Arjuna, putra dari Dewa Arka Dewa dan Dewi Laksmi, adalah seorang dewa yang sombong, angkuh, dan merasa tak terkalahkan. Terlahir dari pasangan dewa yang kuat, ia tumbuh dengan keyakinan bahwa tidak ada yang bisa menandinginya. Dengan kekuatan luar biasa, Arjuna sering merendahkan dewa-dewa lainnya dan merasa bahwa dirinya lebih unggul dalam segala hal.
Namun, sikapnya yang arogan membawa konsekuensi besar. Dewa Arka Dewa, ayahnya, yang melihat kebanggaan berlebihan dalam diri putranya, memutuskan untuk memberi pelajaran yang keras. Dalam upaya untuk mendewasakan Arjuna, Dewa Arka Dewa mengasingkan Arjuna ke dunia manusia—tanpa kekuatan, tanpa perlindungan, dan tanpa status sebagai dewa.
Di dunia manusia yang keras dan penuh tantangan, Arjuna harus menghadapi kenyataan bahwa kekuatan fisik dan kesombongannya tidak ada artinya lagi. Terpisah dari segala kemewahan Gunung Meru, Arjuna kini harus bertahan hidup sebagai manusia biasa, menghadapi ancaman yang lebih berbahaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nasehat Orang Tua
Di puncak Gunung Meru, istana megah yang dikelilingi awan dan cahaya keemasan menjadi saksi dari sebuah perjamuan besar keluarga Dewa. Malam ini, Dewa Arka Dewa mengundang semua anak-anaknya untuk berkumpul dalam sebuah jamuan makan bersama di aula utama.
Meja panjang dari batu giok terbentang di tengah ruangan, dihiasi hidangan surgawi yang hanya bisa dinikmati oleh para penghuni Meru. Cahaya obor berwarna kebiruan berkedip-kedip di setiap sudut ruangan, menciptakan suasana hangat dan megah.
Di ujung meja, Arka Dewa duduk dengan tenang, mengenakan jubah emasnya yang bersinar. Di sampingnya, Dewi Laksmi tersenyum lembut, memperhatikan anak-anak mereka yang sedang menikmati hidangan.
Dewi Indira, dengan tatapan penuh semangat, menyuapkan potongan daging celestial ke mulutnya. “Sudah lama kita tidak makan bersama seperti ini. Biasanya selalu ada yang sibuk dengan urusannya masing-masing,” katanya sambil melirik Bhima, yang sibuk mengunyah dengan rakus.
Bhima mendengus, “Aku terlalu sibuk menjaga keseimbangan tanah dan pegunungan. Tidak sepertimu yang bisa dengan mudah bermain dengan badai.”
Dewi Saraswati tertawa kecil, “Sepertinya Bhima tetap saja seperti dulu. Tapi aku setuju dengan Indira, sudah lama sekali kita tidak berkumpul seperti ini.”
Di sisi lain meja, Nakula duduk dengan tatapan tenang, tetapi dalam hatinya ia menyembunyikan sesuatu. Ia masih mengingat pertemuannya dengan Andi Wijaya di dunia manusia. Rencana liciknya sudah mulai berjalan, dan kini ia menunggu waktu yang tepat untuk mengungkap langkah selanjutnya.
Arka Dewa mengangkat cawan emasnya. “Keluargaku, aku ingin mengingatkan bahwa kita adalah para pelindung dunia ini. Kita memiliki tanggung jawab besar, dan aku ingin kita selalu bersatu dalam kebaikan.”
Mereka semua mengangkat cawan mereka, kecuali Nakula yang hanya tersenyum tipis. Dalam pikirannya, ia sudah memiliki rencana untuk mengguncang keluarga ini, terutama untuk Arjuna, saudara yang paling ia benci.
Malam itu, makan malam berlangsung dengan kehangatan, tetapi di balik senyum dan tawa, ada niat tersembunyi yang siap mengguncang keseimbangan Meru.
Setelah perjamuan makan selesai, para dewa mulai meninggalkan meja makan satu per satu. Beberapa kembali ke tugas mereka, sementara yang lain menikmati waktu bersantai di istana Gunung Meru.
Nakula tetap duduk di kursinya, menatap kosong ke dalam cawan emasnya yang sudah kosong. Dalam pikirannya, bayangan masa lalu berputar seperti badai yang tak kunjung reda.
Ia ingat bagaimana Arjuna selalu berada di atasnya. Sejak kecil, Arjuna selalu lebih unggul—lebih cepat, lebih kuat, lebih dikagumi. Para penghuni Meru, bahkan para dewa lainnya, selalu memandang Arjuna sebagai yang terbaik di antara mereka.
Nakula mengepalkan tangannya.
“Kenapa selalu dia?” pikirnya penuh kebencian.
Ia ingat bagaimana setiap kali ia berusaha menunjukkan kehebatannya, Arjuna selalu melangkah lebih jauh. Saat mereka berlatih bersama, Arjuna selalu menang dengan mudah. Saat mereka bertanding dalam perlombaan atau pertempuran persahabatan, Nakula hampir tak pernah menang.
Yang paling menyakitkan baginya adalah bagaimana Arjuna selalu meremehkannya.
"Kau terlalu lambat, Nakula."
"Coba lebih serius, kau ini dewa angin, bukan embusan sepoi-sepoi!"
"Ah, kau sebaiknya mundur saja, aku yang akan menyelesaikan ini!"
Ucapan-ucapan itu terus terngiang di kepalanya. Ia menundukkan kepala, merasakan amarahnya semakin membara.
Namun, tiba-tiba suara lembut yang penuh kasih sayang memecah lamunannya.
“Nakula...”
Ia menoleh dan melihat ibunya, Dewi Laksmi, berdiri di sampingnya dengan tatapan penuh perhatian.
“Apa yang kau pikirkan, anakku?” tanya Dewi Laksmi lembut.
Nakula menghela napas dan berusaha menyembunyikan ekspresi amarahnya. “Tidak ada, Ibu. Aku hanya merenungkan beberapa hal.”
Dewi Laksmi menatapnya dalam-dalam, seolah bisa membaca kegelisahan hatinya. Ia lalu duduk di samping Nakula, menyentuh tangannya dengan lembut.
“Nakula, aku tahu ada sesuatu yang mengganggumu.”
Nakula terdiam sejenak. Ia ingin melampiaskan isi hatinya, ingin mengungkapkan betapa ia merasa dipandang rendah, betapa ia membenci bayangan Arjuna yang selalu lebih unggul darinya. Namun, ia menahan diri.
“Arjuna... dia selalu berada di atas, Ibu. Tidak peduli seberapa keras aku berusaha, aku selalu tertinggal jauh di belakangnya.”
Dewi Laksmi tersenyum lembut. “Nakula, setiap anak memiliki jalannya sendiri. Kau adalah dewa angin, kau adalah kecepatan dan ketangkasan yang tiada banding. Kau bukan bayangan Arjuna, kau adalah dirimu sendiri.”
Nakula mengepalkan tangannya lebih erat. “Tapi semua orang selalu membandingkanku dengannya! Aku selalu dianggap lebih lemah, lebih lambat... lebih tidak berguna!”
Dewi Laksmi menghela napas dan membelai rambut Nakula. “Dendam dan iri hati hanya akan membutakan hatimu, Nakula. Kau tidak perlu membuktikan dirimu dengan membenci saudaramu.”
Nakula menatap ibunya, tetapi hatinya tetap gelap. Dalam pikirannya, hanya ada satu jalan untuk membuktikan dirinya lebih baik dari Arjuna.
Dan ia sudah mulai mengambil langkah ke arah itu.
Dewi Laksmi tetap menatap putranya dengan penuh kasih sayang, meskipun ia bisa merasakan ada yang berbeda dalam sorot mata Nakula. Ada api yang membara, bukan api semangat atau keberanian, melainkan api kebencian yang mulai membakar hatinya.
“Nakula...” suara lembutnya mengalun, “Kau adalah anakku. Aku mengenalmu lebih dari siapa pun. Apa yang ada di hatimu, Nakula? Mengapa kau membiarkan kegelapan menguasai dirimu?”
Nakula menghela napas, berusaha menahan gejolak yang berkecamuk di dalam dirinya. “Ibu, aku hanya ingin diakui. Aku ingin dihormati. Aku ingin menjadi lebih dari sekadar ‘adik Arjuna’. Aku muak selalu hidup dalam bayangannya.”
Dewi Laksmi tersenyum tipis, lalu berkata dengan lembut, “Nakula, tidak ada yang hidup dalam bayangan orang lain, kecuali jika ia membiarkan dirinya percaya bahwa ia ada di sana.”
Nakula terdiam.
“Arjuna memang kuat, ia memang dikagumi banyak orang. Tapi itu tidak membuatmu lebih rendah darinya. Setiap dewa, setiap manusia, bahkan setiap makhluk di alam semesta ini memiliki takdirnya masing-masing. Kau tidak harus menjadi Arjuna. Kau harus menjadi Nakula.”
Mata Nakula menyipit. “Dan menjadi Nakula berarti apa, Ibu? Menjadi yang kedua? Menjadi yang selalu kalah?”
Dewi Laksmi menggeleng perlahan. “Menjadi Nakula berarti menjadi dirimu sendiri, tanpa harus membandingkan dirimu dengan orang lain. Kau punya kekuatanmu sendiri, kau punya kehebatanmu sendiri.”
Nakula mengepalkan tangannya. “Tapi dunia tidak peduli akan itu! Dunia hanya melihat siapa yang lebih kuat, siapa yang lebih unggul! Kau tidak tahu, Ibu, bagaimana rasanya selalu tertinggal, selalu dipandang sebelah mata!”
Dewi Laksmi menatap Nakula dengan dalam, kali ini ada kesedihan di matanya. “Nakula, kau salah. Aku tahu bagaimana rasanya diabaikan, bagaimana rasanya tidak didengar. Aku adalah Dewi Kemakmuran, tetapi banyak yang hanya menginginkanku karena apa yang bisa kuberikan, bukan karena siapa diriku.”
Nakula mengerutkan kening, mendengarkan kata-kata ibunya.
“Tapi aku tidak membiarkan itu mengubah hatiku. Aku memilih untuk tetap menjadi diriku sendiri, untuk tetap memberi, tetap mencintai, tetap menjaga keseimbangan. Karena aku tahu, begitu aku membiarkan kebencian menguasai hatiku, aku bukan lagi Laksmi. Aku akan kehilangan diriku sendiri.”
Nakula terdiam. Ada sesuatu dalam kata-kata ibunya yang menusuk ke dalam hatinya, namun ia menolaknya.
Ia menggeleng pelan. “Ibu tidak mengerti... aku sudah memilih jalanku.”
Dewi Laksmi menatapnya dengan penuh kesedihan. “Nakula, hati yang dipenuhi kebencian tidak hanya akan menghancurkan orang lain... tetapi juga dirimu sendiri.”
Nakula menoleh ke arah lain, tidak sanggup membalas tatapan ibunya. Dalam hatinya, ia tahu ibunya benar.
Tapi sudah terlambat.
Kebencian bukan hanya bisa menguasai manusia. Bahkan dewa sekalipun bisa jatuh ke dalam cengkeramannya.