Jessy Sadewo memiliki segalanya: kecantikan mematikan, kekayaan berlimpah, dan nama yang ditakuti di kampus. Tapi satu hal yang tak bisa dia beli: Rayyan Albar. Pria jenius berotak encer dan berwajah sempurna itu membencinya. Bagi Rayyan, Jessy hanyalah perempuan sombong.
Namun, penolakan Rayyan justru menjadi bahan bakar obsesi Jessy. Dia mengejarnya tanpa malu, menggunakan kekuasaan, uang, dan segala daya pesonanya.
My Forbidden Ex-Boyfriend adalah kisah tentang cinta yang lahir dari kebencian, gairah yang tumbuh di tengah luka, dan pengorbanan yang harus dibayar mahal. Sebuah roman panas antara dua dunia yang bertolak belakang, di mana sentuhan bisa menyakitkan, ciuman bisa menjadi racun, dan cinta yang terlarang mungkin adalah satu-satunya hal yang mampu menyembuhkan — atau justru menghancurkan — mereka berdua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaLebah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10
Rayyan duduk kaku di salah satu sofa leather putih di ruang tamu keluarga Sadewo. Jarum jam berdetak lambat, seolah mengejek kesabaran yang terus menipis di dalam dirinya. Dia menatap lurus ke depan, menghindari kontak mata dengan para staf rumah tangga yang lalu lalang dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. Setiap helaan napasnya terasa berat, terperangkap dalam sebuah "kencan" yang lebih menyerupai eksekusi publik baginya.
Lalu, suara langkah heels yang anggun terdengar dari tangga marmer.
Rayyan tanpa sengaja menoleh, dan napasnya tersangkut di tenggorokan.
Jessy berdiri di anak tangga terakhir, bagai seorang ratu yang turun dari singgasananya. Rambutnya yang biasanya lurus kini berombak lembut, terurai bebas di atas bahunya yang mulus. Dia mengenakan sebuah dress hitam sederhana yang justru memeluk setiap lekuk tubuhnya dengan sempurna, dari garis leher yang menawan hingga pinggang yang ramping, berakhir sedikit di atas lututnya yang jenjang. Kecantikannya pada saat ini bukan lagi sekadar fakta, tapi sebuah pernyataan yang tak terbantahkan.
Rayyan merasakan dadanya berdebar kencang, sebuah reaksi fisik yang membuatnya jengkel. Dia memalingkan wajah dengan cepat, berusaha menyembunyikan kegugupannya yang tiba-tiba.
Jessy melenggang mendekat, senyum kecil yang percaya diri menghias bibirnya. "Aku cantik, kan?" tanyanya, suaranya penuh keyakinan akan jawabannya.
Rayyan memaksakan diri untuk tetap dingin. "Biasa aja," balasnya, berusaha terdengar acuh, meski suaranya sedikit serak.
Jessy berhenti tepat di depannya, tangan di pinggang. "Emang siapa yang lebih cantik dari aku?" tantangnya, matanya menyipit, tak terima.
"Banyak," jawab Rayyan pendek, masih menatap ke arah lain.
"Siapa?" desak Jessy, suaranya mulai meninggi.
Rayyan akhirnya menatapnya, kesabaran habis. "Jadi sekarang kita mau bahas soal siapa aja yang lebih cantik?" gerutunya, mengangkat satu alis dengan ekspresi lelah.
Jessy mendengus. "Nggak perlu dibahas. Udah pasti aku yang paling cantik," ujarnya dengan arogan khasnya sebelum berbalik dan memanggil salah satu sopir.
Perjalanan ke mall dilakukan dalam kemewahan mobil SUV yang senyap. Rayyan duduk di samping Jessy, tubuhnya kaku, menatap pemandangan kota Jakarta yang berkilauan melalui jendela yang gelap. Jessy terus mengoceh, bercerita tentang restoran mana yang sedang tren, brand mana yang baru saja dia beli, seolah-olah dengan membagikan detail dunianya, Rayyan akan tiba-tiba memahami dan menerimanya. Rayyan hanya diam, tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Begitu mereka tiba di mall elit itu, sebuah istana kaca dan marmer bagi kaum jetset Jakarta, Rayyan merasa seperti ikan yang terlempar ke daratan. Udara dingin ber-AC, aroma parfum mewah, dan gemerincing etalase toko-toko high-end menciptakan atmosfer yang asing dan menekan. Di sini, harga sepasang sandal jepit biasa mungkin setara dengan biaya hidupnya dan ibunya selama seminggu. Ada rasa malu yang dalam, bercampur dengan ego prianya yang terluka karena tak mampu berada di level yang sama dengan wanita di sampingnya.
Tapi Jessy, seperti biasa, tampak sama sekali tak peduli. Matanya berbinar melihat pusat perbelanjaan yang adalah taman bermain pribadinya.
"Kesini dulu," ujarnya, menarik lengan Rayyan ke dalam sebuah toko pakaian pria yang interiornya lebih mirip galeri seni. Dengan mata yang terlatih, dia menyapu rak-rak, mengambil beberapa kemeja linen, kaos polo, dan sepasang celana chino. Kemudian dia mendorong tumpukan pakaian itu ke dada Rayyan. "Nih, coba."
Rayyan merasa wajahnya memanas. "Emang kenapa sama pakaianku? Malu jalan sama cowok miskin?" sindirnya, berharap kata-kata itu akan menyakiti Jessy dan mengakhiri permainan ini.
Jessy justru terlihat bingung. "Nggak malu sih," jawabnya polos, matanya jujur. "Cuma nggak cocok aja sama warna baju yang aku pakai. Kita harus keliatan kayak best couple."
Alasannya yang kekanak-kanakan itu justru membuat Rayyan tak punya celah untuk melawan. Dengan mendengus kesal, dia akhirnya masuk ke dalam ruang ganti.
Satu per satu, dia mencoba pakaian yang dipilih Jessy. Dan satu per satu, pakaian itu seperti dibuat khusus untuknya. Kemeja linen biru muda membuat warna kulit kuning langsatnya semakin menonjol, celana chino abu-abu pas di tubuhnya yang atletis, dan kaos polo hitam sederhana justru menegaskan aura misterius dan ketegasannya. Setiap kali dia keluar, Jessy yang duduk di kursi tunggu yang mewah terpana, tak bisa menyembunyikan kekaguman di matanya.
Setelah pakaian terakhir, sebuah kemeja putih yang membuatnya terlihat sempurna, Jessy berdiri. "Jangan dilepas. Pakai itu aja."
Sebelum Rayyan bisa protes, dia sudah memanggil sales. "Mbak, yang tadi dia coba, bungkus semua, ya."
Rayyan terkesiap. Ingatannya melayang pada tag harga yang sempat dia lihat—angka dengan banyak nol yang membuatnya pusing.
"Nggak usah, Jes. Aku pake baju aku sendiri aja," tolaknya, mencoba menjaga sisa harga dirinya.
Jessy hanya melambaikan tangan. "Buang aja baju yang lama," ujarnya, enteng, seperti membicarakan sampah.
"Apa?!" Rayyan tersentak, rasa tersinggung yang dalam menyelimutinya. Baju yang dia pakai itu mungkin sederhana, tapi itu adalah jerih payah ibunya.
"Udah, yuk," goda Jessy, menariknya keluar toko setelah membayar dengan kartu kredit tanpa sedikit pun keraguan. Saat berpapasan dengan sales yang membawa tas belanjaan tebal, Jessy berkata, "Oh iya, Mbak. Buang aja baju bekasnya."
Perintah itu menggantung di udara, menusuk hati Rayyan. Dia menatap punggung Jessy yang sedang melenggang percaya diri, di balut dalam kemewahan yang tak terbantahkan.
Begitulah Jessy yang dia kenal. Gadis kaya yang sombong, yang dengan mudahnya membuang sesuatu—entah itu bangku kayu, baju tua, atau mungkin harga diri seseorang—seolah-olah segalanya bisa diganti dengan uang. Dan di tengah gemerlap mall yang asing ini, Rayyan merasa dirinya hanyalah salah satu dari banyak hal dalam hidup Jessy yang bisa dibeli, dipaksa, dan suatu saat nanti, mungkin juga akan dibuang.
---
Restoran itu seperti sebuah kotak musik yang elegan. Lampu temaram, suara gemerisik lembaran menu, dan denting halus gelas anggur menciptakan atmosfer yang sama sekali asing bagi Rayyan. Jessy melenggang masuk dengan keyakinan penuh, sementara Rayyan mengikutinya dengan langkah berat, seperti narapidana yang menuju tempat eksekusi.
"Kita makan dulu ya," ujar Jessy, suaranya riang, sambil dengan fasih memimpin mereka ke sebuah booth yang nyaman. "Di sini enak-enak makanannya."
Rayyan hanya mengangguk singkat, tidak vertivikasi. Dia duduk di seberangnya, meletakkan tas belanjaan tebal yang berisi pakaian mahal di samping kursi sofanya yang mewah, merasa seperti seorang penyusup yang membawa barang curian.
"Kamu pilih aja menu yang kamu suka," ujar Jessy, mendorong buku menu kulit yang berat ke arahnya.
Rayyan membukanya. Matanya menyusuri daftar hidangan, dan setiap harga yang tertera membuat jantungnya berdebar kencang. Seporsi steak bisa menutupi biaya listrik dan air ibunya selama sebulan. Dia merasa mual.
"Aku masih kenyang, Jes," ujarnya, menutup menu dengan cepat, suaranya terdengar serak. Rasa sungkan dan tidak enakan membungkusnya erat.
"Oke. Biar aku aja yang pilihin buat kamu," ujar Jessy, mengambil alih dengan mudah seolah itu adalah haknya. Dia memanggil waitress dengan gelengan tangan yang anggun dan mulai melafalkan serangkaian nama hidangan dalam bahasa Italia dan Prancis yang tak dipahami Rayyan. Waitress itu mencatat dengan sopan, sesekali melirik Rayyan dengan rasa penasaran.
Sambil menunggu, Jessy kembali mengoceh. Tentang liburannya ke Paris, tentang koleksi sepatu barunya, tentang betapa membosankannya pesta ulang tahun temannya minggu lalu. Setiap kata yang keluar semakin menegaskan jurang pemisah antara dunia mereka. Rayyan hanya diam, jarinya mengetuk-ngetuk meja kayu gelap dengan ritme gugup, matanya sesekali melirik ke jam tangannya yang sederhana, menghitung mundur waktu sampai "hukuman" ini berakhir.
Ketika makanan tiba, Rayyan hampir tersedak. Meja mereka dipenuhi piring-piring besar. Ada salad dengan daun yang tak dia kenal, pasta dengan kerang yang masih dalam cangkangnya, daging steak yang tebal dengan saus wine, dan hidangan laut yang disusun artistik.
"Sebanyak ini siapa yang mau makan?" tanyanya, tak percaya. Rasanya seperti pesta untuk sepuluh orang.
"Kamu," senyum Jessy puas, matanya berbinar. "Biar kamu kuat nemenin aku semalaman ini."
Rayyan mengambil sesuap steak. Rasanya... luar biasa. Lembut, juicy, dan penuh rasa. Tapi kenikmatan itu tercampur dengan rasa bersalah yang menusuk. Dia membayangkan ibunya mungkin sedang makan nasi dengan telur dadar sederhana di kedai mereka yang sunyi. Perbandingan itu membuatnya sulit menelan.
Jessy, yang memperhatikan Rayyan terus-menerus melirik jam, akhirnya tak tahan. "Habis ini kita nonton," ujarnya, mencoba menarik perhatiannya.
Tapi Rayyan hanya mendengus, tidak merespons lebih jauh. Amarah Jessy mulai memuncak. Harga dirinya yang rapuh terluka.
"Kamu harusnya bersyukur bisa jalan sama aku!" serunya tiba-tiba, suaranya sedikit melengking, menarik perhatian tamu lain di sekitarnya. "Yang ngantri mau sama aku banyak!" Wajahnya yang cantik kini memerah, dipenuhi kekecewaan dan kemarahan karena merasa tidak dihargai.
Rayyan menatapnya, ketenangannya justru semakin membuat Jessy kesal. "Kenapa nggak jalan sama yang 'mau' sama kamu?!" balasnya, suaranya rendah namun tajam. Itu adalah pertanyaan logis, sebuah penolakan halus yang justru semakin melukai.
"Karena aku maunya jalan sama kamu!" Jessy membalas, napasnya memburu. "Dan kamu nggak punya hak untuk nolak!"
Kalimat itu menggantung di antara mereka, penuh dengan kenyataan pahit tentang keterpaksaan dan obsesi. Suasana makan yang tadinya tegang kini berubah menjadi dingin. Selera makan Jessy pun langsung hilang. Dia meletakkan garpunya dengan kasar. Semua makanan mewah di meja tak lagi tersentuh.
"Kamu yang pesan kenapa kamu nggak makan," ujar Rayyan, memecah kesunyian yang mencekam.
"Ya udah, kamu habisin!" seru Jessy, mendorong piringnya ke arah Rayyan.
"Nggak bisa lah. Ini terlalu banyak," balas Rayyan dengan tenang, yang justru semakin memicu amarah Jessy.
Dengan gerakan dramatis, Jessy berdiri. Tangannya melambai memanggil waitress. "Mbak, tolong di-take away semua." Suaranya datar, penuh kekecewaan.
Waitress itu mengangguk cepat, memahami situasi yang tidak nyaman.
Begitu makanan selesai dibungkus, Jessy mengambil tas belanjaannya. Dia tidak lagi memandang Rayyan.
"Udah, kita nggak jadi nonton. Pulang aja," ucapnya, suaranya tiba-tara kecil dan lelah. Moodnya yang tadinya bersemangat kini hancur berantakan.
Dia berbalik dan berjalan meninggalkan restoran, meninggalkan Rayyan yang masih duduk, dikelilingi oleh sisa-sisa kemewahan yang tidak dia minta, dan rasa bersalah yang semakin dalam karena telah melukai perasaan seorang gadis yang, bagaimanapun juga, hanya mencoba untuk membuatnya bahagia dengan caranya sendiri yang keliru. Kencan paksa itu berakhir lebih awal, meninggalkan luka dan pertanyaan bagi keduanya.
kudu di pites ini si ibu Maryam