Renjana, seorang gadis muda yang baru saja pindah ke kota kecil Manarang, mulai bekerja di panti asuhan Widarpa, sebuah tempat yang tampaknya penuh dengan kebaikan dan harapan. Namun, tak lama setelah kedatangannya, ia merasakan ada yang tidak beres di tempat tersebut. Panti asuhan itu, meski terlihat tenang, menyimpan rahasia gelap yang tak terungkap. Dari mulai bungkusan biru tua yang mencurigakan hingga ruangan misterius dengan pintu hitam sebagai penghalangnya.
Keberanian Renjana akan diuji, dan ia harus memilih antara melarikan diri atau bertahan untuk menyelamatkan anak-anak yang masih terjebak dalam kegelapan itu.
Akankah Renjana berhasil mengungkap misteri yang terkubur di Widarpa, atau ia akan menjadi korban dari kekuatan jahat yang telah lama bersembunyi di balik pintu hitam itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Karangkuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
WIDARPA 18
Renjana berbaring di kamarnya, mencoba menenangkan diri setelah kejadian yang baru saja terjadi. Rasa penasaran dan kecemasan terus menggelayuti pikirannya, namun tubuhnya terasa lelah setelah seharian penuh dengan perasaan tegang. Meskipun begitu, matanya tak bisa lepas dari bayangan ruang isolasi itu dan apa yang sebenarnya terjadi di dalam sana.
Tiba-tiba, pintu kamar terbuka perlahan dan Kiwi masuk. Wanita itu tampak ragu-ragu, namun ketika melihat Renjana yang tampak gelisah, dia mendekat. "Kamu sempat masuk ke bawah?" tanya Kiwi dengan nada pelan, penuh perhatian.
Renjana menggelengkan kepala, mencoba menutupi rasa kecewanya. "Tidak. Helena menghentikanku. Dia bilang anak itu sudah ditangani dengan tepat." Renjana berusaha untuk terlihat tenang, meskipun dia merasakan kecemasan yang mendalam.
Kiwi mengangguk, namun wajahnya terlihat serius. Dia duduk di sisi ranjang Renjana, lalu perlahan berbisik, "Ada aktivitas yang mencurigakan di sana. Aku tidak tahu pasti, tapi ada sesuatu yang aneh."
Renjana menatap Kiwi dengan penuh perhatian, mendengar setiap kata dengan seksama. "Apa maksudmu?" tanya Renjana, suaranya bergetar sedikit karena perasaan tak pasti.
Kiwi menunduk sejenak, seolah mencari kata-kata yang tepat. "Aku pernah melihat dokter keluar dari ruang itu sekali," katanya pelan, "dan dia membawa bungkusan biru tua yang tampaknya agak aneh. Tidak ada yang biasa-biasa saja tentang itu."
Renjana terdiam, sebuah kilatan kejutan melintas di matanya. "Aku juga melihat itu. Aku melihat dokter Gio membawa bungkusan yang sama."
Mereka saling menatap sejenak, saling mengukur satu sama lain, dan suasana di antara mereka menjadi semakin tegang. Renjana bisa merasakan betapa seriusnya hal ini, dan semakin jelas bahwa ada sesuatu yang lebih besar yang sedang terjadi di dalam panti ini—sesuatu yang tidak bisa dia biarkan begitu saja.
Kiwi melanjutkan dengan suara yang lebih rendah, hampir seperti bisikan. "Aku sudah mulai menyelidiki hal itu, tapi sampai sekarang aku belum menemukan apa-apa yang bisa membuktikan apa yang terjadi. Hanya ada banyak hal yang tak wajar, Renjana. Aku takut kita sedang berhadapan dengan sesuatu yang lebih berbahaya daripada yang kita duga."
Renjana merasakan sebuah beban yang berat di dadanya. Semua yang dia dengar, semua yang dia lihat, membuat rasa curiganya semakin kuat. Tidak bisa hanya diam dan membiarkan hal ini begitu saja. "Aku akan membantumu," kata Renjana, suaranya penuh tekad. "Kita harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tidak bisa begitu saja membiarkan anak-anak di sini terus-terusan diperlakukan seperti ini."
Kiwi mengangguk dengan wajah serius, tampaknya senang dengan keputusan Renjana. "Terima kasih. Kita harus hati-hati. Kalau sampai ada yang tahu kita menyelidiki ini, bisa-bisa kita juga jadi masalah."
Renjana menghela napas, mencoba menenangkan kegelisahannya. "Kita harus mencari cara yang aman untuk mengungkapkan ini, Kiwi. Tapi kita tak bisa membiarkan rahasia ini terus disembunyikan."
Mereka berdua duduk diam, saling bertukar tatapan yang penuh arti, mengetahui bahwa mereka kini terlibat dalam sesuatu yang jauh lebih besar dari yang mereka duga sebelumnya. Dengan tekad yang sama, mereka berdua tahu bahwa mereka tidak bisa mundur begitu saja—meskipun bahaya mungkin sedang menunggu di depan mereka.
Pagi itu, Renjana merasa gelisah, masih terbayang-bayang dengan kejadian semalam. Dia memutuskan untuk menemui dokter Gio untuk menanyakan kondisi Adi, anak asuhnya yang semalam sempat mengalami kejang. Ada banyak pertanyaan yang berputar di pikirannya, dan dia merasa perlu mendapatkan jawaban yang jelas.
Renjana menemui dokter Gio di ruang perawatan. "Dokter Gio, bagaimana dengan kondisi Adi? Apa yang terjadi dengannya semalam?" tanya Renjana, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang meskipun perasaan cemas menghantuinya.
Dokter Gio terlihat sedikit terkejut, seolah tidak mengharapkan Renjana datang begitu pagi. "Oh, Renjana," katanya sambil menatapnya dengan tatapan agak dingin, "Adi sudah dibawa ke rumah sakit pagi-pagi sekali oleh Helena. Saya rasa itu untuk pemeriksaan lebih lanjut."
Jawaban dokter itu tampaknya tidak cukup memuaskan bagi Renjana. "Rumah sakit?" tanya Renjana dengan nada ragu. "Kenapa harus segera dibawa ke rumah sakit? Bukankah anda sudah merawatnya dengan baik di sini?"
Dokter Gio mengangkat bahu, seolah menjelaskan hal yang sudah jelas. "Ada prosedur tertentu, Renjana. Anak-anak dengan gejala seperti itu harus segera dibawa untuk pemeriksaan lebih lanjut, terutama jika ada kejang. Helena yang memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit untuk penanganan lebih lanjut."
Renjana tidak bisa menahan rasa curiganya. Jawaban dokter itu terasa terlalu cepat dan tidak memberi penjelasan yang memadai. Sepertinya ada sesuatu yang lebih dari sekadar pemeriksaan biasa. "Tapi mengapa tidak ada yang bilang pada saya, saya juga berhak tahu," ucap Renjana masih merasa tidak puas.
Dokter Gio menghela napas, sedikit terganggu oleh pertanyaan Renjana. "Helena adalah yang paling berwenang dalam hal ini, Renjana. Jangan khawatir, semuanya sudah diurus. Anak itu pasti akan baik-baik saja."
Renjana terdiam sejenak, merasakan ketegangan di udara. Namun, dia merasa tidak bisa begitu saja menerima jawaban itu tanpa klarifikasi lebih lanjut. "Kalau begitu, saya ingin bertemu dengan Helena. Saya perlu tahu lebih lanjut tentang apa yang terjadi pada Adi," katanya, suara penuh ketegasan.
Namun, dokter Gio kembali mengangkat bahu dengan santai. "Sayangnya, Helena sedang ada urusan di luar. Saya rasa kamu tidak akan bisa menemui dia sekarang," jawabnya dengan nada yang seolah mengesampingkan permintaan Renjana.
Renjana merasa frustrasi. Semua ini terasa semakin aneh dan mencurigakan. "Urusan apa yang begitu penting sampai dia meninggalkan panti di saat-saat seperti ini?" Renjana bertanya dalam hati. Meskipun dokter Gio berusaha menenangkan dan menyuruhnya kembali, Renjana merasa tidak bisa begitu saja mundur. Ada sesuatu yang tidak beres, dan dia tidak akan berhenti sampai mendapatkan jawabannya.
Dengan perasaan semakin cemas dan curiga, Renjana memutuskan untuk mencari cara lain untuk mendapatkan informasi lebih lanjut.
Siang itu, setelah beberapa perasaan cemas dan gelisah, Renjana memutuskan untuk mencoba mencari informasi lebih lanjut di tempat yang lebih tenang. Dengan langkah penuh hati-hati, ia menuju lantai dua dan memutuskan untuk memeriksa ruang administrasi. Ruangan itu relatif sepi, dan dia merasa ada peluang untuk menemukan sesuatu yang berguna.
Renjana mengamati sekeliling ruang administrasi, yang penuh dengan tumpukan berkas dan file-file yang tampak sudah berdebu. Ketika ia melirik ke meja yang lebih besar, matanya tertuju pada sebuah foto yang terbingkai rapi di sudut meja. Foto itu menunjukkan Helena bersama beberapa orang lainnya. Mereka tersenyum bahagia di depan sebuah spanduk besar yang bertuliskan "Ulang Tahun Asosiasi Rumah Hijau." Renjana terkejut melihat foto itu, karena nama "Rumah Hijau" tidak asing baginya. Sesuatu dalam benaknya langsung mengingatkan tentang asosiasi yang tampaknya terhubung dengan panti ini.
Dengan rasa ingin tahu yang semakin besar, Renjana mengambil langkah mundur dan keluar dari ruang administrasi. Sambil berjalan kembali menuju kamar, pikirannya terus berputar. "Asosiasi Rumah Hijau," gumamnya dalam hati.
Sesampainya di kamar, Renjana langsung mengeluarkan ponselnya dan mulai mencari informasi lebih lanjut. Jarinya bergerak cepat di layar ponselnya, mengetik kata-kata yang menggelisahkan pikirannya: Asosiasi Rumah Hijau. Beberapa hasil pencarian muncul di layar, namun sebagian besar mengarah pada artikel yang membahas perkumpulan para pendiri panti sosial yang lebih tertutup, dengan sejarah yang kabur dan minim informasi publik. Hal yang menarik perhatian Renjana adalah bahwa asosiasi ini tampaknya memiliki banyak cabang panti yang tersebar di berbagai kota, dan mereka memiliki reputasi yang agak tertutup dari sorotan media.
Namun, saat Renjana mencoba mencari lebih lanjut mengenai Helena Kamila, hasil pencariannya kosong. Tidak ada informasi apapun yang muncul terkait nama tersebut, kecuali bahwa dia terdaftar sebagai pengurus atau pengelola beberapa lembaga sosial. "Ini semakin aneh," pikir Renjana, merasa ada sesuatu yang sangat janggal dengan Helena dan asosiasi ini. Mengapa seseorang yang terlihat berpengaruh di panti ini tidak memiliki jejak digital yang jelas? Itu semakin menambah rasa curiganya.