Axel Rio terjebak bertahun-tahun dalam kesalahan masa lalunya. Ia terlibat dalam penghilangan nyawa sekeluarga. Fatal! Mau-maunya dia diajak bertindak kriminal atas iming-iming uang.
Karena merasa bersalah akhirnya ia membesarkan anak perempuan si korban, yang ia akui sebagai 'adiknya', bernama Hani. Tapi bayangan akan wajah si ibu Hani terus menghantuinya. Sampai beranjak dewasa ia menghindari wanita yang kira-kira mirip dengan ibu Hani. Semakin Hani dewasa, semakin mirip dengan ibunya, semakin besar rasa bersalah Axel.
Axel merasa sakit hati saat Hani dilamar oleh pria mapan yang lebih bertanggung jawab daripada dirinya. Tapi ia harus move on.
Namun sial sekali... Axel bertemu dengan seorang wanita, bernama Himawari. Hima bahkan lebih mirip dengan ibu Hani, yang mana ternyata adalah kakak perempuannya. Hima sengaja datang menemui Axel untuk menuntut balas kematian kakaknya. Di lain pihak, Axel malah merasakan gejolak berbeda saat melihat Hima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septira Wihartanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Our Deal Has Begun
POV : Kembali ke Jackson
Aku sadar di sebuah rumah sakit.
Aku tahu ini adalah kamar rumah sakit dari selang infus yang terancap di punggung tanganku, bau alkohol bercampur pewangi ruangan, serta alat-alat yang ada di samping tempat tidurku. Tampilan pemandangan luar jendela adalah beberapa gedung bertingkat dan langit berawan.
Di meja kecil samping tempat tidurku ada barang-barangku yang sudah ditata rapi.
Kulihat gedung di depan jendelaku dengan plang nama raksasa yang spektakuler.
Beaufort Co.
Gedung Beaufort Company.
Jadi kuasumsikan aku berada di daerah Kuningan.
Gila bener! Badanku remuk redam.
Gerak aja susah banget!
Sambil mendesis menahan nyeri, aku mencoba duduk.
Hari apa ini? Sudah berapa jam aku tak sadar?
Aku memulai duel di pagi hari, dan matahari masih terlihat bersinar, jadi kemungkinan aku hanya tak sadar beberapa jam saja.
GRAKK!
Pintu ruanganku dibuka.
Orang yang tidak kuharapkan, muncul.
Bukan hanya satu, tapi dua orang.
Devon dan Artemis.
“Widihh ‘ipar’ gue udah sadar aje, untung tadi kita nggak makan gado-gado dulu Tem.” sahut Devon sambil memelukku dan mengecup keningku.
Aku diam saja.
Kesal rasanya
Aku dipukul mundur dalam sekejab. Harus kuakui Devon ini sangat hebat, bahkan pukulannya lebih ‘tertata’ dibandingkan Artemis.
“Makan duluan juga nggak papa, paling ntar dia minta.” gumam Artemis sambil duduk di sofa depan jendela.
“Lo beneran udah tegang full kan? Bisa fokus kan lo? Ato ada bagian otak lu yang masih ngegantung di tengkorak? Ntar kita lem aja pake aibon.” si Devon berisik banget sih, emang caper nih laki.
Dia pikir aku robot plastik kali ya bisa dilem pake Aibon. Lagian apa sih yang dia maksud dengan 'tegang full'?!
“Lo itu jago strategi, tapi kalo soal fisik masih butuh latihan lagi.” sahut Artemis sambil membuka botol soda. Eh, tunggu. Dia ngomong ke aku nih? Serius dia bilang aku ‘Jago’?
Waduh…
Kenapa mulutku jadi senyum begini ya?!
“Kakak Ipar, lebih tepatnya. Hani kan adek gue. khehehe.” tenggorokanku kering banget ih.
“Bjir, udah gue alem-alem, makin songong aje lu. Hani pokoknya bakalan masuk KK gue!” Omel Devon.
“Bisa diubah identitas seluruhnya kalau Mawar tes DNA. Semua data diri jadi tidak sah. Tapi Hani bakalan jadi incaran Erick Sutjandra. Mau?” sahutku menakut-nakutinya sambil meraih botol air mineral dan menyesapnya perlahan. “Serius nih kita panggil dia Mawar? Udah kayak nama cewek di KTV tau nggak lo?!”
“Dah gue bilang kan Von! Banyak di sana yang pake nama Mawar atau Rosa!” sahut Artemis.
“Ya gue nggak pernah main ke tempat gituan, gue yang level club!” seru Devon. Sok-sok'an banget sih?
“Secara nggak langsung lo sekalian ngehina gue, bangke.” gumam Artemis.
“Di KTV tarifnya jauh lebih murah, servisnya lebih enak daripada di pub.” sahutku.
ini spontan aja.
tapi Artemis dan Devon malah terbahak mendengarku.
“Gue setuju!” seru Artemis.
“Gue cerita ah ke Hani.” sahut Devon. "Abang-abangan kamu nih suka main LC ternyataaa..." sahutnya sambil berlagak mengetik.
“Sound sistemnya maksud gue.” ralatku.
“Ngemeng aje teros!” Devon mengeplak kepalaku.
“Tapi gue akui sih, gue tau teknik malah dari cewek-cewek seperti mereka.” aku menyandarkan tubuhku dan mengingat masa laluku. “Mereka… hanya berniat cari nafkah untuk anak-anak mereka. Terkadang pekerjaannya malah lebih berat daripada tarifnya. Udah gitu banyak yang nggak safety, malah banyak yang nawar segala. Mereka nggak cari kesenangan di sana, bahkan sebagian besar memiliki pekerjaan sampingan di pagi hari. Ekonomi jaman sekarang nggak bisa kalau harus bertahan hanya dari satu pekerjaan. Beda dari cewek club yang memang targetnya gadun atau cowok kaya yang bersih dan wangi…”
“Udah stop, gue udah tau.” gumam Artemis. “Lily kami angkat dari tempat semacam itu, jadi gue tahu banget penderitaannya dulu.”
“Karena itu lo kejar dia…” kataku. “Kenapa lo tinggalin dia waktu itu?”
“Yah…” Artemis hanya menarik nafas panjang.
“Dia dalam kondisi diserang banyak pihak. Dia nggak ingin Lily terlibat. Jadi dia sengaja cari masalah biar mereka putus, eh Lilynya nggak gentar malah mau ikut. Akhirnya terpaksa dia… KDRT.” Devon berbisik padaku saat kalimat terakhir.
“Terus… lo masih hidup sampai sekarang, siapa yang nyelametin lo?” tanyaku ke Artemis.
“Bapak turun tangan langsung.” kata Artemis.
Sekuat itu Damaskus? Aku sepertinya harus cari tahu cerita semacam ini sebanyak mungkin. Banyak pelajaran yang bisa aku ambil untuk menghadapi dunia gelap yang kini kujalani ini.
“Nih, Selamat ya Bocah.” Artemis berjalan ke sebelahku sambil menyerahkan Name Tag.
Name Tag dengan namaku di sana!
Dan bagaimana dia bisa ambil fotoku versi ganteng gini?
Eh… itu kan aku saat memakai batiknya Devon, saat hari pernikahan Hani!
Perasaan aku tidak melihat Artemis di KUA kemarin?
Benar juga feelingku, aku dimata-matai setiap saat…
“Woaaah…” gumamku sambil mengagumi Name tag transparan dengan garis-garis sensor. Dengan foto dan namaku tertera di sana. Jackson AR.
Jackson Axel Rio.
“Iya sebagai gantinya sesuai kesepakatan, brankas lu kita pindahkan ke Gedung Praba Grup pusat." kata Artemis.
“Heh…” aku mendengus sinis. Ternyata mereka memang memata-mataiku sejak awal. Sampai tahu letak brankasku segala.
Devon duduk sambil melipat kedua tangannya di depan dadanya, “Ada beberapa hal yang tampaknya harus lu simpan sendiri Bro, karena Bapak nggak mau ikut-ikutan. Dan Memang harusnya disembunyikan selamanya, biarlah jadi rahasia atau negara ini bakal kacau. Sementara informasi dan dokumen yang kami butuhkan sudah kami amankan. Nilainya ratusan Triliun.”
“Nilai ancamannya. heheheh.” kekeh Artemis.
“Akhirnya…” aku pun menghela nafas lega. “Akhirnya beban gue berkurang.”
aku mengalungkan nametag itu di leherku dan bersandar sambil menatap ke arah lampu di atasku. “Selama ini setiap gue ngeliat pejabat-pejabat itu masuk berita, yang ada di benak gue hanya gimana caranya gue bisa ngelindungin Hani dari dunia yang gila ini. Gue tahu masing-masing aib mereka, dan itu nggak kaleng-kaleng. Nakutin tau nggak?”
Dibandingkan kejahatan Artemis dan lainnya, yang para pejabat pejabat itu lakukan malah jauh lebih jahat lagi. Mereka bekerjasama dengan oknum aparat dan tentara, dan kagetnya, oknumnya satu instansi. Siapapun yang jadi Presiden, sejujur jujurnya jadi menteri, kalau bawahnya begitu ya tetap saja janji yang mereka haturkan saat kampanye tak akan terlaksana.
Individu sepertiku tak akan bisa menguaknya, walau pun aku tahu didukung bukti yang valid. Yang ada hidupku malah terancam.
Tapi kalau instansi yang kuat seperti Prabasampurna ini, malah suatu keuntungan besar.
“Kami akan membagi dokumen dengan Beaufort, Garnet, dan Jarvas. Karena tidak mungkin kami tanggung sendiri rahasia itu.” Devon menunjuk gedung di depanku dengan dagunya. “Kami sendirian tidak cukup kuat. Tapi kalau bersatu dengan perusahaan lain, kami akan menggerakkan negara ini bersama-sama.”
aku pun mengangguk.
bayangkan seberapa besar rahasia yang ‘kuamankan’ selama ini?
eh, tapi untung saja Baron dan Ivander datang duluan ya.
Kalau terlambat sedikit saja bisa-bisa mereka diamuk sama Pak Damaskus gara-gara aibnya ketahuan. kehehehee.
Devon mengangkat tangannya ke arahku, “Sesuai kesepakatan, lo nggak boleh ketemu Hani, kecuali…”
“Ada kecualinya toh?” desisku.
“Kecuali dia yang minta sendiri untuk ketemu lo.” geram Devon.
“Iya.” kujawab saja begitu deh.
“KK Hani bakal gue pindahin ke KK gue.”
“Iyaaaa,” gumamku malas sambil mengagumi Name Tag baruku.
“Kita bersedia bantu untuk Irvin dan Erick Sutjandra. Bapak ada urusan sama si Erick-Erick ini soalnya. Lo tapi bakalan di penjara sementara.”
Aku mengangguk sekilas “Iyaaaaa, 3 tahun aja kan?”
“5 tahun bang sat. Enak aje lu nawar. Harusnya kejahatan berencana itu seumur hidup loh! Remisi berapa tahun tuh!” seru Devon sambil menoyor kepalaku.
“Mau nitip apa di penjara?” tanyaku. Pasti aku ada misi tertentu di sana, perusahaan macam begini nggak mungkin bisa ngeliat karyawannya nganggur.
Devon dan Artemis saling lihat dan menyeringai. “Ada Napi yang sulit kita deketin, dia harusnya bakalan direkrut Praba Grup. Itu jadi tugas lo selama 5 tahun.”
“Dan kenapa ‘dia’ ini penting?”
“Dia… anaknya Pak AlBattar. Yang benci banget sama bapaknya.”
“Hah?” aku tampaknya akan dihadapkan dalam konflik keluarga lagi.
"Kita butuh yang lidahnya bercabang kayak lu. Maslaahnya tuh anak juga benci Devon. Lo berdua kan benci Devon, siapa tahu bisa akrab." Artemis mesem-mesem.
"Gue aja heran lu bisa akrab sama ular kadut ini." aku melirik Devon sinis.
“Gue spek piton loh." sahut Devon. Apanya coba?!
"Nanti detail kita meetingin, oke. Lu siap-siap aje bakal jadi budak si Mawar selama beberapa saat. Oh iya, betewe, lo udah pingsan selama 3 hari. Lemah bener sih lo, gue tampar aja bisa koma 3 hari.”sahut Devon sambil memijit hidungku.
Sial…
Harga diriku Nol di depan si Devon.
naj** gil**
axel:🤢🤢🤢🤮