Akademi Valdris. Medan perang bagi calon jenderal, penasihat, dan penguasa.
Selene d’Aragon melangkah santai ke gerbang, hingga sekelompok murid menghadangnya.
"Kau pikir tempat ini untuk orang sepertimu?"
Selene tersenyum. Manis. Lalu tinjunya melayang. Satu tumbang, dua jatuh, jeritan kesakitan menggema.
Ia menepis debu, menatap gerbang Valdris dengan mata berkilat.
"Sudah lama... tempat ini belum berubah."
Lalu ia melangkah masuk. Jika Valdris masih sama, maka sekali lagi, ia akan menaklukkannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seojinni_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#21 - Trial of Blood - Taruhan dan Kemenangan
Akademi Valdris.
Tempat di mana calon pemimpin dibentuk. Jenderal, menteri, pengusaha, bahkan para calon ratu dan kaisar—semua berasal dari sini.
Hari ini, aula megah akademi kembali dipenuhi murid baru, mereka yang lahir dari keluarga bangsawan dan berstatus pewaris sah. Namun, di Valdris, gelar bukan segalanya. Kekuatan adalah hukum tertinggi.
"Tapi sebelum itu," suara kepala akademi menggema di aula. "Kalian harus melalui ujian penerimaan untuk menentukan kelas kalian. Elite, menengah, atau bawah. Tidak ada pengecualian."
Para murid sebelumnya telah menyerahkan daftar bakat dan minat mereka. Ujian akan disesuaikan dengan itu.
"Ujian bakat dan minat?" Selene menggumam pelan. Dia tidak tahu soal ini. Tapi itu bukan masalah. Minat dan bakatnya sudah jelas—pedang dan politik.
Tak lama, para murid dibagi ke dalam kelompok berdasarkan keahlian mereka. Sebagian besar memilih politik dan strategi. Sementara itu, di sisi bakat bertarung, hanya ada satu gadis yang berdiri tegak di antara para pria.
Selene.
Sorot mata murid lain segera berubah. Tatapan jijik, hinaan tak bersuara. Apa gadis itu tidak takut mati? Seorang wanita di antara para petarung? Tidak tahu diri.
Namun Selene hanya tersenyum. Ia sudah terbiasa.
Di atas panggung, seorang pria maju. Jason, instruktur pedang terbaik di akademi. Ia memimpin undian lawan. Satu per satu murid mulai bertarung.
Saat tiba giliran Selene, jumlah murid ternyata ganjil. Ia tidak mendapat lawan.
Jason hendak memberinya kelulusan otomatis—ia tahu kemampuan gadis itu. Tapi sebelum sempat bicara, Selene lebih dulu tersenyum, bahagia seolah ini hal terbaik yang terjadi hari ini.
Lalu ia menatap para murid dan berkata lantang.
"Jadi, siapa yang ingin menjadi lawanku?"
Hening.
Lalu aula pecah oleh bisikan dan tawa sinis.
"Sombong sekali!"
"Kau pikir dirimu siapa?"
Tapi Selene tidak peduli. Dia tahu seseorang akan menantangnya. Jika tidak, maka dia yang akan memilih.
Saat itu, seseorang berdiri dari lantai atas.
"Aku."
Suaranya tegas, penuh percaya diri. Semua mata langsung tertuju padanya.
Kyle.
Seorang bangsawan menengah dengan bakat luar biasa dalam pertarungan. Ia dijuluki Calon Jenderal Tanpa Nama—karena meskipun kemampuannya tinggi, status keluarganya terlalu rendah untuk mencapai puncak.
Orang-orang mulai berbisik. Jika lawannya adalah Kyle, maka taruhan mulai berpihak padanya.
"Menarik." Selene tersenyum tipis. Ia mengangkat tangan dan menunjuk ke arahnya.
"Kau. Majulah."
Suasana aula berubah. Uang taruhan naik. Semua yakin Kyle akan menang.
Kyle turun dari podium dan berdiri di arena. Ia menarik pedangnya. Tapi sebelum mulai, Selene mengangkat tangan, menghentikannya.
"Oh, ada hal penting sebelum kita mulai." Suaranya ringan, tapi menusuk. "Aku dengar banyak dari kalian bertaruh untuk kekalahanku?"
Hening.
Dari mana dia tahu?
Selene tertawa kecil. "Aku beri kalian kesempatan untuk mengganti pilihan."
Seseorang dari kelas elite tertawa dingin. "Kau akan kalah hari ini, sombong sekali!"
Selene tersenyum lebih lebar.
"Baiklah. Jangan salahkan aku kalau kalian kehilangan uang."
Kyle tidak membuang waktu. Ia menyerang lebih dulu, pedangnya melesat cepat.
Selene menangkisnya dengan satu gerakan. Dentingan baja menggema.
Mereka bergerak cepat, bertukar serangan dengan presisi mengerikan. Kyle kuat, gerakannya kokoh. Ia mengandalkan teknik klasik yang sempurna. Pedangnya berputar, menyerang dari sudut berbeda, menekan Selene tanpa memberi celah.
Sorak-sorai bergema di aula.
"Kyle menang! Tidak ada cara Selene bisa membalikkan keadaan!"
Tapi Selene tertawa.
Di tengah hujan serangan, dia menari. Gerakannya ringan, lincah, seolah sedang bersenang-senang. Kyle mulai frustrasi. Dia menyerang lebih cepat, lebih kuat—dan saat itulah Selene bergerak.
Satu langkah.
Satu tebasan.
Pedang Kyle terlempar ke udara.
Tubuhnya terbanting ke tanah.
Hening.
Satu detik. Dua detik.
Lalu aula meledak.
Semua murid membelalak tidak percaya. Kyle? Kalah?
Di antara murid elite, seorang gadis mengerutkan kening. Vivianne. Dia cukup yakin Kyle bisa menang. Tapi ternyata...
"Sia-sia saja berharap padanya," gumamnya.
Sementara itu, Emilia hanya diam. Tidak ada yang tahu apa yang ia pikirkan.
Di kursinya, Lucian menaikkan sudut bibirnya sedikit.
"Kau memilih jalan ini?" gumamnya pelan. "Bersiaplah untuk terus sibuk, Selene."
Di arena, Kyle masih terduduk di tanah.
Sial.
Alih-alih menaikkan status keluarganya, dia malah mempermalukan mereka.
Dadanya naik turun, marah, frustrasi, dan hampir menangis. Tapi saat itu, Selene berhenti.
Dia berbalik.
Berdiri tepat di depan Kyle.
Mata Kyle memerah saat ia mendongak menatap gadis itu.
Selene mengulurkan tangan.
"Hebat."
Satu kata.
Semua murid membeku.
Siapa pun yang kalah akan dihina, diremehkan. Tidak akan ada tangan yang terulur untuk mereka. Tapi Selene...
Kyle menatap tangannya. Ragu.
Lalu dia menerimanya.
"Terima kasih." Suaranya berat. "Kau juga cukup hebat."
Selene tersenyum.
"Baiklah. Mari berteman."
Kyle membeku.
Lalu, perlahan, dia tersenyum.
"Teman."
Selene bukan orang bodoh. Dia tahu Kyle berbakat. Dia juga tahu akademi ini penuh hierarki busuk. Dengan menjadikannya teman, dia membangun jaringannya sendiri.
Sementara para murid masih terguncang, Selene menoleh ke mereka, tersenyum manis.
"Sudah kubilang kan, kalian bisa mengubah pilihan?"
Ia mengangkat tangan, penuh kemenangan.
"Terima kasih atas taruhan kalian. Aku menang besar."
Seisi aula menegang.
Sebelumnya, saat ia mengetahui soal taruhan, ia sudah menyuruh Adeline memasang taruhan untuknya sendiri.
Dengan kemenangannya, uang yang ia dapatkan berlipat sepuluh kali lipat.
Aula kembali pecah dalam kekacauan.
Sementara itu, Jason tertawa keras.
"Kau benar-benar luar biasa, Selene! Mulai sekarang, aku akan menjadi pembimbingmu."
Selene tersenyum dan mengangguk.
"Lalu..." Dia menoleh ke arah Kyle. "Bawa dia juga."
Jason mengangkat alis. Tapi dia tidak bertanya.
Dulu, adegan yang sama pernah terjadi. Dia menang duel dan membawa Gideon bersamanya.
Dan sekarang, dia membawa Kyle.
Satu pilar sudah ditemukan.
Saatnya mencari yang lainnya.