Berawal dari hujan yang hadir membalut kisah cinta mereka. Tiga orang remaja yang mulai mencari apa arti cinta bagi mereka. Takdir terus mempertemukan mereka. Dari pertemuan tidak disengaja sampai menempati sekolah yang sama.
Aletta diam-diam menyimpan rasa cintanya untuk Alfariel. Namun, tanpa Aletta sadari Abyan telah mengutarakan perasaannya lewat hal-hal konyol yang tidak pernah Aletta pahami. Di sisi lain, Alfariel sama sekali tidak peduli dengan apa itu cinta. Alfariel dan Abyan selalu mengisi masa putih abu-abu Aletta dengan canda maupun tangis. Kebahagiaan Aletta terasa lengkap dengan kehadiran keduanya. Sayangnya, kisah mereka harus berakhir saat senja tiba.
#A Series
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Allamanda Cathartica, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 21: Rencana Menguak Kasus
Sepulang sekolah tepatnya pada pukul tiga sore, geng Black Secret berkumpul di gudang belakang sekolah yang mereka jadikan base camp sementara. Di hadapan mereka terpampang papan tulis yang dipenuhi dengan sketsa dan catatan. Di tengah papan itu, terdapat foto Bu Tya dan Difa yang terhubung dengan garis merah ke nama-nama beberapa anggota ekskul tari.
Zidan mengerutkan dahi sambil melipat tangannya di dada. “Gue nggak ngerti. Ini kelihatan kayak plot film detektif, Al. Lo serius mau main jadi Sherlock Holmes?”
Alfariel yang berdiri di dekat papan sambil memutar-mutar spidol di jarinya, menoleh santai. “Nggak ada yang main-main di sini, Zi. Semua ini fakta dan dugaan yang udah gue kumpulin. Kalau kita mau buka kasus ini, kita harus paham dulu apa yang sedang kita hadapi.”
Fariz menyandarkan punggungnya ke dinding, menatap papan dengan ekspresi bingung. “Oke, gue masih nggak paham. Maksud lo, apa hubungannya Bu Tya sama Difa dan ekskul tari?”
Alfariel menghela napas panjang lalu menunjuk foto Difa di papan tulis. “Gue denger ada desas-desus kalau Difa, salah satu anggota ekskul tari, jadi korban perundungan. Dia bahkan sampai sakit dan nggak masuk sekolah.” Spidolnya bergerak ke foto Bu Tya. “Dan ini, Bu Tya, pembina ekskul tari. Seharusnya dia tahu apa yang terjadi, tapi kelihatannya dia tutup mata atau sengaja nggak mau peduli.”
Abyan mengangkat tangan, menyela. “Kalau foto-foto ini?” Dia menunjuk nama-nama yang terhubung dengan garis merah.
“Ini nama-nama anggota ekskul tari yang diduga terlibat dalam perundungan itu,” jelas Alfariel sambil mengetuk spidolnya ke papan. “Misi kita kali ini adalah ngumpulin bukti dan cari tahu apa yang sebenarnya terjadi di ekskul tari.”
Fariz mendekat ke papan, menunjuk garis merah yang menghubungkan foto Difa ke salah satu nama. “Tunggu, ini siapa? Kenapa namanya dilingkarin?”
“Namanya Mita,” jawab Alfariel dengan nada serius. “Dia salah satu anggota ekskul tari. Gue dapet info kalau dia diduga kuat sebagai dalang perundungan terhadap Difa. Katanya, dia sering melontarkan komentar sinis yang bikin Difa down.”
“Dan komentar sinis itu cukup untuk bikin dia tersangka?” Fariz mengerutkan kening.
“Enggak cukup, makanya kita cari bukti lain,” balas Alfariel, menunjuk ke arah lain di papan di mana tertulis beberapa dugaan perilaku yang mengarah ke tindakan bullying.
Gibran yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara. “Lo yakin, Al? Kalau ini ketahuan guru atau kepala sekolah, kita yang kena masalah. Lo tahu kan, ini bukan urusan main-main.”
“Justru karena ini bukan urusan main-main, kita harus turun tangan,” balas Alfariel serius. “Difa udah masuk rumah sakit gara-gara tekanan mental. Kita enggak bisa diam aja.”
Zidan mengangkat tangan, mencoba menenangkan suasana. “Oke, oke, gue ngerti niat lo mulia, tapi gimana caranya kita bisa buktiin kalau ini kerjaan mereka? Kita enggak punya bukti.”
“Makanya gue bikin rencana ini,” kata Alfariel sambil menunjuk papan. “Kita cari tahu dulu siapa aja yang terlibat. Setelah itu, kita cari cara buat mereka ngaku.”
“Ngaku?” Abyan memiringkan kepala. “Lo mau interogasi mereka?”
“Bukan interogasi.” Alfariel menjelaskan sambil menggambar skema di papan tulis. “Kita bikin skenario yang bikin mereka kebongkar sendiri.”
“Contohnya?” tanya Fariz penasaran.
“Kita buat mereka ngerasa diawasi. Kasih mereka tekanan kecil, bikin mereka panik. Kalau mereka panik, biasanya mereka bakal bikin kesalahan.”
Gibran menatapnya ragu. “Dan kalau mereka enggak panik?”
Alfariel tersenyum tipis. “Tenang aja, mereka pasti panik. Gue udah punya cara buat itu.”
Abyan menghela napas, lalu duduk di kursi reyot di sudut ruangan. “Oke, gue ikut aja deh. Tapi lo harus pastiin kita enggak kena masalah.”
“Percaya sama gue,” kata Alfariel penuh percaya diri. “Ini rencana gue, tanggung jawab gue.”
Fariz menyeringai. “Oke, Bos. Jadi, kapan kita mulai?”
Alfariel melirik jam tangannya. “Sekarang. Kita bagi tugas dulu.”
Alfariel melangkah ke tengah ruangan dan menunjuk papan tulis dengan spidolnya. “Oke, kita mulai dari tugas paling sederhana. Zidan dan Gibran, kalian cari tahu apa aja yang Bu Tya bicarain ke anggota ekskul tari beberapa hari terakhir. Gib, lo kenal baik sama admin ruang guru, kan? Lo bisa dapet info tanpa bikin curiga.”
Gibran mengangkat bahu. “Bisa aja sih, tapi gue butuh alasan buat ke sana. Enggak mungkin gue tiba-tiba nanya soal Bu Tya.”
“Gue udah pikirin itu,” jawab Alfariel sambil menyodorkan sebuah amplop kecil. “Di sini ada proposal kegiatan ekskul tari. Lo bilang aja lo disuruh Bu Tya buat ngecek apakah udah disetujui atau belum.”
Zidan membuka amplop itu dan membaca isinya sekilas. “Oke, ini cukup masuk akal. Gue dan Gibran ambil bagian ini.”
Gibran pun menganguk sebagai persetujuan dari ucapan Zidan.
Alfariel melanjutkan. “Abyan, lo tugasnya lebih ke observasi. Perhatiin tingkah laku Mita dan beberapa anggota ekskul tari yang ada di daftar ini.” Dia menunjuk beberapa nama di papan tulis. “Cari tahu apakah mereka sering kumpul bareng di luar jam ekskul atau ada obrolan yang mencurigakan.”
Abyan mengangguk malas. “Jadi mata-mata, ya? Bisa sih."
“Bagus.” Alfariel tersenyum kecil sebelum berpaling ke Fariz. “Fariz, lo yang paling penting. Gue butuh lo buat bikin kontak langsung sama Difa. Tanya ke dia secara halus, tanpa bikin dia merasa diinterogasi, apa yang sebenarnya dia alami sebelum dia sakit.”
Fariz terdiam sejenak. “Lo yakin dia bakal cerita? Kalau dia udah nyerah sampai masuk rumah sakit, berarti dia enggak mau banyak ngomong soal ini.”
“Lo cuma perlu bikin dia merasa didengar,” jawab Alfariel. “Enggak usah paksa dia cerita semuanya. Yang penting kita dapet petunjuk awal.”
Gibran yang sejak tadi bersandar di dinding, menyela dengan nada datar. “Dan lo sendiri, Al? Lo mau ngapain?”
Alfariel mengangkat spidolnya, menunjuk bagian papan yang dipenuhi lingkaran dan catatan kecil. “Gue bakal fokus di sini. Gue cari hubungan yang lebih jelas antara Bu Tya, Difa, dan nama-nama di papan ini. Gue juga bakal coba gali informasi dari arsip ekskul, kalau perlu ke ruang administrasi.”
Gibran mendesah. “Lo tahu kan, ini berisiko? Kalau ketahuan, kita bisa kena hukuman.”
“Tapi kalau kita berhasil, kita bisa bantu Difa dan mungkin ngelindungin orang lain dari hal yang sama.” Alfariel menatap mereka satu per satu dengan serius. “Ini bukan cuma soal nyari tahu. Ini soal ngelakuin hal yang benar.”
Hening sejenak. Zidan akhirnya bicara, “Oke, gue ikut. Tapi kalau ada yang curiga, kita bubar dan pura-pura enggak tahu apa-apa.”
“Setuju,” tambah Abyan.
Fariz tersenyum tipis. “Gue ikut aja. Seru juga kayaknya.”
“Baik,” kata Alfariel sambil menyeringai. “Kita mulai sekarang. Semua orang tahu tugasnya. Update gue besok pagi, kita lihat sejauh mana kita bisa dapet petunjuk.”
Mereka semua mengangguk, meski rasa ragu masih terasa di ruangan itu. Satu per satu mereka meninggalkan gudang dengan tugas masing-masing, meninggalkan Alfariel sendirian di depan papan tulis.
Pandangan matanya tertuju pada foto Difa yang berada di tengah papan, sementara tangannya menggenggam spidol dengan erat. “Kita bakal bongkar ini. Gue janji,” gumamnya pelan.
Setelah itu, Alfariel duduk di kursi. Dia menatap layar ponselnya dengan wajah serius. Pesan dari Difa terpampang jelas di layar.
Difa: Gue nggak tahan lagi, kayaknya gue harus keluar dari ekskul tari.
Alfariel: Lo tenang dulu. Gue dan anak-anak bakal bantu lo, Dif.
Difa: Percuma, Al. Mereka itu punya backingan di sekolah.
Alfariel: Gue pastikan semua pelakunya minta maaf ke lo.
***
Bersambung ....