Edward terkejut saat istrinya yang hilang ingatan tiba-tiba mengajukan gugatan cerai kepadanya.
Perempuan yang selama empat tahun ini selalu menjadikan Edward prioritas, kini berubah menjadi sosok yang benar-benar cuek terhadap apapun urusan Edward.
Perempuan itu bahkan tak peduli lagi meski Edward membawa mantan kekasihnya pulang ke rumah. Padahal, dulunya sang istri selalu mengancam akan bunuh diri jika Edward ketahuan sedang bersama mantan kekasihnya itu.
Semua kini terasa berbeda. Dan, Edward baru menyadari bahwa cintanya ternyata perlahan telah tumbuh terhadap sang istri ketika perempuan itu kini hampir lepas dari genggaman.
Kini, sanggupkah Edward mempertahankan sang istri ketika cinta masa kecil perempuan itu juga turut ikut campur dalam kehidupan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itha Sulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ancaman dari Silva
"Walaupun Anda adalah penerus keluarga Ferrel, tapi Anda tetap tidak pantas berkata seperti itu! Nana istri saya! Dan, sampai kapan pun , saya nggak akan lepaskan dia untuk lelaki manapun!" tegas Edward.
"Ed," lirih Silva gelisah. Saat ini, posisinya yang sedang terancam.
Akan tetapi, Edward justru sedang sibuk memperebutkan Nana dengan pangeran keluarga Ferrel.
"Berarti, nasib Nona disamping Anda akan kasihan sekali," timpal Dylan tersenyum. "Selamanya, dia hanya akan jadi simpanan yang tak memiliki status," lanjutnya mencibir.
Silva menggeram kesal. Yang dikatakan Dylan memang ada benarnya. Jika, Edward tidak menceraikan Nana, maka statusnya tak akan pernah naik menjadi istri sah Edward. Selamanya, statusnya disamping Edward hanya akan menjadi cibiran orang.
"Na, kemasi barang-barang kamu! Hari ini juga, kamu pulang ke rumah!" titah Edward kepada sang istri.
Jika Nana terus tinggal di hotel itu, maka Edward tak akan bisa tidur nyenyak. Membayangkan, Nana dan Dylan akan sering bertemu, benar-benar membuatnya tak bisa tenang.
"Rumah? Rumah yang mana? Saya nggak punya rumah," sahut Nana.
"Rumahku juga rumah kamu, Na! Kenapa kamu masih bertanya?"
Nana reflek menyunggingkan senyum tipis. "Waktu Anda mengusir saya, Anda bilang kalau rumah itu hanya milik Anda. Saya nggak ada hak sama sekali untuk tinggal di sana."
"Itu karena aku kesal sama kamu, Na!" timpal Edward cepat. "Andai kamu nggak jahat sama Silva, mana mungkin aku tega mengusir kamu!"
"Mata kamu memang benar-benar buta," lirih Nana sembari menggeleng pelan.
"Apa maksud kamu?" tanya Edward keberatan.
"Jelas-jelas, kalau Silva yang selalu berbohong. Tapi, Tuan Edward tetap saja berpihak sama dia."
Edward menghela napas kasar. "Aku kenal Silva sudah sangat lama. Aku tahu gimana karakternya. Dia bukan perempuan yang suka berbohong!"
"Terserah," balas Nana tak peduli. "Percuma bicara sama manusia bodoh seperti Anda!"
Kemudian, Nana menatap ke arah Dylan.
"Dylan, apa kamu sibuk?"
"Nggak. Memangnya, kenapa? Kamu butuh bantuan?"
Nana pun menggeleng pelan. "Nggak," jawab Nana. "Aku cuma mau ditemenin sarapan."
"Ya sudah, ayo! Kebetulan, aku juga belum sarapan."
"Na! Kamu cuma ajak dia?" celetuk Edward bertanya.
"Bukan urusan Anda, Tuan Edward!" sahut Nana seraya berlalu pergi.
Detik itu juga, jantung Edward bagai ditikam sebuah belati. Nana-nya sudah sangat berbeda.
Lupa ingatan benar-benar merenggut sosok Nana yang dulu.
"Aku kangen kamu yang dulu, Na!" lirih Edward.
Dan, Silva langsung membuang muka karena benar-benar cemburu berat akibat ucapan Edward.
*
*
*
"Yana! Ngapain kamu disini?"
Silva segera menyeret tangan sahabatnya itu masuk ke dalam rumah.
"Silva, kamu harus bantu aku!" kata wanita bernama Yana itu.
"Ada apa?" tanya Silva tak mengerti.
"Baru saja, aku dapat ini," tukas Yana yang langsung menyodorkan sebuah kertas kepada Silva.
"Surat panggilan?" gumam Silva tak percaya.
"Iya," angguk Yana membenarkan. "Aku dilaporkan ke polisi sama laki-laki yang sama Nana itu, Sil."
Terdengar helaan napas dari panjang dari mulut Silva.
"Maaf, Yana! Kalau kamu kemari untuk minta bantuan, aku nggak bisa," geleng Silva.
"Kok, kamu ngomong kayak begitu sih, Sil? Padahal, aku menyebarkan foto-foto itu juga karena perintah dari kamu!" pekik Yana khawatir.
Sstt!
Mata Silva melotot. Telunjuknya reflek menempel di bibir Yana.
"Jangan keras-keras! Nanti, Edward dengar."
"Sil, aku benar-benar nggak mau dipenjara. Kamu harus melakukan sesuatu untuk membantu aku."
"Maaf, aku benar-benar nggak bisa, Yan!"
"Silva, kamu mau tinggalin aku setelah masalah sudah jadi sebesar ini?" tanya Yana tak percaya.
"Aku bukannya ninggalin kamu, Yan! Tapi, kalau kamu berani berbuat, seharusnya kamu juga siap untuk menanggung resikonya."
"Tapi, aku menyebarkan foto itu karena perintah dari kamu, Sil!" tegas Yana dengan suara menggeram.
"Aku memang minta kamu untuk sebar foto-foto itu. Tapi, aku nggak pernah bilang kalau kamu harus mengirimkannya ke media. Iya, kan?"
Lidah Yana seketika menjadi kelu. Apa yang Silva katakan memang ada benarnya. Silva tak pernah memintanya mengirim foto-foto itu ke media.
Tapi, jika bukan ke media, memangnya foto-foto itu mau disebar kemana lagi? Sementara, Silva memerintahkan supaya Yana menghancurkan nama baik Nana.
"Yana..." Silva menggenggam erat tangan sahabatnya. "Jangan pernah sebut namaku saat kamu diinterogasi, ya! Kalau sampai kamu menyeret-nyeret namaku juga, maka keluarga kamu nggak akan selamat. Terutama, Ibu kamu yang punya penyakit jantung itu."
Degh!
Netra Yana bergetar. Kaca-kaca tipis mulai mengaburkan penglihatannya.
"Silva... kamu mengancam aku?" tanya Yana tak percaya.
"Siapa yang mengancam kamu, Yan?" Silva tertawa kecil. "Aku cuma kasih nasehat aja sama kamu. Di dengarkan syukur. Kalau nggak didengar..."
Sorot mata Silva tiba-tiba menggelap. "Berarti, kamu siap mendengarkan kabar buruk dari salah satu anggota keluarga kamu," lanjutnya.