Valerie memutuskan pulang ke Indonesia setelah dikhianati sang kekasih—Kelvin Harrison. Demi melampiaskan luka hatinya, Vale menikah dengan tuan muda lumpuh yang kaya raya—Sirius Brox.
Namun, siapa sangka, ternyata Riu adalah paman terkecilnya Kelvin. Vale pun kembali dihadapkan dengan sosok mantan, juga dihadapkan dengan rumitnya rahasia keluarga Brox.
Perlahan, Vale tahu siapa sebenarnya Riu. Namun, tak lantas membuat dia menyesal menikah dengan lelaki itu, malah dengan sepenuh hati memasrahkan cinta yang menggebu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pecemburu
"Aku sedang di rumahmu, Paman."
Satu kalimat yang barusan dilontarkan oleh seseorang yang menelepon Riu, yang tak lain adalah Sander. Usai makan malam bersama kakek dan orang tuanya, dia tak langsung kembali ke apartemen, melainkan datang ke rumah Riu.
Sayangnya, sambutan yang ia terima tidak terlalu baik. Bukan karena Riu bersikap tak ramah, melainkan lebih pada keadaan pamannya itu. Tak hanya kaki yang benar-benar normal, tetapi juga wajah dan tubuh yang berkeringat, belum lagi kancing kemeja banyak yang lepas. Meski belum berpengalaman, namun Sander sudah bisa membayangkan apa yang barusan terjadi antara Riu dengan Vale.
"Apa yang membawamu kemari?" tanya Riu tanpa memedulikan tatapan Sander yang terus terarah padanya.
Sander mengusap sejenak wajahnya, lantas dengan kepala yang sedikit menunduk ia mulai membuka suara.
"Aku dengar, katanya Paman sudah sembuh. Jadi, aku ke sini untuk memastikannya. Dan ternyata benar, kamu sudah normal lagi, Paman. Aku ... turut senang," ujar Sander, setengah jujur dan setengah berbohong.
Riu tersenyum miring, lantas mengambil sebatang rokok dan menyulutnya dengan santai.
"Aku tidak suka basa-basi," ucapnya tanpa menatap Sander, malah begitu nikmat mengepulkan asap dari bibirnya.
Sander menelan ludah terlebih dahulu, guna membasahi tenggorokan yang serasa kering.
"Aku tidak punya banyak waktu. Kalau kamu tidak jadi bicara, biar aku saja yang bicara," ujar Riu, karena Sander tak jua membuka suara.
Bahkan, usai Riu berkata seperti itu pun, Sander masih diam. Entahlah, berhadapan langsung dengan Riu membuatnya kehilangan nyali. Padahal, sejak tadi sudah dirancang apa saja yang akan ia katakan.
"Aku tahu apa yang akan kamu katakan. Berhubungan dengan perusahaan orang tuamu, kan? Kamu tidak terima aku menjualnya. Benar, kan?" Riu bicara lagi, dan ... sangat tepat. Memang itu yang akan Sander katakan. Namun, bukan karena kasihan dengan orang tuanya, melainkan pada kakeknya.
Dengan susunan kalimat yang berantakan akibat menahan gugup, Sander menjelaskan bahwa dirinya merasa iba kepada Jason. Pria tua itu terlihat kecewa saat mengatakan bahwa dua perusahaan telah dijual. Dari tatap matanya, menyiratkan beban yang tidak ringan.
"Aku tidak keberatan perusahaan itu kamu ambil alih, Paman. Tapi ... aku sedikit keberatan saat perusahaan itu Paman jual. Secara tidak langsung, Paman telah menghilangkan kesempatan bagi keluarga Brox untuk berkembang di luar negeri. Apa tujuan Paman melakukan itu?"
Riu tersenyum, "Tentu saja untuk keuntungan pribadi. Memangnya mau apa lagi? Bukankah di keluarga kita sekarang sudah menjunjung tinggi ego? Orang tuamu, orang tua Kelvin, Papa, bahkan mungkin ... kamu juga, masing-masing hanya memikirkan diri sendiri. Jadi, apa salah jika aku juga melakukan hal yang sama?"
Sander terdiam.
Riu menarik napas panjang sembari bangkit dari duduknya, "Sudah cukup aku mengalah selama ini. Sudah waktunya aku melakukan apa yang seharusnya kulakukan."
"Aku hanya takut Kakek tertekan. Itu tidak bagus untuk kesehatannya."
"Sejak tahu anak kesayangannya menjadi dalang kecelakaan yang menimpaku, Papa sudah tertekan. Jadi, jika nanti kesehatan Papa tidak bagus, kamu juga tahu siapa yang salah." Riu berjalan mendekati Sander yang kala itu ikut bangkit. "Tapi ... aku punya saran agar kamu bisa meringankan beban Papa," lanjutnya.
Sander tidak menjawab, sekadar melayangkan tatapan penuh tanya.
"Kembali ke Perancis dan mulailah merintis bisnis di sana. Tunjukkan pada Kakek kalau kalian memang patut diandalkan. Kamu sudah punya saham di beberapa perusahaan, kan?"
Ucapan Riu membuat Sander sedikit terkejut. Sejauh ini, hanya pada Kelvin dia mengungkapkan hal itu. Namun, mengingat hubungan Kelvin dan Riu yang sangat buruk, tidak mungkin Kelvin memberitahukan hal itu. Lantas, dari mana Riu tahu tentang saham-saham miliknya? Apakah pamannya itu punya mata-mata?
"Saham yang kupunya tidak seberapa. Modal itu tidak akan cukup untuk berdiri seperti sebelumnya, kecuali menunggu sampai puluhan tahun," jawab Sander.
"Aku bisa memberimu modal."
Sander langsung menatap Riu, menyiratkan keterkejutan atas apa yang dilontarkan sang paman.
"Aku sudah lama mengenal Tuan Kairi, aku juga memiliki lima persen saham di perusahaannya. Aku akan memberikan itu padamu. Bukan hanya modal materi, melainkan juga peluang untuk bekerja sama dengan Tuan Kairi. Bagaimana? Aku sudah bermurah hati, kan?" kata Riu dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Apa syaratnya?"
Sekarang Sander sudah paham bagaimana pamannya, tidak sepolos yang ia bayangkan. Jadi, mustahil memberikan saham itu secara cuma-cuma. Pasti ada syarat yang harus ia lakukan.
Riu melangkah lebih dekat. Lantas, menepuk pelan bahu Sander, sekaligus mencengkeramnya dengan erat.
"Tetap tinggal di luar negeri dan hapus perasaanmu untuk istriku. Jangan sampai aku murka karena kamu menatapnya dengan cinta," bisiknya.
Sander kesulitan menelan ludah. Sedikit pun tak menyangka jika Riu akan tahu tentang perasaannya terhadap Vale.
"Jangan mencoba mengelak. Aku tahu semuanya, bahkan tentang orang tuamu dan orang tua Kelvin juga," sambung Riu.
"Paman, aku ... aku___"
"Pergilah! Apa kamu tidak mengenal aroma ini? Kamu sudah mengganggu waktuku bersama Vale," pungkas Riu dengan cengkeraman yang lebih kuat, bahkan Sander sampai meringis dibuatnya.
Tanpa menunggu jawaban Sander, Riu bergegas pergi, meninggalkan Sander yang masih mematung.
Dalam diamnya, Sander bisa mencerna apa maksud Riu. Aroma khas lain yang bercampur dengan parfum dan keringat, ternyata adalah aroma percintaan. Dengan miris, Sander menoleh dan menatap punggung pamannya yang makin menjauh.
"Kamu selalu di luar bayanganku, Paman," batin Sander.
"Mari, Tuan, saya antar ke depan!" Suara Baron membuyarkan pikiran Sander yang masih berkelana. Tanpa protes, ia pun mengikuti langkah pria itu.
Sementara di kamarnya, Riu langsung disambut oleh Vale. Dengan tubuh yang hanya dibalut baju tidur tipis, juga rambut basah yang digulung dengan handuk.
"Kamu dari mana?"
Alih-alih menjawab pertanyaan Vale, Riu malah mendekat dan merengkuh pinggangnya dengan erat.
"Katakan kalau kamu mencintaiku dan tidak akan pernah meninggalkan aku!"
"Hei, kamu kenapa? Setelah apa yang kita lalui, masihkah butuh penegasan lagi?" jawab Vale dengan kening yang mengernyit.
Tidak ada sahutan lagi. Namun, dengan gerakan cepat Riu mendekatkan wajahnya dan mereguk kembali rasa manis di bibir Vale. Begitu menggebu, dan Vale bisa merasakan kecemburuan yang teramat sangat.
"Ada apa dengannya?" batin Vale sambil mengikuti gerakan Riu.
Sayangnya, keintiman itu tak berlangsung lama, karena sesaat kemudian ponsel Vale berdering nyaring. Mau tak mau, keduanya pun menyudahi aktivitas itu.
"Siapa?" tanya Riu.
"Thalia," jawab Vale sambil menunjukkan layar ponselnya.
"Terima saja."
Vale mengangguk, lantas menerima telepon dari sahabatnya itu. Bukan sapaan atau basa-basi bertanya kabar yang pertama kali Vale dengar, melainkan sebuah kabar yang membuat matanya membelalak seketika.
Bersambung...