Kael Draxon, penguasa dunia bawah yang ditakuti dan dihormati pada masa nya. Namun, di puncak kekuasaan nya, Kael Draxon di khianati oleh teman kepercayaan nya sendiri, Lucien.
Di ujung kematian nya, Kael bersumpah akan kembali untuk balas dendam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon asep sigma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Markas Hancur
Langit malam membentang kelam dalam keheningan, diterangi oleh cahaya bulan pucat yang mengintip dari balik awan. Kael, Elira, Iris, Taron dan Edgar berangkat menuju tempat yang sudah mereka tentukan di rapat tadi sore. Sedangkan anak buah Edgar ditugaskan untuk menjaga markas mereka.
Udara terasa dingin, dan suasana begitu sunyi. Hanya suara angin malam yang berhembus di antara bangunan-bangunan kosong. Di dalam van hitam milik Edgar, Iris sedang sibuk memainkan perannya. Matanya terfokus pada layar di depannya dan mengetik dengan cepat, mencari kecacatan informasi dan membobol sistem keamanan Pabrik Lothar Industries.
"Kau terlihat sangat serius Iris, apakah ada sebuah kesalahan atau kesulitan?" tanya Taron penasaran.
"Tidak ada kesalahan maupun kesulitan saat ini," jawab Iris dengan matanya masih terfokuskan ke layar monitor yang berada di depannya. "Kode-kode keamanan mereka memang rumit, namun ini lebih mudah daripada sistem keamanan yang berada di gedung pusat perusahaan Lothar Industries."
Taron yang mendapatkan jawaban itu hanya ber 'oh' ria.
Tak lama kemudian. Kael dan teman-temannya sampai di tempat yang sudah mereka bahas di markas. Yap, terowongan bekas pembuangan limbah pabrik Lothar Industries.
Mereka berdiri di depan terowongan itu, kalau di deskripsikan tempat itu adalah tempat yang sangat bau, gelap dan menjijikan. Mereka yang dalam kondisi normal, pasti tidak akan mendekati tempat yang seperti ini. Namun, karena tak ada pilihan dan jalan lain dengan terpaksa mereka harus melewati jalan ini.
Kael berdiri di depan teman-temannya, memperhatikan terowongan itu dan berbalik menghadap mereka.
"Baik, dengarkan aku," katanya, menatap mereka satu per satu. "Aku yang akan masuk sendirian."
Elira langsung menegang. "Apa? Tidak, itu terlalu berbahaya!"
Taron ikut membantah. "Kael, kita tidak tahu apa yang ada di dalam sana. Kau butuh backup."
Kael menghela napas. "Justru karena kita tidak tahu apa yang ada di dalam, aku harus masuk sendirian. Jika kita semua masuk, risiko ketahuan akan lebih besar. Aku bisa bergerak lebih bebas tanpa menarik perhatian."
Edgar menyilangkan tangan di dada, mempertimbangkan usulan itu. "Kau yakin bisa menangani ini sendiri?"
Kael mengangguk mantap. "Iris akan membimbingku dari sini. Jika terjadi sesuatu, aku akan mengirim sinyal."
Iris masih terlihat ragu, tapi akhirnya dia mengetik sesuatu di laptopnya. "Baiklah. Aku akan memantau pergerakanmu lewat blueprint yang kutemukan di sistem lama pabrik. Tapi ingat, jangan gegabah."
Kael menatap mereka dengan percaya diri. "Aku akan kembali dengan informasi yang kita butuhkan."
Kael memasuki terowongan tersebut dengan percaya diri. Saat memasukinya, bau dari bekas limbah pabrik semakin terasa menyengat. Terowongan itu lebih gelap dari yang ia kira. Kael menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah lebih dalam, meninggalkan rekan-rekannya di belakang.
...****************...
Di markas Edgar. Suasananya terlihat tenang dan damai.
Di dalam ruangan utama, beberapa anggota duduk santai di sekitar meja , menikmati makanan dan mengobrol pelan. Ada yang sibuk membersihkan senjata, ada yang sekedar mengistirahatkan tubuh mereka setelah berhari-hari dalam ketegangan.
"Aku harap bos dan yang lainnya berhasil dalam operasi kali ini," ucap si pria botak, menyenderkan tubuhnya ke kursi. "Kalau mereka berhasil, setidaknya kita sudah semakin dekat pada kehancuran Cobra Zone."
Yang lain mengangguk, beberapa tampak optimis. Tapi sebelum ada yang bisa menjawab, lampu di markas tiba-tiba berkedip dua kali... lalu padam sepenuhnya.
"Hah? Apa yang terjadi?" Salah satu anggota berdiri, menatap sekeliling dengan dahi berkerut.
Kemudian—
DUARR!
Pintu depan meledak.
Ledakan keras itu mengguncang seluruh ruangan, membuat debu dan serpihan kayu beterbangan kemana-mana. Asap hitam memenuhi udara, dan sebelum siapapun bisa bereaksi—tembakan otomatis meletus dari luar.
DOR! DOR! DOR!
Teriakan kesakitan dan erangan menggema di dalam markas.
"SERANGAN!" seseorang berteriak, sebelum suara mereka tenggelam oleh letusan senjata.
Dari dalam asap, pasukan bersenjata Cobra Zone menerobos masuk. Mata mereka tertutup helm taktis, tubuh mereka dibalut rompi anti peluru. Mereka tidak datang untuk memperingatkan. Mereka datang untuk membantai.
Seorang anggota markas mencoba mengangkat senjatanya, tapi sebelum bisa menarik pelatuk—peluru menghantam dadanya.
"ARGHHH!"
Tubuhnya jatuh ke lantai, darah mengalir dari tubuhnya.
"LARI! KELUAR DARI SINI!"
Beberapa anggota berusaha kabur lewat lorong belakang, tapi Cobra Zone sudah mengepung dari segala arah.
Ledakan kedua mengguncang ruangan, menghancurkan sebagian dinding dan membuat beberapa orang terlempar ke belakang.
Suasana yang awalnya tenang berubah menjadi neraka dalam hitungan detik.
Di tengah kekacauan, seorang pria dengan luka di pelipisnya berlari ke arah pintu keluar belakang. Napasnya tersengal, matanya di penuhi ketakutan. Dia harus memberi tahu Edgar.
Di belakangnya, pasukan Cobra Zone terus bergerak maju, menembaki siapa pun yang masih hidup.
Ketika pria itu berhasil mencapai pintu keluar dan keluar ke gang sempit di luar markas, api mulai menjilati bangunan di belakangnya.
Markas Edgar... hancur.
Tangannya gemetar saat mengeluarkan ponsel dari sakunya, menekan nomor Edgar dengan buru-buru.
Satu dering. Dua dering. Tiga dering.
"Angkat, sialan!"
...****************...
Di sisi lain, di dalam van hitam yang terparkir di dekat terowongan bawah tanah, suasana terasa sunyi. Taron, Elira, Iris dan Edgar duduk dengan tegang, menunggu kabar dari Kael yang sedang menyusup ke dalam Pabrik Lothar Industries.
Iris duduk di kursi belakang, matanya terpaku pada layar laptopnya, memantau jalur keamanan pabrik. Taron menggenggam pisau lipatnya, mengetukkan ke paha dengan gelisah. Sementara Elira terus menatap ke luar jendela, berharap melihat Kael muncuk dari dalam pabrik kapan saja.
"Kenapa lama banget? Harusnya dia udah ngasih kabar," gumam Elira, menggigit bibir bawahnya.
Edgar, yang duduk di kursi pengemudi, hanya menghela napas berat. "Kita tunggu saja. Zayne tahu apa yang dia lakukan."
Namun, sebelum ada yang bisa menanggapi, ponsel Edgar tiba-tiba berbunyi.
Nada dering itu terdengar lebih keras dari biasanya dalam suasana tegang seperti ini. Edgar segera mengangkatnya.
"Halo?"
Di ujung sana, suara napas tersengal terdengar jelas. Seperti suara seseorang yang sedang panik dan ketakutan.
"B-Bos...... M-Markas kita... Mereka.... Mereka menyerang."
Jantung Edgar langsung berdegup kencang.
"Apa?"
"Cobra Zone! Mereka tahu lokasi kita! Mereka datang dengan pasukan bersenjata! Aku—AKH!!"
Terdengar suara tembakan di latar belakang, disusul teriakan orang-orang yang berusaha melawan atau kabur.
"SIALAN!" Edgar mengepalkan tangannya, matanya membelalak marah. "Dimana kau sekarang?"
"Aku-aku berhasil keluar dari belakang! Tapi yang lain.... Mereka banyak yang tertembak! Mereka... Mereka membantai kita, bos.... aku engga tahu harus kemana!"
"Dengar aku," Edgar berkata dengan suara tegas, meskipun dadanya terasa sesak. "Jangan kembali ke markas. Cari tempat aman, dan aku akan menghubungimu nanti. Bertahanlah."
"Baik, bos... tapi.." suara di telpon mulai bergetar. "Mereka... Mereka membakar tempat kita."
Edgar membeku.
"Apa?"
"Markas... Mereka membakarnya, bos... Habis. Semua..."
Terdengar suara ledakkan di kejauhan, lalu sambungan terputus.
Edgar hanya bisa menatap layar ponselnya dengan rahang mengatup rapat.
Sementara itu, Taron, Elira dan Iris menatapnya penuh tanya, meskipun mereka sudah bisa menebak jawabannya.
Markas kita..." suara Edgar berat, seakan sulit keluar dari kerongkongannya. "Hancur."
Elira menutup mulutnya, matanya membelalak tak percaya.
Iris yang awalnya sibuk dengan laptopnya kini hanya menatap kosong. "Bagaimana mereka bisa tahu tempat kita...? Kenapa..?"
Taron mengepalkan tangannya. "Sial! Berarti sekarang kita tidak punya tempat lagi!"
Hening sejenak. Tidak ada yang tahu harus berkata apa.
Semua orang di dalam van itu tahu satu hal : mereka baru saja kehilangan rumah mereka.
Dan lebih buruknya lagi, Kael masih belum kembali.
Edgar akhirnya memecah keheningan dengan suara yang terdengar lebih dingin dari sebelumnya.
"Kita ga bisa terlalu lama di sini." Ia menghidupkan mesin van. " Kita harus tetap bergerak. Cobra Zone tahu tentang markas kita, dan itu berarti mereka bisa tahu tentang kita semua."
Elira menatap Edgar dengan ekspresi penuh kecemasan." Tapi Zayne... Kita gabisa pergi tanpa dia."
"Aku engga bilang akan meninggalkannya sendirian," Edgar menjawab, matanya tajam. "Tapi aku juga engga akan membiarkan kita mati sia-sia di sini."
Taron menendang dashboard van dengan frustasi. "Sial! Semua ini ga masuk akal! Cobra Zone selalu selangkah lebih cepat! Bagaimana mereka bisa tahu?"
Tak ada yang bisa menjawabnya.
Iris hanya menunduk, jari-jarinya menggenggam erat laptopnya.
Di luar sana, malam semakin pekat. Dan di dalam van itu, mereka semua sadar—mereka sudah tidak bisa lagi bersembunyi. Mereka benar-benae buronan sekarang.
Dan Kael... Bisa jadi sudah tertangkap.