel, bahkan menekan dadanya ke perut Jayden. Lelaki itu refleks menahan napas.
“Kangen banget sama kamu…” kata Maisa genit.
Jayden lekas tersadar. Ia mendorong bahu Maisa pelan. Maisa langsung memonyongkan bibirnya yang dihiasi lipstik pink berkilau, membuat wajahnya terlihat makin menggoda.
Jayden menghela napas panjang, menatap intens wajah gadis itu. “Sejak kapan kamu ada di sini?” tanyanya datar.
“Tadi malam aku baru nyampe Indonesia,” jawab Maisa. “Terus pagi ini langsung ke sini… soalnya kakek ngabarin kalau kita bakal dijodohin.” Senyumnya seketika melebar.
Jayden mendengus kasar. “Jangan ngimpi. Aku nggak mau dijodohin sama kamu.”
Maisa hanya terkekeh kecil, seolah tak peduli. Ia mengangkat bahunya santai. “Tapi kamu nggak bisa ngelawan perintah kakek,” katanya, lalu mendorong tubuh Jayden ke samping.
Maisa masuk begitu saja ke dalam rumah dan langsung duduk di sofa empuk ruang tamu.
Jayden menatapnya penuh kesal. “Maisa…”
“Hari ini weekend, dan aku mau jalan-jalan sama kamu,” kata Maisa santai sambil menopang kakinya di.
“Aku sibuk,” jawab Jayden singkat.
Maisa mengangkat alis. “Kalau nggak mau, aku lapor ke kakek.”
“Silakan aja,” sahut Jayden cuek, lalu berbalik menuju kamarnya.
Namun Maisa tak kehilangan akal. Dengan cepat ia bangkit, berlari kecil, lalu memeluk Jayden dari belakang. Tubuh mungilnya menempel erat di punggung pria itu.
“Aku bakal berantakin rumah kamu… atau nempel kayak gini terus, kalau kamu nggak mau nemenin aku jalan-jalan ke mal,” katanya manja tapi penuh ancaman.
Jayden memejamkan mata, menahan diri. “Aku nggak suka dipaksa,” ucapnya sambil berusaha melepaskan lilitan tangan Maisa.
“Dan aku juga nggak suka ditolak.”
Jayden sebenarnya bisa saja langsung menepis keras, tapi ia tahu kalau melawan, gadis itu justru akan semakin berisik. Akhirnya, ia menghela napas panjang.
“Oke. Fine.” Katanya pasrah.
Sekejap, senyum Maisa melebar. Gadis itu semakin mengeratkan pelukannya, lalu mengecup punggung Jayden yang tertutup kaos hitam.
“Thank you, my bubu,” bisiknya genit.
padahal lembek