NovelToon NovelToon
Ketika Kesabaran Berakhir

Ketika Kesabaran Berakhir

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Mengubah Takdir
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: Nurulina

Lestari, yang akrab disapa Tari, menjalani hidup sebagai istri dari Teguh, pria yang pelit luar biasa. Setiap hari, Tari hanya diberi uang 25 ribu rupiah untuk mencukupi kebutuhan makan keluarga mereka yang terdiri dari enam orang. Dengan keterbatasan itu, ia harus memutar otak agar dapur tetap mengepul, meski kerap berujung pada cacian dari keluarga suaminya jika masakannya tak sesuai selera.

Kehidupan Tari yang penuh tekanan semakin rumit saat ia memergoki Teguh mendekati mantan kekasihnya. Merasa dikhianati, Tari memutuskan untuk berhenti peduli. Dalam keputusasaannya, ia menemukan aplikasi penghasil uang yang perlahan memberinya kebebasan finansial.

Ketika Tari bersiap membongkar perselingkuhan Teguh, tuduhan tak terduga datang menghampirinya: ia dituduh menggoda ayah mertuanya sendiri. Di tengah konflik yang kian memuncak, Naya dihadapkan pada pilihan sulit—bertahan demi harga diri atau melangkah pergi untuk menemukan kebahagiaan yang sejati.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nurulina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 21

Setelah selesai menulis, Tari segera mengisi data-data dirinya serta memenuhi semua persyaratan yang diminta untuk mengajukan kerja sama dengan aplikasi novel tempat ia menulis. Ia memeriksa semuanya dengan cermat, memastikan tidak ada yang terlewat.

"Klik!"

Pengajuan berhasil terkirim. Sebuah notifikasi muncul di layar ponselnya, memberitahukan bahwa ia harus menunggu konfirmasi melalui email.

"Ya Allah, semoga diterima..." gumam Tari dengan penuh harap. Ia menangkupkan kedua tangannya, memanjatkan doa tulus. "Mudahkanlah jalanku untuk mencari rezeki dan membangun masa depan yang lebih baik, ya Allah."

Setelah berdoa, ia meletakkan ponselnya di meja dan melangkah ke kamar mandi untuk bersiap melaksanakan salat subuh. Udara pagi yang dingin menyapa kulitnya, namun Tari merasa semangatnya tetap menyala.

Selesai salat, ia duduk sejenak di atas sajadah, memikirkan agenda hari itu. Rumah harus segera dibersihkan, dan seperti biasa, ia harus memastikan semuanya rapi sebelum Teguh bangun.

Saat ia mulai membereskan meja makan, Teguh mendekatinya sambil membawa selembar uang di tangannya.

"Nih, uang belanja untuk hari ini," katanya, menyerahkan uang itu kepada Tari. "Masak ayam atau ikan patin, ya. Aku bosen makan ikan asin terus."

Tari menatap uang yang diberikan suaminya: 25 ribu rupiah. Ia terdiam sejenak, memandangi nominal yang tampak kecil itu, lalu menggenggamnya erat.

"Baik, Mas," jawab Tari dengan suara lembut, meskipun dalam hatinya ia merasa getir. Dengan uang sebanyak ini, ia tahu harus berpikir keras untuk memenuhi permintaan Teguh.

Tanpa berkata lebih banyak, Tari mengambil tas belanja kainnya dan bersiap untuk pergi ke pasar. Dalam hatinya, ia hanya bisa berdoa agar segala urusan hari ini berjalan lancar.

"Hem," gumam Tari dengan nada malas, menerima uang itu tanpa banyak bicara. Ia menyelipkan uang ke dalam dompet kecilnya dan segera bergegas menuju warung Mak Yuni. Warung sederhana itu terkenal menjual berbagai macam kebutuhan dapur, mulai dari sayur hingga lauk pauk, dengan harga terjangkau.

Sesampainya di sana, pemandangan biasa menyambutnya. Warung Mak Yuni sudah ramai oleh para ibu-ibu yang sibuk memilih sayur-mayur sambil mengobrol riuh. Tawa mereka bercampur dengan suara bising pasar, membuat suasana pagi itu terasa hidup.

"Eh, Tari! Mau beli ikan cuek lagi, ya? Atau ikan asin kali ini?" seru salah satu ibu yang dikenal gemar ikut campur urusan orang lain. "Oh iya, ada kangkung segar, lho! Katanya itu kesukaan mertuamu, kan?" lanjutnya dengan nada setengah menggoda, seolah mencari bahan obrolan baru.

Tari mengangkat alis sedikit, namun tidak menunjukkan reaksi berlebihan. Ia tersenyum lebar dan menjawab dengan nada santai, "Hehe, nggak, Bu. Hari ini mau beli kepala ayam aja. Katanya suami pengen masak ayam biar beda sedikit."

Tanpa menghiraukan sindiran terselubung itu, Tari meladeninya dengan tenang. Bahkan, ia sengaja menambahkan sedikit bumbu pada jawabannya agar para ibu-ibu itu punya cerita lebih seru untuk dibahas nanti.

"Oh, iya! Kalau beli kangkung, mungkin kapan-kapan deh, Bu. Soalnya, kemarin mertua bilang bosan makan sayur doang, maunya lauk yang lebih berbumbu. Jadi, aku pikir kepala ayam cocok buat hari ini," tambah Tari sambil tersenyum manis.

Para ibu di warung itu saling melirik, kemudian tersenyum simpul. Mereka tampak puas dengan jawaban Tari yang seolah membuka pintu lebih lebar untuk gosip. Namun, bagi Tari, meladeni mereka adalah bagian dari kebiasaan. Dengan begitu, ia bisa tetap menjaga hubungan tanpa terlihat terlalu defensif.

Setelah membeli kebutuhan yang ia perlukan, Tari segera membayar dan berpamitan. Dalam perjalanan pulang, ia tersenyum kecil sambil bergumam pada dirinya sendiri, "Biarin aja mereka ngomong apa. Yang penting, aku sudah dapat semua yang aku butuhkan."

Toh, sudah jadi rahasia umum kalau Bu Ayu, mertuanya, terkenal pelit di satu kampung. Bahkan, hampir semua orang tahu bagaimana perlakuan keluarga itu terhadap Tari.

Kasihan? Tentu saja. Namun, di sisi lain, hal itu justru membuat para ibu-ibu di kampung lebih bersimpati pada Tari. Kini, mereka sering mengobrol dengannya, bahkan menganggapnya seperti sahabat.

"Hem, bisa kelolotan tuh makmu, Tar, kalau kau kasih kepala ayam," celetuk salah satu ibu sambil menyeringai, mencoba menahan tawa.

"Hahaha!" Tawa pecah di antara mereka, termasuk Tari yang ikut tergelak mendengarnya.

"Ya, Bu, siapa tahu kalau makan otaknya ayam, pikiran ibu mertuaku bisa sedikit terbuka," balas Tari dengan nada bercanda, tapi penuh arti.

Candaannya membuat para ibu-ibu tertawa lebih keras lagi. Mereka tahu Tari hanya mencoba mengambil sisi humor dari situasi sulit yang dihadapinya, tetapi sindiran halus itu terasa cukup 'nampol'.

Para ibu-ibu itu melanjutkan percakapan mereka sambil memilih sayuran. Meskipun suasana ramai dan penuh canda, Tari merasa sedikit lega. Di tengah semua kesulitan yang ia alami, setidaknya ada orang-orang yang mendukung dan memahami dirinya.

Setelah selesai berbelanja, Tari berpamitan dengan senyum lebar. "Terima kasih ya, Bu, nanti kalau ada kabar baru, saya ceritain lagi," selorohnya sebelum pergi. Para ibu-ibu tertawa lagi sambil melambaikan tangan ke arahnya.

Dalam perjalanan pulang, Tari tersenyum kecil. Meski hidupnya penuh ujian, setidaknya ia tidak pernah kehilangan akal untuk tetap kuat dan menjaga selera humornya.

"Ih, Tar, bukannya makin kebuka pikirannya, malah makin dodol iya?" sahut salah satu ibu sambil terkekeh, menambahkan bumbu dalam obrolan mereka.

"Hahaha!" Tawa mereka pun semakin meledak, mengisi udara pagi di warung Mak Yuni.

Sambil menunggu belanjaannya dihitung, Tari tersenyum tipis, lalu berkata dengan nada blak-blakan, "Mak Yuni, berapa total belanjaanku? Jangan lupa dicatat, ya. Nanti kalau nggak pakai catatan, bisa-bisa Mak Lampir ngamuk lagi. Dikiranya aku korupsi uang anaknya."

Beberapa ibu yang mendengar langsung menutup mulut, menahan tawa yang hampir pecah lagi. Komentar Tari yang ceplas-ceplos memang selalu mengundang perhatian, tapi mereka tahu, ada kebenaran pahit di balik ucapannya.

Bukan maksud Tari membongkar aib rumah tangganya. Hanya saja, perilaku mertuanya, Bu Ayu, sering kali diperlihatkan terang-terangan di depan umum. Seolah ingin menunjukkan betapa rendahnya posisi Tari dalam keluarga itu.

Maklum, tinggal di kampung dengan rumah-rumah yang saling berdempetan, semua yang terjadi di satu rumah hampir selalu terdengar ke rumah lainnya. Begitu pula dengan suara Bu Ayu yang kerap mengamuk dan berteriak-teriak tanpa peduli siapa yang mendengar.

Warga kampung pun sudah hafal dengan gaya Bu Ayu. Setiap kali ia memarahi Tari, baik soal uang belanja maupun hal-hal sepele lainnya, suaranya melengking hingga menjangkau seluruh penjuru kampung.

Akibatnya, hampir semua tetangga tahu masalah hidup Tari. Mulai dari urusan rumah tangganya, perlakuan mertuanya, hingga bagaimana Tari sering kali diperlakukan seperti pembantu di rumah itu.

Namun, alih-alih menghakimi, warga justru merasa simpati kepada Tari. Mereka melihatnya sebagai sosok yang sabar, tabah, dan tetap berusaha menjalani hidup meskipun berada dalam situasi yang tidak ideal.

Setelah Mak Yuni selesai menghitung belanjaannya, Tari mengambil kantong plastik berisi sayur dan kepala ayam. "Makasih ya, Mak Yuni. Saya pulang dulu," katanya sambil tersenyum, lalu berlalu meninggalkan warung.

Di sepanjang jalan, Tari hanya bisa menarik napas panjang. Hidupnya memang jauh dari sempurna, tapi setidaknya ia masih bisa menertawakan nasibnya, meski dengan hati yang penuh luka.

"Iya, Tari, ini Mak lagi hitung. Nih, total belanjaanmu 23 ribu," seru Mak Yuni sambil menyodorkan secarik kertas kecil yang berisi catatan belanja.

"Hem, masih ada sisa dua ribu, ya, Mak? Ya udah, tambahin sampo aja. Kebetulan sampo di rumah habis," jawab Tari sambil menyerahkan uang 25 ribu miliknya.

Mak Yuni mengangguk, lalu meraih satu bungkus kecil sampo dari rak di belakangnya dan menyerahkannya pada Tari.

"Nih samponya," kata Mak Yuni, tersenyum ramah.

1
Wanita Aries
Suka ceritanya..
Semangat thor
Wanita Aries
Naudzubillah dpt laki pelit amit2 dah
Wanita Aries
Gila aj dkasih cm 25rb. Uang saku ankq yg SMP itu
Diah Ratna
ceritanya bagus,thor .
Sulfia Nuriawati
udah d perbudak msh mw bertahan helloooo cinta blh goblok jgn y sayang, bersikap lah tunjuk kan bahwa km pny harga yg lbh dr pelakor jg suami g pny otak itu,mn pelit lg dih ogah bnget😡😡😡
Sulfia Nuriawati
Luar biasa
Nurulina: makasi yaaa🥰
total 1 replies
Aerilyn Bambulu
Aku nunggu update terbaru setiap harinya, semangat terus author!
Nurulina: Waaah makasih yaaaw😍
total 1 replies
Phoenix Ikki
Aku tumpahkan air mata gara-gara endingnya😢
Kazuo
Bikin nagih bacanya 😍
Nurulina: waaah, makasih yaaa🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!