“Apa ... jangan-jangan, Mas Aldrick selingkuh?!”
Melodi, seorang istri yang selalu merasa kesepian, menerka-nerka kenapa sang suami kini berubah.
Meskipun di dalam kepalanya di kelilingi bermacam-macam tuduhan, tetapi, Melodi berharap, Tuhan sudi mengabulkan doa-doanya. Ia berharap suaminya akan kembali memperlakukan dirinya seperti dulu, penuh cinta dan penuh akan kehangatan.
Namun, siapa sangka? Ombak tinggi kini menerjang biduk rumah tangganya. Malang tak dapat di tolak dan mujur tak dapat di raih. Untuk pertama kalinya Melodi membuka mata di rumah sakit, dan disuguhkan dengan kenyataan pahit.
Meskipun dirundung kesedihan, tetapi, setitik cahaya dititipkan untuknya. Dan Melodi berjuang agar cahaya itu tak redup.
Melewati semua derai air mata, dapatkah Melodi meraih kebahagiaan? Atau justru ... sayap indah milik Melodi harus patah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SPMM21
Pagi itu, sinar mentari mengintip malu-malu lewat tirai kamar. Ajeng terbangun lebih awal dari biasanya. Tubuhnya terasa tak bersemangat, tetapi pikirannya justru penuh dengan berbagai hal yang ingin ia lakukan.
"Huh, menyusahkan," gerutunya pelan.
Wanita separuh baya itu perlahan bangkit dari posisi tidurnya. Tangannya meraih laci kecil di samping ranjang. Dari dalam laci itu, ia mengambil sebuah buku tabungan. Pundi-pundi rupiah yang ia kumpulkan sebagai hadiah, jika Melodi dulu melahirkan seorang cucu untuknya. Namun, hal itu tak pernah terjadi.
Ia masih dapat mengingat jelas bagaimana Melodi menatapnya dengan sorot mata kecewa. Dulu, ia memaklumi, karena menurutnya, penyebab Melodi keguguran terakhir kali memang karena kesalahan dirinya.
Ajeng teringat kembali akan kenangan tak menyenangkan yang masih membekas, Melodi mengalami pendarahan setelah mengkonsumsi bubur buatannya. Setelah diperiksa, ternyata ditemukan zat penggugur janin di dalam wadah bubur buatan Ajeng. Tentu saja kejadian itu memicu renggangnya hubungan antara Ajeng dan Melodi.
"Minta cucu lagi, Bu? Memangnya, aku kehilangan anakku karena siapa?" Kalimat penuh amarah dari Melodi masih membekas di dalam ingatan Ajeng.
Sinar mentari yang menyinari netra Ajeng, menarik wanita separuh baya itu kembali masuk ke masa kini. Ia menatap kembali buku tabungan yang sampulnya sudah agak lusuh. Ia membukanya perlahan-lahan, tiga digit tertera di sana.
"Lebih baik, aku berikan aja ke Aldrick. Jelas anakku membutuhkan biaya yang sangat besar untuk mengobati istrinya yang digerogoti penyakit keras itu." Gumam Ajeng sambil melirik jam yang berdetak di dinding.
"Tiga jam lagi ... Melodi menjalani operasi," gumamnya pelan, nyaris tak terdengar. "Duh, kok bisa anak itu sakit keras seperti itu?! —Apa, dia nggak makan makanan yang bergizi?! Apa, selama ini ... gaji Aldrick nggak cukup? —Hah, sudahlah, mending aku mandi!"
Ajeng bergegas bangkit dari ranjang, ia memasukkan buku tabungannya ke dalam tas jinjing favoritnya. Kemudian, ia masuk ke dalam kamar mandi. Namun, beberapa detik kemudian ia kembali keluar sembari mendengus kesal.
Ajeng berjalan menuju meja kecil di sisi ranjang dan menarik laci mungil di dalam sana. Ia menyambar kotak merah berisi sebentuk cincin yang terlihat mahal. Ia segera memasukkan benda itu ke dalam tas jinjingnya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Di ruangan tunggu operasi, Aldrick membuka halaman pertama buku Melodi. Dengan mata berkaca-kaca, ia membaca setiap kata yang ditorehkan sang istri.
Untuk Aldrick, Mas-ku tersayang,
Aku tahu kamu tidak pernah pandai mengungkapkan perasaanmu, tapi aku tahu kamu mencintaiku. Aku tahu, meskipun kamu sering terlihat dingin, ada banyak hal kecil yang kamu lakukan untukku yang membuatku merasa dicintai, meskipun aku tidak selalu menyadarinya.
Aku menulis surat ini karena aku ingin kamu tahu segalanya. Aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak pernah benar-benar marah padamu. Aku hanya merasa kesepian, Mas. Aku tahu aku terlalu banyak menuntut, dan aku minta maaf untuk itu. Tapi aku juga ingin kamu tahu bahwa setiap hari aku selalu bersyukur karena punya kamu di hidupku.
Kalau aku nggak bisa bertahan, aku cuma minta satu hal: jangan berhenti hidup. Jangan terus-terusan merasa bersalah atas apa yang tidak bisa kamu kendalikan. Aku ingin kamu bahagia, Mas. Aku ingin kamu menemukan alasan untuk terus melangkah, bahkan tanpaku.
Aku mencintaimu sampai detik ini, dan jika nanti aku sudah nggak ada, cintaku akan tetap ada di setiap udara yang kamu hirup.
Aldrick berhenti sejenak. Air matanya mulai luruh. Ia menutup buku itu sebentar, mengusap wajahnya dengan tangan yang gemetar. Lalu, ia membuka halaman baru dan mulai membaca tulisan lainnya. Namun, ia kembali berhenti, lalu menyodorkan buku tersebut pada Nadia.
Wanita bertubuh gempal itu menyambut pelan buku harian Melodi dan segera membacanya.
Untuk Nadia, sahabatku yang paling menyebalkan,
Nad, lo tau kan gue sayang tuh banget sama lo? Lo tuh orang pertama yang gue cari waktu gue senang, waktu gue sedih, bahkan waktu gue lagi nggak tau apa yang harus gue lakuin. Lo selalu ada buat gue, dan gue nggak tau gimana gue bisa melalui semuanya tanpa lo.
Tapi, Nad, kalau gue nggak bisa bertahan ... gue cuma minta lo janji satu hal. Janji lo bakal terus ngingetin Aldrick tentang gue. Janji lo bakal jagain dia kalau dia mulai kehilangan arah. Gue bisa percayain semua ini sama lo kan, Nad?
Dan, janji lo bakal terus hidup sebagai wanita kuat ya. Tapi, Nad, gue cuma mau bilang ... kuat itu nggak melulu harus ngatasin semua masalah seorang diri. Kalau nggak kuat, jangan dipaksa. Menerima bantuan dari orang lain nggak bakalan bikin lo terlihat lemah. Naaaaad, gue sayang eloooooo!
Lo selalu bilang gue ini drama queen, dan mungkin itu benar. Jadi, kalau nanti gue pergi, anggap aja ini gue lagi bikin drama terakhir untuk lo, oke?
Air mata Nadia jatuh membasahi halaman buku itu. Ia menutup buku kecil itu dengan hati-hati dan ... memeluk erat buku tersebut seolah-olah ia tengah memeluk Melodi.
Beberapa menit kemudian, langkah kaki dari sepatu kulit memecah keheningan ruangan tunggu tersebut. Aldrick dan Nadia yang sedang termenung menoleh perlahan. Ajeng datang dengan pakaian sederhananya.
"Apa masih belum ada tanda-tanda selesai, Drick?" tanya Ajeng lembut sembari duduk di samping sang putra.
Aldrick menggeleng lemah, "Dokter bilang, operasi kemungkinan berjalan selama 3jam bahkan 7 jam, Bu."
Ajeng menggenggam lembut jemari Aldrick yang tampak gemetar, seolah memberi kekuatan.
"Kalian sudah pada sarapan?" tanya Ajeng. Ia menatap Aldrick dan Nadia bergantian. "Siapa namanya? —Nadia ya? Sudah sarapan?"
"Belum, Tante," jawab Nadia sopan.
Aldrick pun menjawab dengan menggeleng.
"Tante nggak bawain makanan yang wah, cuma ada bawain nasi goreng ikan teri. Nadia doyan?" tanya Ajeng.
Nadia mengangguk kikuk.
"Mending kalian makan dulu, biar gantian tante yang jaga. Tante dengar, Nadia dari malam ikut berjaga di rumah sakit, terimakasih ya." Ajeng mengulas senyuman tipis.
'Hayabuset serepetpetpetpet, kesambet apaan nih orang? —Mertuanya Melodi ini emang nggak pernah gagal kalau urusan ngagetin orang. Nggak cocok banget buat aku, apalagi aku orangnya gampang meninggal,' batin Nadia. Kepalanya sudah miring menahan heran.
"Ayo, Nad. Kita makan dulu di kursi belakang. Kalau kita roboh, nggak ada yang jagain Melodi nanti." Ajak Aldrick sambil menenteng tas bekal yang di bawa sang ibu.
"Kena gulung badai lo? Pake roboh segala," Nadia terkekeh pelan. Ia melirik ke arah Ajeng. "Saya makan dulu ya, Tante. Terimakasih banyak."
Ajeng menjawab dengan anggukan sopan. Selagi menunggu, Ajeng menghabiskan waktunya dengan berdzikir. Tangannya yang bersembunyi di dalam tas, sibuk menekan-nekan tasbih digital. Dalam diam, ia mengirimkan doa untuk keselamatan sang menantu.
Namun, suara langkah kaki yang berlari-lari dari arah ruangan operasi memecahkan konsentrasi wanita separuh baya tersebut. Jantungnya berdetak kencang saat melihat seorang perawat berlari dengan pakai medis yang terkena noda darah.
Dari kursi belakang, Nadia dan Aldrick berdiri tegang. Mereka berlari ke kursi depan.
"Bu, ada apa, Bu?" tanya Aldrick panik. "Itu perawat yang nanganin Melodi."
"Ibu juga nggak tau, Drick," jawab Ajeng dengan tangan yang gemetar. "Tiba-tiba aja perawat itu keluar dari ruangan terus berlari kayak di kejar setan. Ada apa ya, Drick? Apa ... jangan-jangan ...."
Ajeng tak melanjutkan perkataannya, ia meneguk kasar ludahnya. Menatap Aldrick dan Nadia yang terlihat sama paniknya.
*
*
*
rata2 perempuan banyak kena gerd,kalau kata org awam asam lambung.itu karena dampak utamamya stres.tekanan batin.
jadilah suami yg bijak. dosa kalau sampai istrimu mengemis kasih sayang
bagus banget.
Aku setiap baca 😭🤣😭🤣😭🤣😭
Sukses terus kak othor/Determined/
,, penyesalan,, membuat sesak di
di dada, dalam penyesalan hanya
dua kata sering di ucapkan,
,, andaikan dan misalkan,, dua
kata ini tambah penyesalan.
thanks mbak 💪 💪