Ada cowok yang pikirannya masih di zaman batu, yang menganggap seks cuma sekedar kompetisi. Semakin banyak cewek yang ditiduri, maka semakin jantan dia.
Terus ada juga yang menganggap ini cuma sebagai salah satu ajang seleksi. Kalau goyangannya enak, maka mereka bakal jadian.
Ada lagi yang melihat ini cuma buat kesenangan, tanpa perlu ada keterikatan. Ya, melakukannya cuma karena suka. Sudah, begitu saja.
Dan ada juga cowok yang menganggap seks itu sesuatu yang sakral. Sesuatu yang cuma bisa mereka lakukan sama orang yang benar-benar mereka sayangi.
Nah, kalau gue sendiri?
Jujur, gue juga nggak mengerti. Gue bahkan nggak tahu apa arti seks buat gue.
Terus, sekarang gue ada di sini sama Carolline?
Gue baru kenal dia, jadi gue nggak ada niatan buat tidur sama dia. Tapi kalau soal bikin dia puas?
Itu cerita lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tukang Ribut
Gue ambil langkah maju. "Kita lagi ngobrol, lo bisa balik ke dalam?"
Cowok itu melirik gue, matanya penuh perhitungan, lalu dia turun satu per satu anak tangga, gerakannya sengaja diperlambat sampai akhirnya dia berdiri pas di depan gue.
"Asta Batari, ya?" Nada suaranya kayak jijik banget menyebut nama gue. "Gue nggak tahu apakah karena lo jadi anak orang kaya bikin lo merasa superior dan bisa ikut campur urusan orang lain. Tapi di sini, bukan gitu cara mainnya."
Dia nyengir sinis sebelum lanjut.
"Dan sikap lo ini menjelaskan kenapa lo sampai masuk berita sebagai ‘anak yang digebukin di area kampus.’"
Gue merasa darah gue mulai mendidih.
"Lo ngancem gue?"
Tapi sebelum gue bisa ngelakuin apa-apa, Phyton buru-buru menyelip di antara kita, mukanya kelihatan panik.
"Ayo masuk,…" Phyton merayu cowok itu, suaranya rendah, penuh harap.
"Kita nggak harus ke mana-mana." jawab cowok itu datar. "Yang harus pergi itu dia."
Phyton langsung nengok ke gue, matanya penuh kekhawatiran, kayak minta tolong. Dan itu bikin dada gue berat banget.
"Asta, balik aja ke pesta. Gue bisa ngurus ini sendiri."
"Lo mau gue ninggalin lo di sini?"
Gue nyaris nggak percaya sama yang baru dia bilang. Cowok itu tiba-tiba dorong Phyton ke samping, bikin dia goyah sedikit sebelum kembali seimbang.
"Siapa lo sampai Phyton harus minta izin ke lo?"
Gue memperhatikan dia dengan tatapan tajam.
"Siapa lo sampai harus ngontrol dia 24 jam?"
"Gue pacarnya, tolol."
"Terus?"
Dia mendecak, kelihatan kesal. "Gue punya hak penuh karena kita pacaran."
Gue ketawa sinis. "Kalau konsep hubungan lo kayak gitu, lo benaran kacau."
"Apa pun yang terjadi antara gue sama Phyton, itu bukan urusan lo!" Suaranya lebih dingin, dan dia maju selangkah, berusaha pakai tinggi badannya buat nakutin gue. "Balik ke dalam, sekarang."
"Nggak mau."
Dia kelihatan makin tegang, tangan di sampingnya mengepal erat. "Sekarang gue mengerti kenapa lo sampai babak belur waktu itu." Dia mendesis pelan, matanya penuh kebencian.
Phyton buru-buru naruh tangan di dada cowok itu, mencoba nenangin. "Please… ayo pulang aja."
Cowok itu melepas tangan Phyton dengan kasar, tapi nggak langsung pergi. Gue melihat Phyton buru-buru mengeluarkan ponselnya, tangannya gemetar pas dia nelpon seseorang.
"Gue cuma nunggu satu kata lagi dari lo buat ngebanting muka lo ke aspal. Sayang banget ya, lo baru aja sembuh, tapi bentar lagi bakal ancur lagi."
Gue memperhatikan dia tanpa takut. "Sedikit pun lo nggak nakutin gue."
Tiba-tiba, pintu rumah terbuka. Musik dari dalam langsung menggema keras ke luar.
Musik dari dalam rumah tiba-tiba lenyap begitu saja, pintu ditutup lagi sama seseorang dari dalam. Lalu ada suara langkah cepat di tangga. Dalam hitungan detik, seseorang berdiri di antara gue dan cowok itu, punggungnya menghadap gue.
Gue langsung mengenali rambut pirangnya, aroma citrus yang samar-samar tapi nenangin.
Selma.
"Lo lagi ngapain, hah?" Suara Selma dingin dan tajam, nggak ada sedikit pun nada santai kayak biasanya.
Gue kaget.
Dia kenal orang ini?
Cowok itu cuma mendecak kesal, lalu mundur dua langkah sambil angkat tangan kayak nyerah.
"Ah, Phyton, lo nggak perlu sampai manggil si tukang ribut ini."
Selma sama sekali nggak goyah. "Satu perkelahian lagi, dan lo tahu bakal ke mana ujungnya."
Nada ancamannya begitu datar tapi tegas, bikin gue tanpa sadar lihat ke arah Phyton. Dia diam saja, matanya tajam tapi ekspresinya susah ditebak.
"Gue tunggu di dalam, Phyton."
Cowok itu akhirnya memutar badan dan pergi, ninggalin gue yang masih bengong, nggak mengerti apa yang barusan terjadi.
Selma akhirnya berbalik menghadap gue, dia mengeluarkan napas panjang sebelum senyum hangat ke gue. "Maaf ya, Asta."
Gue masih bingung setengah mati. "Apa yang barusan terjadi? Kenapa dia langsung nurut sama lo?"
Senyumnya agak memudar, pandangannya geser ke samping, memikirkan sesuatu sebelum akhirnya jawab pelan, "Namanya Melvin. Dan dia… kakak gue."
cobalah utk hidup normal phyton
𝚜𝚊𝚕𝚞𝚝 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊,𝚠𝚊𝚕𝚊𝚞𝚙𝚞𝚗 𝚖𝚊𝚕𝚟𝚒𝚗 𝚔𝚊𝚔𝚊𝚔𝚗𝚢𝚊 𝚝𝚊𝚙𝚒 𝚍𝚒𝚊 𝚝𝚍𝚔 𝚋𝚎𝚕𝚊𝚒𝚗 𝚔𝚊𝚔𝚊𝚔𝚗𝚢𝚊,𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊 𝚖𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚗𝚐𝚎𝚍𝚞𝚔𝚞𝚗𝚐 𝚙𝚑𝚢𝚝𝚘𝚗
𝚜𝚎𝚖𝚊𝚗𝚐𝚊𝚝 𝚍𝚘𝚗𝚐 🥰🥰
𝚜𝚖𝚘𝚐𝚊 𝚌𝚘𝚌𝚘𝚔 𝚢𝚊 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊 🥰🥰
𝚜𝚎𝚖𝚘𝚐𝚊 𝚍𝚐𝚗 𝚊𝚍𝚊𝚗𝚢𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊 𝚔𝚊𝚖𝚞 𝚋𝚒𝚜𝚊 𝚗𝚎𝚖𝚞𝚒𝚗 𝚓𝚊𝚝𝚒 𝚍𝚒𝚛𝚒 𝚔𝚊𝚖𝚞 𝚍𝚊𝚗 𝚕𝚞𝚙𝚊𝚒𝚗 𝚟𝚎𝚢..𝚐𝚊𝚔 𝚜𝚎𝚝𝚞𝚓𝚞 𝚔𝚕𝚘 𝚊𝚜𝚝𝚊 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚟𝚎𝚢