Diambang putus asa karena ditinggal sang kekasih saat hamil, Evalina Malika malah dipertemukan dengan seorang pria misterius. Adam Ardian Adinata mengira gadis itu ingin loncat dari pinggir jembatan hingga berusaha mencegahnya. Alih-alih meninggalkan Eva, setelah tahu masalah gadis itu, sang pria malah menawarinya sejumlah uang agar gadis itu melahirkan bayi itu untuknya. Sebuah trauma menyebabkan pria ini takut sentuhan wanita. Eva tak langsung setuju, membuat pria itu penasaran dan terus mengejarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ingflora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31. Salah Sangka
"Mas cemburu sama Ariel?" Eva menarik Ariel yang masih bingung, maju ke depan. "Ariel ini cewek, Mas. Cuma potongannya aja kayak cowok."
Adam mengerut dahi. Ia memperhatikan lagi wajah "pria itu". Dari sudut mana pun Ariel terlihat seperti pria. Apalagi namanya "Ariel".
"Kamu jangan bohong Eva." Adam terlihat sangsi.
"Mas bisa tanya sama mahasiswa yang ada di sini. Dia ini cewek."
Adam melihat sekitar. Beberapa orang mengangguk dengan ucapan Eva.
"Iya, Kak, dia perempuan, cuma tomboy," sahut seorang gadis yang sedang makan di meja berbeda. "Sehari-hari dia memang suka pakai baju begitu dan rambutnya belum pernah panjang."
"Dia sengaja potong rambutnya jadi pendek, sebab kalo panjang banyak yang godain," lanjut Eva lagi. "Aslinya kalo panjang, cantik lho, Mas! Aku udah lihat fotonya."
Sementara Adam memperhatikan lagi wajah Ariel, gadis tomboy itu ketakutan dan kembali bersembunyi di belakang punggung Eva. Eva tersenyum memandangi wajah suaminya dengan melipat tangan di dada. "Sudah lihatnya, atau Mas naksir Ariel juga?"
"Eh, tentu saja tidak. Istriku cuma kamu," jawab Adam salah tingkah. Namun, ia masih tak yakin "pria tampan" ini, apa benar perempuan?
Eva seperti bisa membaca pikiran suaminya. Ia kemudian memutar tubuhnya ke belakang menghadap Ariel. "Riel, coba foto kamu yang waktu itu, pinjem deh!"
Ariel mencarikan foto itu di ponsel dan menyerahkannya pada Eva. Eva lalu meneruskan pada Adam. "Nih, lihat kalo gak percaya." Gadis itu memperlihatkan foto Ariel yang berambut panjang pada suaminya.
Barulah saat itu Adam percaya. Ternyata Ariel saat berambut panjang sangat cantik. "Eh, maaf, Eva." Ia tertunduk.
Eva menurunkan ponsel Ariel dan menatap suaminya. "Jadi, Mas mata-matain aku ya."
Adam melihat sekeliling sambil meraih tangan sang istri dan berbisik di dekat telinganya. "Sudah, maaf. Jangan bikin aku malu di depan mahasiswa di sini."
Eva mendongakkan kepalanya dengan angkuh sambil menyentuh dagunya karena sedang mempertimbangkan.
Tiba-tiba tangan Ariel menyentuh lengan Eva. "Sudah, Eva. Aku gak papa, kok."
"Tapi tadi kamu ketakutan ...." Eva setengah hati memaafkan Adam karena pria itu telah membuat takut temannya.
"Sudah, gini saja." Adam kembali bicara. "Aku traktir kalian makan di sini, gimana?"
"Sekalian kami juga dong, Kak!" sahut mahasiswa yang lain menggodanya.
"Oh, boleh-boleh ...." Adam menyanggupi.
"Yeii!!" Beberapa mahasiswa yang ada di kantin itu bersorak. Mereka ramai berdiri bahkan ada yang menambah lagi pesanan.
Seorang mahasiswi menghampiri Eva dan menyenggol sikunya. "Makasih ya. Suamimu ternyata baik juga."
Eva tersenyum lebar. Ia menatap suaminya yang masih merasa bersalah. "Sudah, lain kali percaya aja padaku, kenapa sih Mas?"
"Iya, maaf." Adam menundukkan pandangan.
Ariel yang melihat wajah sangar Adam bisa bertekuk lutut pada Eva, ia merasa temannya ini memang luar biasa. Bahkan Eva sempat memarahinya karena memata-matai istri sendiri.
"Ariel."
Ariel terkejut. Ia tidak menyangka pria itu memanggil namanya. "Eh, ya?"
"Apa kamu bisa menemani kami belanja keperluan kampus untuk Eva?"
Ariel terlihat sungkan. Ia berusaha tersenyum dengan sopan walau tampak kaku. "Eh, aku bisa menuliskannya buat kakak."
"Aku akan sekalian belikan apa saja yang kamu mau, asal kamu mau temani Eva belanja. Soalnya aku tidak mengerti apa yang Eva perlukan untuk keperluan kampusnya," pinta Adam. Itu jalan satu-satunya meminta maaf pada Ariel karena ia telah berbuat kasar pada gadis itu tadi. "Aku mohon ya." Ia menyatukan kedua tangan.
"Ya?" Eva ikut-ikutan memohon. Ia senang suaminya mengajak Ariel ikut berbelanja.
"Bukan begitu. Kalian berdua 'kan ...." Mata Ariel menyipit karena bingung bagaimana menolaknya.
"Oh! Aku tahu maksudmu ...." Adam seketika tahu arah pembicaraannya. Apalagi kalau bukan segan pergi bersama dirinya. "Begini saja. Kita pergi ke mal dan kalian pergi berbelanja. Biar aku menunggu di kafe atau restoran saja."
"Tapi rasanya gak enak kalo Masnya nungguin kami." Ariel tak tega.
"Tidak apa-apa. Pria memang tercipta untuk menunggui istrinya."
Ariel melirik Eva. Ia merasa temannya itu beruntung mendapatkan suami yang baik seperti Adam. "Ya sudah ...."
"Ayo, sekarang dilanjutkan lagi makannya." Adam mengajak keduanya duduk kembali dan meneruskan makan siang mereka.
Eva memesankan Adam makanan dan pria itu tampak lega. Ternyata hanya karena Adam merasa dirinya tidak sempurna membuat pria itu begitu takut kehilangan Eva. Ketakutannya masih belum berkurang walaupun kejadian hari ini menunjukkan Eva setia. Namun, sampai kapan? Adam harus cepat sembuh sebelum Eva benar-benar lelah menantinya.
***
"Kalau aku tidak sembuh, apa kamu akan meninggalkanku?" Adam memainkan rambut istrinya yang panjang.
Eva yang sedang sibuk dengan ponselnya mendongakkan kepala menatap wajah suaminya. Setiap mau tidur, ada saja pembicaraan janggal yang diucapkan suaminya. Apa dia kelelahan, atau tidak merasa nyaman? "Kenapa tiba-tiba ngomongin ini sih, Mas?"
Adam meraih tangan istrinya dan menggenggamnya. Ia kemudian memberi sapuan lembut bibirnya pada jemari lentik Eva. "Aku sangat sayang padamu tapi kamunya terlihat biasa-biasa aja."
"Mas, jangan berlebihan, ah!"
"Aku mencintaimu, apa itu berlebihan?" Wajah Adam terlihat sendu.
"Berlebihan, saat menaruh mata-mata di kampusku. Berlebihan, sampai Mas mendamprrat temanku. Berlebihan, sa—"
"Ok, ok, ok," potong Adam. "Tapi seharusnya kamu mengerti, aku takut kehilanganmu."
"Bukannya Mas bilang, Mas percaya?"
"Iya, tapi susah prakteknya," kilah Adam lagi.
"Itu tandanya Mas gak percaya, padaku."
"Percaya, tapi ... Mas masih belum sempurna di matamu dan sampai sekarang kamu tidak bilang apa-apa mengenai ini."
"Apa-apa bagaimana?" Kini Eva menghadapkan wajahnya pada sang suami. Ia ingin tahu apa yang dipikirkan pria itu.
"Pendapatmu."
"'Kan aku bilang iya." Eva berusaha mengingat lagi apa yang pernah diucapkannya.
"Bukan "iya". Apa pendapatmu? Aku tidak mau jawaban "iya". Itu tidak pasti."
Eva bingung dengan permintaan suaminya. "Jadi aku harus jawab apa?"
"Apa kamu janji tidak akan meninggalkanku?"
"Iya."
"Bukan begitu ...." Adam terlihat kesal.
Eva kemudian meraih lengan suami agar fokus dengan yang akan diucapkannya. "Iya itu artinya aku aku sayang kamu. Iya itu artinya aku akan menunggumu, dan iya itu artinya aku akan setia."
Adam mendekap istrinya dengan hangat. "Eva, aku tak tahu apa yang akan aku lakukan bila tak ada kamu."
"Jangan mengkhawatirkan masa depan, karena belum tentu seburuk pikiranmu."
Adam menatap wajah istrinya yang masih belum sepenuhnya dewasa. Ia masih kecil, tapi ucapan merupakan sumber kehangatan hatinya. Gadis itu begitu bijaksana hingga kadang ia sendiri tak percaya Eva masih sangat muda.
Eva menyentuh brewok suaminya yang tebal. "Sudah, jangan berpikir yang tidak-tidak. Sebaiknya kita cepat tidur."
"Mmh."
***
Terdengar pintu diketuk. Shanti muncul dari balik pintu. Padahal masih pagi, tapi kenapa pagi-pagi sudah mendatangi ruang kerja Adam?
"Ada apa, Shanti?" Adam terpaksa menunda memeriksa berkas yang ada di hadapan.
Terlihat Shanti gugup. "Eh, aku ingin bicara tentang, Daddy."
"Iya?"
Melihat wajah Adam, entah kenapa Shanti menjadi ragu. "Eh, bagaimana ya."
"Ada apa?" Kini pandangan mata Adam lebih ramah. Biar bagaimanapun, Shanti adalah sepupu satu-satunya walaupun mereka tidak punya hubungan darrah.
Wajah Shanti seketika kaku. "Aku gak mau ngerepotin, Kakak," ucapnya hati-hati.
Adam sedikit heran. "Ada apa sih? Ada masalah yang gak bisa dipikir sendiri?"
Bersambung ....