Sinopsis Singkat "Cinta yang Terlambat"
Maya, seorang wanita karier dari masa depan, terbangun di tubuh Riani, seorang wanita yang dijodohkan dengan Dimas, pria dingin dari tahun 1970-an. Dengan pengetahuan modern yang dimilikinya, Maya berusaha mengubah hidupnya dan memperbaiki pernikahan yang penuh tekanan ini. Sementara itu, Dimas yang awalnya menolak perubahan, perlahan mulai tertarik pada keberanian dan kecerdasan Maya. Namun, mereka harus menghadapi konflik keluarga dan perbedaan budaya yang menguji hubungan mereka. Dalam perjalanan ini, Maya harus memilih antara kembali ke dunianya atau membangun masa depan bersama Dimas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon carat18, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 – Ancaman yang Tak Terduga
selamat membaca guys ❤️ 🐸 ❤️ ❤️ ❤️ ❤️
*****
Malam telah larut, tetapi Riani masih duduk di ruang tengah sambil menatap secangkir teh yang mulai mendingin di tangannya. Sejak kembali dari pesta Sinta, pikirannya terus dipenuhi berbagai kemungkinan buruk. Ia tahu bahwa wanita itu tidak akan tinggal diam setelah dihina di depan banyak orang.
Dimas yang duduk di sampingnya terlihat tak kalah gelisah. Ia menatap istrinya dengan raut serius, lalu berkata, "Jangan terlalu dipikirkan. Kalau dia berani macam-macam, aku nggak akan tinggal diam."
Riani menoleh, menghela napas panjang. "Aku tahu, Mas. Tapi, Sinta bukan orang yang mudah menyerah. Aku yakin dia pasti merencanakan sesuatu."
Belum sempat Dimas menanggapi, suara ketukan keras di pintu depan membuat mereka berdua menoleh. Malam sudah terlalu larut untuk ada tamu, dan itu membuat Dimas langsung waspada.
"Siapa malam-malam begini?" gumamnya sambil bangkit dari duduknya.
Riani ikut berdiri, mengikuti Dimas ke pintu dengan perasaan tak enak. Saat Dimas membuka pintu, mereka dikejutkan oleh sosok pria yang berdiri di depan rumah. Pria itu berusia sekitar 40-an, mengenakan jaket cokelat lusuh dengan ekspresi serius di wajahnya.
"Pak Dimas?" tanya pria itu dengan suara rendah.
"Iya, saya sendiri. Anda siapa?" Dimas bertanya, masih menahan pintu setengah terbuka.
Pria itu melirik sekilas ke dalam rumah, seolah memastikan bahwa mereka berdua saja, sebelum berkata, "Saya hanya ingin memberi peringatan. Saya bekerja untuk seseorang yang tidak bisa saya sebut namanya, tapi saya yakin Anda tahu siapa orangnya."
Jantung Riani berdegup kencang. "Apa maksud Anda?" tanyanya dengan suara bergetar.
Pria itu menatapnya sejenak sebelum berkata, "Seseorang menginginkan kehancuran rumah tangga Anda. Dia tidak akan berhenti sampai mendapatkan yang dia inginkan. Saya tidak bisa ikut campur terlalu dalam, tetapi saya ingin memberi tahu Anda satu hal—hati-hati dengan apa yang akan datang."
Dimas mempererat genggamannya pada pegangan pintu. "Kenapa Anda memperingatkan kami?"
Pria itu menghela napas panjang, lalu menatap mereka dengan sorot mata tajam. "Karena saya tahu bagaimana orang itu bermain. Saya sudah melihat banyak korban sebelumnya. Saya tidak ingin ada lagi orang yang terjebak dalam permainannya."
Setelah mengatakan itu, pria itu berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Riani dan Dimas dalam kebingungan.
Setelah menutup pintu, Dimas menatap Riani yang tampak pucat. Ia meraih tangan istrinya, merasakan dinginnya jemari Riani.
"Aku nggak suka ini, Mas," gumam Riani pelan. "Siapa pun yang mengirim pria itu pasti punya rencana besar."
Dimas mengangguk. "Aku juga berpikir begitu. Dan aku yakin ini ada hubungannya dengan Sinta."
"Apa yang harus kita lakukan?" Riani menggigit bibirnya.
Dimas berpikir sejenak. "Aku akan bicara dengan beberapa orang yang bisa dipercaya. Kita nggak bisa diam saja."
Malam itu, meskipun mereka berusaha tidur, kecemasan tetap menyelimuti hati mereka.
Keesokan paginya, Riani memutuskan untuk tetap menjalankan aktivitas seperti biasa. Ia pergi ke dapur dan mulai menyiapkan adonan roti. Bagi Riani, membuat roti adalah caranya untuk menenangkan diri. Saat tangannya sibuk menguleni adonan, pikirannya sedikit lebih tenang.
Dimas datang ke dapur, memandang istrinya yang terlihat begitu fokus. "Kamu nggak apa-apa?" tanyanya sambil menyentuh bahu Riani.
Riani menoleh dan tersenyum kecil. "Aku butuh sesuatu untuk mengalihkan pikiran."
Dimas mengangguk. "Hari ini aku akan bicara dengan beberapa orang. Kalau kamu butuh sesuatu, langsung telepon aku, ya?"
"Iya, Mas."
Dimas mencium kening Riani sebelum berangkat. Namun, begitu Dimas pergi, Riani tidak bisa mengabaikan perasaan was-was yang masih menyelimuti hatinya.
Ia tahu ini baru permulaan.
******
Terima kasih sudah membaca guys ❤️🐸❤️❤️❤️❤️