Dia meninggal tapi menghantui istri ku.
Ku genggam tangan Dias yang terasa dingin dan Bergetar. Wajahnya pucat pasi dengan keringat membasahi anak rambut di wajahnya. Mulutnya terbuka menahan sakit yang luar biasa, sekalinya menarik nafas darah mengucur dari luka mengangga di bagian ulu hati.
"Bertahanlah Dias." ucapku.
Dia menggeleng, menarik nafas yang tersengal-sengal, lalu berkata dengan susah payah. "Eva."
Tubuhnya yang menegang kini melemas seiring dengan hembusan nafas terakhir.
Aku tercekat memandangi wajah sahabat ku dengan rasa yang berkecamuk hebat.
Mengapa Dias menyebut nama istriku diakhir nafasnya?
Apa hubungannya kematian Dias dengan istriku, Eva?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dayang Rindu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
POV Eva, Terpisah.
Sekuat tenaga kami melawan orang yang menyerang dalam gelap, redup cahaya bulan sudah menyatu dengan kornea mata sehingga sekelebat gerakan mampu terbaca, namun apalah daya aku lihat Mas Seno di keroyok dua orang, ia kesulitan takut Seina terluka jika terlalu gegabah.
Pada akhirnya dia terdesak karena dua orang mengeroyoknya ,sementara Zalli masih beradu tinju dengan seorang laki-laki besar, jelas dia kewalahan.
Crassh! Lawanku dan Gerry tumbang.
Satu tebasan pula membebaskan mas Seno yang hampir saja terkena sabetan pisau mereka. Aku tak main-main menebas tangan pria itu hingga sebagian jari pria itu terputus, dia menjerit kencang.
"Aaarghh!" pria yang satu lagi tampak menggila melihat temannya mundur dengan tangan berlumuran darah.
Mas Seno menahan pisaunya hingga beradu dengan golok milik mbok Yem. Aku dan gerry pun segera mendaratkan dua sabetan serentak di punggung pria itu hingga menggelepar melepaskan pisaunya.
Crashh!
Mas Seno pula melanjutkan tebasan terakhir hingga pria itu tak berkutik.
"Hah!! Huhh! Huh!" kami masih berdiri tegang melihat empat orang sudah terkapar tanpa nyawa. Luar biasa, orang biasa seperti kami bisa begitu Beringas jika sudah bertaruh nyawa. Gerry pun, sebenarnya masih terlalu muda untuk menghadapi ini semua, bahkan ikatan dinasnya baru selesai.
"Aku takut masih ada yang lainnnya." ucap Gerry mengamati sekitar.
"Kita sudah jauh, tapi mereka bisa menemukan kita." Sahut Zalli pula, berhasil melumpuhkan pria bertubuh besar itu, bersama mbok Yem yang ikut andil menyerang dari belakang.
Kami terdiam, saling pandang dengan sedikit saling curiga.
Ting!
Suara notifikasi ponsel berbunyi, kami menatap Gerry yang sama terkejut karena ponselnya tiba-tiba berbunyi.
Ia mengeluarkan ponsel yang sejak tadi di simpan dalam tas pinggang kecil.
"Pak Budi!" Serunya.
"Mereka melacak ponselmu?" tanya Mas Seno, sedikit banyak Mas Seno tahu aplikasi yang demikian. Karena dia pernah kehilangan ponselnya lalu dapat menemukannya.
Gerry lemas seketika, Mungkin sama sekali tak terpikirkan olehnya. Tangannya berayun bersiap melempar ponsel tersebut ke sungai.
"Jangan!" cegahku.
"Kita harus pergi dari sini Mbak!" kesalnya.
"Iya, tapi ponselmu jangan di buang." Aku mengambil ponsel dari tangan Gerry. "Kita berpencar."
"Tidak mungkin kita berpencar Dek, nyawa kita taruhannya." Mas Seno menyerahkan Seina pada ku, namun ku tolak karena rencanaku sudah bulat.
"Mas, pergilah bawa Seina bersama Zalli dan mbok Yem. Aku dan Gerry akan tetap melanjutkan perjalanan ke atas."
"Kau sudah gila?" marah Mas Seno, satu tangannya menepuk-nepuk kaki Seina agar tak bangun.
"Tidak Mas, mereka mengincar aku, mungkin juga Gerry. Kami akan memecah mereka dengan ponsel ini."
"Tidak, lebih baik kau buang saja ponsel ini dan kita pergi bersama-sama. Ayo, kita pergi!" Mas Seno menarik tanganku.
"Mas, dengarkan aku. Seina lebih penting. Hantarkan Seina kepada adikku dan ibu, di sana Seina akan aman. Tidak akan ada orang jahat yang berani datang ke batalyon." ucapku, adikku ada di sana, aku yakin aman.
"Kalau begitu kita akan pergi bersama-sama." kekeh mas Seno pula, memegangi pergelangan tanganku begitu erat.
"Mas, jangan mengorbankan seina!" marahku, aku harus kejam, demi Seina.
"Mbak pergilah bersama Mas Seno." sahut Gerry, meraih kembali ponselnya dari tanganku.
"Tidak Ger, kalau aku ikut justru akan bahaya."
"Kau pikir kami akan selamat tanpamu?" kesal Mas Seno.
"Kalian akan baik-baik saja, Mas Dias ikut denganmu." Aku menolah Mas Dias yang juga menatap diriku. Ku lempar senyuman kepada hantu yang terlihat menyedihkan ini, ku bayangkan dia masih hidup dan bersikap hangat.
"Tidak!" sanggah Mas Seno, mas Seno pun melihat ke arah yang sama, dimana rupa Mas Dias mengikuti apa yang aku pikirkan, dia tampan, tak ada lagi darah dan wajah pucat mengerikan.
"Kamu ingin mengorbankan seina Mas?" tanyaku, membujuk Mas Seno. "Aku akan baik-baik saja Mas. Kalian pulanglah dan berpura-pura saja tidak tahu apa yang sudah ku ceritakan. Itu akan membuat kalian aman."
Mas Seno terdiam.
"Percayalah Mas, ada Gerry bersamaku, dia tidak akan diam saja jika kami dalam bahaya. Dia punya ini!" ku tunjuk senjata berwarna gold itu, tak boleh sembarang di gunakan, tapi cukup meyakinkan untuk melindungi diri.
Hening... Kami semua tampak memikirkan langkah yang ku sarankan.
"Tak lama lagi, pagi akan segera datang. Percayalah aku dan Gerry akan pulang besok pagi. Ini hanya sementara." ucapku lagi, meyakinkan mas Seno.
"Kalau begitu kita akan pulang besok."
"Jangan keras kepala Mas! Bisa saja saat ini mereka sudah dekat." kesal ku.
"Sudahlah, kalian pergi ke arah sana, kami pergi ke arah sini." kini Gerry pun setuju, meminta mas Seno berjalan berlawanan arah.
"Ger!" Mas Seno menatap adik sahabatnya itu, kekhawatiran jelas di wajahnya.
"Sejak kemarin kami sudah melewatinya Mas, percayalah aku tak akan membiarkan mbak Eva celaka." kata Gerry.
Suara grasak-grusuk terdengar dari kejauhan, hutan yang mereka lewati licin dan gelap pastilah mereka kesulitan. Namun bagi kami ancaman sudah di depan mata. Entah berapa detik, menit atau sesaat lagi mereka sudah pasti akan menjangkau kami.
"Pergilah! Sebelum Seina bangun dan menangis." titahku.
"Aku mencintaimu Dek, berjanjilah untuk baik-baik saja." mas Seno memelukku erat,, menciumi wajahku berkali-kali sebelum akhirnya pergi.
"Cepatlah Mas!"
Mereka berjalan meninggalkan kami di tengah hutan yang lembab, menyisakan sepi yang mencekam.
"Mbak!"
Panggil Gerry, aku mengikuti arah pandangnya pada tempat kami menyeberang, semak yang tersangkut di sungai itu bergerak.
"Lari!"
Aku berlari lurus di pinggiran tebing, menembus pekatnya malam yang yang dingin, pakaian kami basah terkena dedaunan yang berembun. Menggigil tapi berkeringat, berpacu dengan waktu yang mendesak, merasa nyawa sudah sangat dekat dengan kematian.
Settt! "Mau kemana?"
Langkah yang sudah terseok-seok ini akhirnya terhenti ketika sebuah pisau terpampang di depan wajahku. Hampir saja wajahku ini tertusuk ujungnya.
"Lusia."
Wanita itu terkekeh, tak ku sangka dia mengejarku sejauh ini. Dia senang menatap ku yang ketakutan.
"Jauhkan pisau itu Mbak!" Gerry mengarahkan pelatuk senjatanya pada Lusia.
Tapi Lusia semakin terkekeh, tertawa senang melihat kami berdua. Dia menatap tajam Gerry yang berada di belakangku.
"Pergilah adikku yang tampan, kau tidak paham dengan apa yang sedang terjadi." ucapnya.
Gerry merengkuh bahuku ke belakang, takut Lusia benar-benar macam-macam.
"Apa yang kamu inginkan Lusia?" tanyaku. Tapi dia kembali tertawa terbahak-bahak.
"Nyawamu." jawabnya, semakin mendekatkan pisaunya di depan hidungku.
"Apa salahku?" tanyaku.
"Salahmu banyak Eva. Kau sudah merebut Dias dari adikku, kau sudah membuat adikku patah hati. Kau juga sudah membuatnya ma-ti!" dia terkekeh seperti orang gila.
"Bukan salahku, aku tidak mengenal adikmu." jawabku.
"Bohong! Adikku bahkan pernah mendatangimu! Tapi kau membiarkannya di tolak mentah-mentah oleh Dias. Kau perempuan yang tidak punya perasaan! Bahkan ketika sudah menikah denganku, kau masih saja mengganggu!"
Lusia.. lusiapa siih, sampe seenaknya aja mau bunuh orang kek bunuh nyamuk 🦟/Slight/
Lusia.. lusialan emang 🤭🏃♀️🏃♀️🏃♀️
hais jd tegang nieh a1 bacanya