Alvaro Ardiwinata adalah seorang remaja berusia 16 tahun yang terlahir dari keluarga kaya. Namun, meskipun hidup dalam kemewahan, dia merasa tidak pernah menjadi bagian dari keluarga tersebut. Dia lebih dianggap sebagai "anak pelayan" oleh kedua orangtuanya, Jhon dan Santi Ardiwinata. Setiap kesalahan, besar atau kecil, selalu berujung pada hukuman fisik. Meskipun ia berusaha menarik perhatian orang tuanya, mereka tidak peduli padanya, selalu lebih memperhatikan adiknya, Violet. Violet yang selalu mendapat kasih sayang dan perhatian lebih, tapi di balik itu ada rasa iri yang mendalam terhadap Alvaro.
Sementara itu, Alvaro berusaha menjalani hidupnya, tapi luka psikologis yang ia alami semakin mendalam. Saat ia beranjak dewasa, ia merasa semakin terasingkan. Tetapi di balik penderitaan itu, ada harapan dan usaha untuk menemukan siapa dirinya dan apakah hidup ini masih memiliki makna bagi dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wèizhī, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 13
—-
Setelah beberapa hari Alvaro sadar. Remaja manis itu tak mengeluarkan bunyi apapun, ia hanya menatap kosong kearah depannya dan saat terbaring, langit-langit rumah sakitlah yang ia tatap kosong. Semuanya hanya dapat maklum dan mencoba berbicara dengannya walau itu hal yang percuma karena Alvaro tak menjawabnya.
“Panas… kenapa tak turun hujan?…,” batin Alvaro sembari ia menatap keluar jendela.
Hari ini memang panas, sepertinya musim panas akan segera datang karena hujan sudah jarang turun. Alvaro lalu menatap kearah Xavier yang tengah tertidur di sampingnya. Posisi itu terlihat tak nyaman, Xavier tidur dengan posisi ia duduk dan menenggelamkan kepalanya di tangan Alvaro.
“Apa dia baik-baik saja?…,” gumam Alvaro merasa khawatir.
Alvaro sebenarnya bukan tak mendengar semuanya, ia hanya sudah tak berharap tapi orang-orang ini selalu memberinya kata penenang dan semangat. Alvaro lalu menghela nafasnya ringan dan ia melihat sekelilingnya, tak ada siapapun kecuali Xavier dan Angga yang tertidur, mungkin mereka lelah karena terus menjaganya.
Alvaro ingin bangun dan keluar namun tak bisa. Kakinya sulit digerakkan, bukan lumpuh tapi seperinya ia sudah terlalu lama tak sadarkan diri atau bisa dibilang koma. Alvaro menatap kearah Xavier dan ingin membangunkannya. Namun sulit baginya untuk bersuara.
“Apa mereka tak bisa mendengar pikiranku saja? Aku tak ingin bersuara, sakit rasanya.,” batin Alvaro sembari ia menyentuh rahangnya dengan ujung jarinya.
Alvaro tak bisa apapun, ia bahkan tak ingin bersuara, ia tak ingin berjalan, karena semuanya memang sulit dilakukan saat dalam kondisi seperti ini.
Alvaro bahkan kesulitan membuat gerakan kecil, namun otaknya tak bisa berhenti berfikir. Ia melihat sebuah gelas kaca di atas nakas di samping ranjangnya. Ia lalu mencoba meraih gelas tersebut dan…
PRANGGGG!!!!!!-
Suara yang begitu kacau sehingga membuat Angga dan Xavier terbangun dari tidur mereka. Xavier lalu menatap Alvaro dan ia menangkupkan kedua tangannya di wajah Alvaro.
“Kau tak apa? Apa ada yang terluka?,” tanya nya khawatir.
“Ada apa? Kenapa ada pecahan? Bagaimana dengan Alvaro, dia baik-baik saja, kan?,” tanya Angga beruntun pada Xavier.
Alvaro hanya mengangguk untuk pertanyaan yang mempertanyakan keadaannya. Xavier dan Angga lalu menghela nafas lega. Setelah itu Angga keluar dan memanggil bawahannya yang berjaga untuk membersihkan serpihan-serpihan kaca itu.
Setelah semuanya selesai, kini keduanya beralih ke Alvaro. Ia tak bodoh untuk mencari tahu siapa yang membuat kekacauan. Tapi ia tak marah, justru ia malah senang dan tersenyum. Hal itu membuat Alvaro bingung, bukankah seharusnya Xavier marah?
“Apa kau menginginkan sesuatu, Alvaro?,” tanya Xavier sembari tersenyum hangat
“Benarkah? Kau yang memecahkan gelas itu? Kenapa tak membangunkan dengan ramah saja? Aduh, bagaimana jika kau terluka?“ Tampak sepertinya Angga lebih lemot tapi tak terlalu juga.
Alvaro diam, dan itu membuat keduanya saling bertukar pandang. Apakah perkiraan Xavier tadi salah? Apakah sebenarnya Alvaro hanya tak sengaja menjatuhkannya dan ingin minum?
“Aku akan mengambilnya!,” ucap Angga yang lalu pergi keluar dari kamar.
Alvaro memandang bingung Angga. Ia menatap pintu itu lama dan lalu Angga kembali dengan segelas air minum ditangannya.
“Ini? Kau ingin minum, kan?“ Angga menyodorkan gelas tersebut pada Alvaro namun ditolak mentah-mentah. Bukan ini yang Alvaro inginkan.
“Aku bosan.. Ugh…,” ringis Alvaro, ia merasa sakit pada lehernya. Xavier langsung memeriksa hal tersebut, sepertinya Alvaro merasa keram dibagian leher dan suaranya jadi tertahan.
“Kau bosan, hm? Perlukah kita mencari udara segar?,” tanya Xavier penuh perhatian. Alvaro hanya menganggukan kepalanya tanda ia setuju.
“Baiklah, tapi kau harus diperiksa terlebih dahulu. Rahangmu sakit, itu dapat menimbulkan masalah jika kita membiarkannya” ucap Xavier, pupus harapan Alvaro. Ia menatap datar Xavier dan lalu memalingkan wajahnya kearah lain.
“Hahah! Adik kita merajuk.,” ucap Angga dengan tawa senangnya, tapi Alvaro tetap tak ingin menatap mereka. Bahkan ia tak berniat menggubris hal tersebut.
“Dasar orang aneh!,” batinnya kesal.
Tak lama dokterpun datang dan terjadilah pemeriksaan. Semuanya normal dan tak ada yang aneh. Xavier mengambil kursi roda dan membantu Alvaro untuk duduk disana. Lalu mereka bertiga pun akhirnya keluar dari tempat pengap itu dan Alvaro dapat menghirup udara segar di taman rumah sakit.
Alvaro memasang senyumannya, ia terlihat senang dapat keluar. Xavier dan Angga pun ikut tersenyum, setidaknya Alvaro dapat terbuka sedikit demi sedikit. Tak mudah untuk menghapus trauma dimasa lalu, namun kita dapat menutupinya dengan kenangan indah masa kini dan masa depan, kan? Itu harus dicoba tentunya. Namun juga bukan hal mudah.
Alvaro melihat seorang anak kecil dengan seragam pasiennya. Anak itu tertawa bahagia bersama ibu dan ayahnya yang menemaninya. Ia merasa iri namun juga kasihan karena anak sekecil itu memiliki penyakit. Anak itu terlihat pucat dan dia juga menggunakan kursi roda sama seperti Alvaro. Sepertinya penyakitnya bukanlah penyakit sepele.
“Ada apa, hm?,” tanya Xavier sembari membungkukkan tubuhnya agar ia dapat sejajar dengan wajah Alvaro.
Alvaro yang ditanya hanya bisa menggeleng saja. Ia tak berniat berbicara saat ini. Alvaro lalu menundukkan kepalanya, apakah merasa iri pada anak yang sakit adalah tindakan tak baik? Tapi rasa iri memang tak seharusnya ada. Alvaro sadar akan hal itu dan lalu ia menepis jauh-jauh perasaan tersebut.
Namun, keinginannya untuk mendapat sedikit kehangatan dari keluarga tak akan pernah hilang. Xavier dan Angga mendapati perubahan ekspresi Alvaro. Mereka saling tatap dan lalu berjongkok di samping sisi kanan dan kiri Alvaro. Angga memetik bunga liar dan memberikannya untuk Alvaro.
Alvaro hanya diam menerima, ia bingung dan ingin melihat apa yang sedang dilakukan kedua kakak kelasnya itu.
“Alvaro, kau adik kami dari saat pertama kali kita bertemu sampai akhir nanti.,” ucap Angga dengan senyuman hangatnya.
“Dan akhir itu, tak akan pernah ada” ucap Xavier melanjutkan kalimat Angga.
Mereka tersenyum hangat, Alvaro dapat merasakan kehangatan itu. Ia lalu menggenggam setangkai bunga tersebut dan air mata mulai mengalir keluar. Alvaro menghirup wangi bunga tersebut. Ia merasa terharu dan nyaman dengan hal ini. Xavier mengusap air mata itu dengan sapu tangan dan mengusap surai hitam milik Alvaro dengan penuh perhatian.
“Bunga nya bau” ucap Alvaro pelan karena ia masih merasa sakit di rahangnya. Sontak kalimat itu membuat Xavier mengambil bunga tersebut dan membuangnya jauh.
“Kenapa kau memberikan bunga Taik Ayam, pada adik bungsu kita, hah?!“ Xavier tampak menatap kesal kearah kembarannya itu.
“Bunga Taik Ayam?!“ Sontak Angga langsung mengendus kedua tangannya dan lalu ekspresinya berubah kecut.
“Iewhhhh… hoek!,” Angga tampak memuntahkan sesuatu yang bening dan hal tersebut membuat Alvaro jijik melihatnya.
Ya siapa coba yang gak jijik lihat orang muntah?!.
“Rasanya pengen ngilang aja” batin Alvaro.
“Anak itu, tak tahan bau busuk dan malah memegang bunga aneh itu. Hadehhh… kepalaku,” gerutu Xavier sembari memegang kepalanya.
Alvaro yang melihat tingkah kedua 'Abang' nya itu terkekeh geli, meski sedikit tapi ia bisa tertawa. Hal itu tak lepas dari Xavier dan Angga, keduanya tersenyum cerah melihat perubahan suasana hati Alvaro. Usaha mereka membuahkan hasil. Sedikit demi sedikit, Alvaro akan segera terbuka dengan mereka.
...✧✧✧✧✧...
Alvaro's Diary
Hari ini benar-benar hari yang cerah. Meski panas sih. Aku memiliki Abang, dan mereka baik. Semoga saja… aku bisa terus merasakan kehangatan ini… aku menginginkannya. Apakah itu terlihat serakah? Meskipun begitu, aku sungguh menginginkannya walaupun di cap sebagai orang serakah pun aku tak masalah. Sungguh… aku tak masalah.
...✧✧✧✧✧...
...End Of Chapter 13 ...
...✧✧✧✧✧...