Setelah kepergian istrinya, Hanan Ramahendra menjadi pribadi yang tertutup dan dingin. Hidupnya hanya tentang dirinya dan putrinya. Hingga suatu ketika terusik dengan keberadaan seorang Naima Nahla, pribadi yang begitu sederhana, mampu menggetarkan hatinya hingga kembali terucap kata cinta.
"Berapa uang yang harus aku bayar untuk mengganti waktumu?" Hanan Ramahendra.
"Maaf, ini bukan soal uang, tapi bentuk tanggung jawab, saya tidak bisa." Naima Nahla
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asri Faris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Tentu saja Nahla menolak tawaran Mas Duda yang cukup ngadi-ngadi itu. Bagaimana tidak, menginap katanya? Terdengar menyangsikan dan cukup membuat Nahla tidak nyaman. Lebih baik pulang sendiri dengan taksi yang telah Nahla pesan.
"Kabari jika sudah sampai rumah, maaf, seharusnya aku mengantarmu. Bisa tolong cancel saja taksinya? Kalau sudah sampai dibayar saja, aku yang akan mengantarmu," ujar Pak Hanan khawatir.
"Tidak usah Pak, kasihan Icha nanti kalau kebangun sendirian, lagian taksi saya sudah menunggu."
"Jangan panggil Pak, lebih enak kaya tadi," protes pria itu tak setuju.
"Mm ... maaf, belum terbiasa," jawab Nahla masih sedikit canggung. Ia tidak pernah sebelumnya bercakap-cakap panjang seperti ini dengan Pak Hanan. Sangat aneh rasanya, tetapi memang mungkin benar harus dibiasakan agar tidak terlalu kaku.
Hanan mengantar sampai mobilnya, bahkan pria itu yang membukakan pintu untuk Nahla.
"Hati-hati ya terima kasih, beberapa jam lagi pergantian hari, aku tunggu jawabannya," kata Hanan tersenyum lalu beranjak. Nahla hanya menimpali dengan anggukan. Walaupun hati kecilnya masih ada sedikit keraguan, apakah niat pria itu tulus, atau hanya sekadar mencari ibu sambung untuk Icha.
"Pak, titip calon istri saya, hati-hati bawa mobilnya," pesan Hanan pada sang driver taksi. Membuat Nahla yang mendengar sedikit tergugah hatinya.
"Siap Mas," jawab driver tersebut mengangguk sopan. Pria itu baru masuk setelah mobil tak terlihat.
Nahla sampai rumah lumayan malam. Bapak dan Ibu masih pada menunggu di ruang keluarga sambil menyaksikan acara televisi kesukaan mereka.
"Assalamu'alaikum ...!" sapa Nahla masuk dengan wajah sudah lumayan mengantuk.
"Baru pulang Nduk? Sini-sini duduk, tadi ke mana?" tanya Bu Kokom antusias.
"Nggak ke mana-mana, Bu, hanya di rumahnya nemenin Icha, udah gitu doang," jawab Nahla sesuai fakta.
"Aku ke kamar dulu Pak, Buk, capek pengen istirahat," pamit Nahla beranjak. Selain ngantuk, tubuhnya terasa penat. Seharian ini banyak sekali kejadian tak terduga.
Perempuan itu baru saja merebah ke ranjang, saat handphone miliknya berdering. Rupanya Pak Hanan yang menghubunginya.
"Hallo ... assalamu'alaikum," jawab Nahla sambil rebahan.
"Sudah sampai? Kenapa tidak ngabarin, aku khawatir," ucap Hanan di sebrang telepon.
"Baru saja beberapa menit yang lalu, belum sempat pegang ponsel."
"Ya sudah, selamat beristirahat ... calon istri, semoga malammu indah," ucap Hanan lalu memungkasi dengan salam.
Seketika Nahla terpaku seraya menatap layar ponselnya. Dia tidak marah, tidak pula menjawab dengan suara senang. Mendadak ia ragu dan takut kalau keputusannya salah.
Nahla yang sudah mengantuk pun akhirnya mengambil wudhu. Dua rakaat ia tunaikan sebelum tidur untuk meminta petunjuk hatinya. Memohon kebaikan untuk dirinya dan juga semua bila memang memungkinkan untuk berjodoh. Namun, jika tidak tentu pasti yang terbaik.
Usai mencurahkan perasaannya pada Sang Pencipta. Nahla akhirnya bisa tidur menjemput pagi dengan perasaan lebih tenang.
"Pagi Nduk, kamu berangkatnya bareng bapak saja ya, nanti pulangnya pesan taksi, jangan seperti kemarin," ujar Pak Subagio di meja makan.
"Iya Pak, kemarin kan nggak sengaja Pak, nggak tahu kalau kejadiannya bakalan kaya gitu," sahut Nahla seraya menyeruput teh manis buatan Ibu.
"Bagaimana, apakah kamu sudah mendapatkan jawaban yang tepat?" tanya Bapak serius. Beliau sadar juga kalau ini waktu tiga hari yang Nahla janjikan untuk Hanan.
"Insya Allah sudah Pak, nanti jika ditanyakan Nahla akan jawab," kata perempuan itu mengangguk yakin.
"Bapak tidak akan memaksa, kamu yang menjalani, selama agamanya dan pandangannya bagus, kamu tidak mempunyai alasan untuk menolak ikhtikad baik seseorang," pesan Bapak menguatkan.
Walaupun dengan Nahla banyak juteknya dibanding enggaknya selama mengenal hingga detik ini. Nampaknya pertemuan pertama pria tiga puluh lima tahun itu cukup berkesan untuk Pak Subagio. Image baik langsung melekat padanya.
"Mbak, pakai motor Tio juga nggak pa-pa, Tio biar nebeng Sandy," tawar adik Nahla bergabung di meja makan.
"Nggak usah Tio, nanti pulangnya malah repot, kan sekalian mau ambil motor," ujar Nahla lebih memilih diantar Bapak. Namun, tak disangka sebelum sempat berangkat, sepertinya Miss Nahla tidak jadi bareng Bapak ataupun Tio, karena kini Pak Hanan pagi-pagi sekali sudah menyambangi rumahnya. Sungguh pria itu kerajinan sekali.
Suara salam yang menggema cukup mengagetkan keluarga dan juga Nahla. Baru semalam mereka bertemu, paginya sudah didatangi lagi.
"Cie ... udah dijemput calon kang duda," ledek Ibu setengah berbisik. Membuat Nahla nyengir gaje sendiri.
Setelah sapa salam, berbincang ramah dengan kedua orang Nahla, sebelum akhirnya benar-benar mengantar ke tempat kerja.
"Icha sudah berangkat? Kok nggak ikut?" tanya Nahla tidak mendapati bocah kecil itu.
"Berangkat, nanti sama saya, kebetulan hari ini free, sekalian bisa nganter kamu," ujarnya kalem.
"Harusnya nggak usah repot-repot bolak balik, aku bisa bareng bapak tadi."
"Sama sekali tidak repot dan tidak merasa direpotkan, mm ... aku nungguin lho, udah lewat beberapa jam, jadi gimana?" todong pria itu tak sabaran.
"Harus banget sekarang? Kenapa tidak nanti saja," jawab Nahla mendadak grogi.
Pria itu menghela napas pelan, nampaknya benar-benar tak sabar mendengarnya langsung dari mulut mungilnya.
"Iya, lebih cepat lebih baik, apa pun keputusan kamu sekarang, aku siap mendengarkan," ujar pria itu sampai menepikan mobilnya. Menanti jawaban yang membuat jantungnya jedag jedug seketika.
"Bismillah ... Insya Allah siap," jawab Nahla seketika membuat kedua sudut bibir Pak Hanan ketarik membuat senyuman.