NovelToon NovelToon
THE SECRETARY SCANDAL

THE SECRETARY SCANDAL

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Playboy / Obsesi / Kehidupan di Kantor / Romansa / Fantasi Wanita
Popularitas:35.4k
Nilai: 5
Nama Author: NonaLebah

Dia mendengar kalimat yang menghancurkan hatinya dari balik pintu:
"Dia cuma teman tidur, jangan dibawa serius."

Selama tiga tahun, Karmel Agata percaya cintanya pada Renzi Jayawardhana – bosnya yang jenius dan playboy – adalah kisah nyata. Sampai suatu hari, kebenaran pahit terungkap. Bukan sekadar dikhianati, dia ternyata hanya salah satu dari koleksi wanita Renzi.

Dengan kecerdasan dan dendam membara, Karmel merancang kepergian sempurna.

Tapi Renzi bukan pria yang rela kehilangan.
Ketika Karmel kembali sebagai wanita karir sukses di perusahaan rival, Renzi bersumpah merebutnya kembali. Dengan uang, kekuasaan, dan rahasia-rahasia kelam yang ia simpan, Renzi siap menghancurkan semua yang Karmel bangun.

Sebuah pertarungan mematikan dimulai.
Di papan catur bisnis dan hati, siapa yang akan menang? Mantan sekretaris yang cerdas dan penuh dendam, atau bos jenius yang tak kenal kata "tidak"?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaLebah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 34

Restoran itu adalah salah satu yang terbaik di kota, dengan langit-langit tinggi yang dihiasi instalasi seni kontemporer menyerupai kumpawan awan yang diterangi dari dalam. Setiap meja dipisahkan oleh partisi tanaman hijau hidup yang memberikan privasi, namun tetap memungkinkan pemandangan luas melalui dinding kaca dari lantai ke langit-langit yang menghadap langsung ke taman kota yang asri. Cahaya matahari siang disaring melalui tirai layer tipis, menciptakan cahaya keemasan yang menyelimuti segala sesuatu dengan aura lembut dan hangat. Di tengah meja marmer putih, sebuah vas kecil berisi anggrek putih dan lilin tunggu yang belum dinyalakan menambah sentuhan kesempurnaan.

Meja itu telah direservasi atas nama Bima, di sudut yang paling strategis dengan pemandangan terbaik.

“Kita makan siang di sini ya, Mel,” ujar Bima, suaranya terdengar lembut namun jelas di tengah hiruk-pikuk restoran yang elegan dan berbisik.

Dengan gerakan yang penuh perhatian, Bima melangkah cepat untuk menarik kursi kayu hitam berukir untuk Karmel sebelum dia sendiri duduk. Sebuah sikap klasik yang tulus, bukan sekadar pura-pura.

“Terima kasih, Mas,” balas Karmel, suaranya sedikit kecil. Dia duduk, merasa gaun sundress katun biru muda yang dikenakannya—pilihan yang sengaja sederhana—sedikit tak sebanding dengan kemewahan tempat ini. Namun, Bima hanya tersenyum, matanya memancarkan kekaguman yang tulus, seolah Karmel adalah orang paling elegan di ruangan itu.

Makan siang itu berlangsung seperti adegan dalam film. Bima memilihkan menu dengan hati-hati, menanyakan preferensi Karmel dengan detail. Percakapan mereka mengalir tentang hal-hal ringan: buku, seni, kenangan lucu di kantor lama, dan rencana pameran seni yang tertunda. Bima adalah pendengar yang sempurna. Matanya tak pernah meninggalkan Karmel, memberinya ruang untuk bicara, tertawa di saat yang tepat, dan menanggapi dengan cerdas. Suasana begitu nyaman, tenang, dan indah. Ini adalah jenis romantisme yang matang, stabil, dan aman. Tidak ada teriakan, tidak ada permainan pikiran, tidak ada sentuhan yang memaksa. Hanya dua orang yang menikmati kebersamaan di bawah cahaya kristal dan musik piano live yang lembut.

Setelah makanan penutup—sebuah panna cotta dengan berry coulis—datang dan hampir habis, Bima mengambil napas dalam-dalam. Ekspresi tenangnya berubah menjadi serius yang lembut.

“Mel,” ujarnya, meletakkan sendok dessert-nya dengan hati-hati. “Aku mau ngomong sesuatu.”

Suasana seketika berubah. Karmel bisa merasakan denyut nadinya sendiri di telinga. “Iya, Mas. Mau ngomong apa?”

Ada jeda. Bima menatap matanya, seolah mencari keberanian di dalam kedalaman hijau hazel itu. Bibirnya terbuka sedikit, lalu tertutup, sebelum akhirnya dia memantapkan diri. Suaranya, meski masih lembut, kini mengandung getaran yang berbeda—sebuah ketulusan yang dalam dan rentan.

“Mel, kamu mau nggak nikah sama aku?”

Udara di sekitar Karmel seolah tersedot habis.

Dia tertegun. Mulutnya sedikit terbuka, tapi tak ada suara yang keluar. Dunia yang indah tadi, yang terasa aman dan tenang, tiba-tiba berputar dengan cepat. Pertanyaan itu bukan sekadar pertanyaan. Itu adalah sebuah pintu yang terbuka lebar ke kehidupan yang berbeda—kehidupan yang normal, penuh hormat, dan dicintai dengan baik. Semua yang seharusnya dia inginkan.

Tapi di dalam dadanya, sesuatu memberontak. Bayangan wajah dengan mata hitam yang dingin dan penuh gairah menerobos pikirannya. Bekas keunguan di kulitnya terasa berdenyut-denyut, mengingatkannya pada ciuman paksa di basement, pada rasa sakit dan kebingungan yang tak kunjung usai. Hatinya masih diliputi kegundahan yang dalam. Dia belum selesai dengan masa lalunya. Belum selesai dengan Renzi.

“Mas…” suaranya tercekat, penuh konflik. “Aku…”

Bima, dengan sensitivitas yang luar biasa, segera membaca kekacauan di wajahnya. Dia tak mau membuatnya terjepit. “Aku nggak maksa, Kalau kamu nggak mau,” ujarnya cepat, suaranya tetap lembut meski ada sedikit kekecewaan yang berhasil ditahannya. Senyum kecil yang muncul di bibirnya adalah senyum yang memahami, meski pahit.

Karmel menunduk, memandangi sisa panna cotta-nya yang meleleh. Pertempuran hebat terjadi dalam dirinya. Logika dan keamanan berteriak untuk mengatakan ‘iya’. Tapi jantungnya, yang bodoh dan terluka, hanya diam membeku.

“Mas,” akhirnya dia berbicara, suaranya pelan dan penuh permintaan maaf. “Bisa kasih aku waktu? Ini… ini terlalu cepat.”

Kata-kata itu menggantung di antara mereka. Tapi Bima tidak marah. Dia hanya menganggut, sebuah anggukan yang penuh penerimaan. “Iya, aku ngerti. Aku akan tunggu sampai kamu siap,” ucapnya, dan senyumnya kali ini lebih tulus, meski ada bayangan kesedihan di sudut matanya.

Di dalam saku celana chino-nya, tangan kanan Bima meremas sebuah kotak kecil berbalut beludru. Kotak cincin yang sudah dia persiapkan dengan penuh harap. Jari-jarinya menelusuri bentuknya sekali lagi sebelum akhirnya melepaskan genggaman, membiarkan kotak itu tetap tersembunyi. Dia tidak mengeluarkannya. Tidak ingin membuat Karmel merasa lebih terbebani atau bersalah.

“Minum teh dulu, ya. Teh chamomile-nya di sini bagus untuk menenangkan,” ujarnya, mengalihkan percakapan dengan graceful, memanggil pelayan dengan gelombang tangan yang halus.

Karmel memandangnya, dan rasa bersalah yang baru menyergapnya. Bima terlalu baik. Terlalu pengertian. Dan dia, dengan hatinya yang masih terbelenggu pada pria yang menyakitinya, merasa tidak layak mendapatkan kebaikan seperti ini. Cahaya kristal di atas kepala tiba-tiba terasa terlalu terang, memantulkan pilihan sulit yang harus dia buat: antara pelabuhan yang aman dan tenang, atau badai ganas yang dia cintai dengan cara yang tak pernah dia pahami.

***

Mobil Bima meluncur pergi, meninggalkan Karmel berdiri di depan teras rumahnya yang bergaya Skandinavia, diterangi cahaya lampu taman yang hangat. Udara malam yang sejuk berusaha mendinginkan pikiran yang masih panas oleh kebingungan dan rasa bersalah. Karmel menarik napas dalam, menatap fasad rumahnya yang sederhana namun elegan dengan dinding putih, aksen kayu oak, dan jendela-jendela besar. Tempat yang seharusnya menjadi pelabuhan yang tenang.

Begitu dia membuka pintu kayu utama dan melangkah masuk ke dalam ruang tamu yang lapang dengan lantai kayu terang, langkahnya mendadak membeku.

Di ruang tamu, di atas sofa linen abu-abu yang membentuk formasi L, duduklah Renzi. Pria itu terlihat begitu rileks, satu lengan terbentang di atas sandaran sofa, seolah-olah ini adalah rumahnya sendiri. Kaki panjangnya bersila dengan santai. Di sebelahnya, Nani tampak asyik menunjukkan album foto lama di tablet, wajahnya berseri-seri. Cahaya dari lampu lantai berbentuk geometris menerangi sisi profil Renzi yang tajam, membuatnya terlihat seperti bagian dari perabotan mewah di rumah itu. Adegan itu begitu intim dan domestik, namun bagi Karmel, terasa seperti pelanggaran wilayah yang disengaja.

"Cukup lama kencannya," ucap Renzi tanpa berpaling, suaranya datar namun sarkasme yang mengendap di setiap suku kata terasa seperti cubitan. Matanya baru kemudian beralih ke Karmel, menyapu penampilannya yang sederhana dengan dress biru muda. "Gimana, asik?"

Api kemarahan langsung menyala di dada Karmel. "Bukan urusan kamu!" tegasnya, suara mengeras, mencoba menegaskan batas yang terus-menerus dilanggar Renzi. Tas tangan kecil di tangannya digenggam erat.

Renzi baru kemudian berdiri, langkahkan perlahan mendekati Karmel. Gerakannya seperti kucing besar yang sedang mengitari mangsanya di antara perabotan minimalis dan karpet berbulu halus. Di bawah cahaya lampu yang hangat, senyum tipis dan licik mengembang di bibirnya.

"Harusnya kamu pake dress dengan potongan lebih terbuka," ujarnya, suara rendah dan hanya untuk didengar Karmel, namun penuh dengan provokasi. "Jadi Bima bisa lihat juga kissmark yang aku kasih ke kamu. Biar dia tau siapa yang punya kamu."

Wajah Karmel memerah padam, kombinasi rasa malu, marah, dan pengkhianatan tubuhnya sendiri. Tangannya refleks menempel ke leher, seolah ingin menutupi bukti-bukti yang tidak terlihat oleh mata ibunya. "Renzi!" serunya, suara menggema di ruangan yang tinggi langit-langitnya.

Nani, yang mendengar teriakan putrinya, menoleh dengan wajah penasaran dari sofa. "Apa itu kissmark?" tanyanya polos, tidak memahami ketegangan listrik yang memenuhi ruangan.

Dengan gesit, Renzi berbalik ke arah Nani, wajahnya berubah seketika menjadi manis dan penuh perhatian. "Bukan apa-apa, Bu," ujarnya, suara lembut seperti anak berbakti sambil berjalan kembali mendekati sofa. "Cuma hadiah kecil, kayak aku yang selalu kasih hadiah buat Ibu." Dia melemparkan sekilas pandang ke Karmel dari atas bahunya, matanya berbinar dengan kemenangan yang dingin.

Nani langsung tersenyum, tertipu oleh kepura-puraannya yang sempurna. "Oh, Karmel ini, bukannya senang dikasih hadiah malah ngomel terus," keluhnya sambil menggeleng-geleng, memandang Renzi dengan kasih sayang yang tulus. "Lihat tadi, Renzi bawa ibu oleh-oleh kue lapis legit favorit ibu dari toko yang jauh itu lho."

Perasaan Karmel seperti diremas. Ibunya sendiri, yang seharusnya menjadi tempat berlindung, justru berdiri di barisan yang salah. Rasanya seperti dikepung di rumahnya sendiri. Dinding-dinding putih yang biasa menenangkan kini terasa seperti sangkar.

"Bu," ucap Karmel, suaranya tegang mencoba menahan amarah dan rasa frustrasi yang membuncah. Dia melangkah lebih dalam ke ruangan. "Bisa nggak sih, kalau dia kesini, Ibu usir aja?!"

Nani terlihat kaget, lalu wajahnya berkerut. "Nggak bisa dong! Renzi kan anak Ibu juga," protesnya, seolah perkataan Karmel adalah sebuah penghinaan terhadap anggota keluarga. "Dia baik, perhatian, dan selalu ingat ibu. Kamu jangan jahat sama Renzi."

Kalimat itu adalah pukulan telak. Renzi, yang sekarang berdiri di belakang sofa dengan pose santai, tangan di saku, langsung menyunggingkan senyum lebar yang penuh kemenangan. Matanya yang hitam menatap Karmel dengan intens, seolah berkata, "Lihat? Aku menang lagi. Aku selalu menang. Di kantor, di hatimu, dan sekarang di rumahmu sendiri."

Karmel merasa dunianya goyah. Di sana ada Bima, yang baru saja menawarkan cinta yang aman, stabil, dan dihormati dengan sebuah proposal yang tulus. Di sini, ada Renzi, yang seperti akar beracun, telah menyusup begitu dalam ke kehidupan keluarganya, memanipulasi ibunya yang mudah percaya, dan mengklaim dirinya dengan cara yang paling merendahkan.

Tanpa sepatah kata lagi, karena tahu setiap protesnya akan dipelintir atau diabaikan, Karmel menghela napas pendek yang getir. Dia membalikkan badan, kakinya yang lelah menapaki lantai kayu yang dingin menuju koridor yang menuju kamarnya. Langkahnya cepat, penuh tekad untuk melarikan diri setidaknya ke dalam empat dinding kamarnya sendiri.

Dari belakang, dia masih bisa mendengar suara ibunya yang berkata, "Duh, anak Ibu ini jadi keras kepala banget sih, Renzi. Makasih ya sudah sabar sama dia."

Dan suara Renzi yang balas membalas dengan sempurna, "Nggak apa-apa, Bu. Aku ngerti kok. Karmel memang butuh kesabaran ekstra."

Pintu kamar Karmel tertutup dengan tidak terlalu keras, tapi cukup untuk menandai sebuah batas. Dia bersandar di balik pintu, mata tertutup, tubuhnya lelah oleh peperangan yang tak kunjung usai. Di rumah bergaya Skandinavia yang indah dan terang ini, di balik dinding putih dan dekorasi yang rapi, pertempuran tersembunyi terus berkecamuk. Dan malam ini, sekali lagi, Renzi terbukti sebagai ahli strategi yang tak terbantahkan. Tapi di dalam dada Karmel, bara perlawanan dan kebencian—serta cinta yang tak diinginkan—tetap menyala, menunggu saatnya meledak.

1
La Rue
biar Renzi tahu konsekuensi dari segala perbuatannya terhadap Karmel
DiTA
lanjut Thor...semakin seruu...
DiTA
kasian juga dg Renzi,sebenarnya cinta tapi egoisss...sdgkan Bima sy pun tak sukaa...spt nya drama banget dia
Pcy
karmel cerdas tpi kok bikin gedeg sama ke oon nya...masa iya2 aja
IndahMulya
knpa yaa aku gedeg banget sama bima
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊: aku ke Renzi...knp ke Bima kak??😄😄
total 2 replies
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊
OMG Renzi Karmel harusnya udah punya 4 anak...
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊
astaga melll...😠😠😠
Masitah Zuliani
lanjuttt thor
Aisyah Ranni
siapa ya apakah Henry ....
shenina
Hhhmmmm 😮‍💨
La Rue
sedihnya
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊
sakit jiwa Renzi😠😠
shenina
nexttt
Masitah Zuliani
up lagi thorrrrr😍
Dilla Fadilla
Lanjuttt yg bnyk 💪👍
kalea rizuky
novel yg menginjak2 harga diri perempuan pantes sepi like
kalea rizuky
mati aja Mel dripda jd budak nafsu
kalea rizuky
salah sendiri murahan goblok
kalea rizuky
sekali pelacur ttep pelacur
kalea rizuky
novel apaan
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!