"Aku memang lebih muda darimu, Elea," bisik Darren dengan suara rendah, nyaris berdesir di telinganya. Napas hangatnya menggelitik kulit Elea, membuat tubuhnya tanpa sadar bergetar. "Tapi, aku tetaplah seorang pria normal," lanjutnya, suaranya penuh keyakinan, meninggalkan ketegangan yang menggantung di antara mereka.
***
Darren Alaric Everleigh, pewaris tunggal sebuah perusahaan besar, memutuskan untuk menjalani kehidupan yang berbeda. Menyamar sebagai karyawan biasa, ia masuk ke perusahaan milik keluarganya tanpa seorang pun tahu siapa dirinya sebenarnya. Namun, hidupnya berubah saat ia ditempatkan sebagai asisten Elea Victoria Whitmore.
Elea adalah seorang wanita pekerja keras yang diam-diam menyimpan mimpi besar. Namun, mimpi itu selalu dihancurkan oleh suaminya, Adrian, seorang pria yang tidak pernah mendukungnya. Di tengah tekanan pekerjaan dan pernikahan yang dingin, Elea menemukan kenyamanan dalam kehadiran Darren—seorang asisten muda yang penuh perhatian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyurincho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Birmingham Journey
Hari keberangkatan menuju Birmingham akhirnya tiba. Stasiun kereta London Euston pagi itu begitu hidup seperti biasanya. Suara langkah kaki yang tergesa, roda koper yang menyeret lantai, dan pengumuman keberangkatan yang menggema di udara. Aroma kopi panas dari kedai-kedai kecil bercampur dengan udara lembap musim gugur yang menusuk kulit. Langit di luar muram, seakan berat dengan gumpalan awan kelabu yang terus meneteskan gerimis halus. Semuanya tampak bergerak dengan ritme yang sama, sibuk, cepat, dan tak pernah berhenti.
Elea berdiri tegak di peron 8, tampak seperti sosok yang tak tersentuh di tengah keramaian. Jas abu-abu panjang yang membungkus tubuhnya jatuh rapi hingga betis, sementara syal biru tua melilit lehernya dengan anggun. Wajahnya datar, fokus, dan serius, namun semburat kelelahan samar-samar muncul di matanya. Di tangannya, sebuah tas kerja kulit hitam yang mengilap, berisi dokumen-dokumen penting. Pandangannya terpaku pada layar elektronik yang menampilkan jadwal keberangkatan kereta. Angin dingin berembus dari ujung peron, menusuk setiap sudut tubuh yang tidak tertutup pakaian. Namun, Elea hanya membenamkan kedua tangannya lebih dalam ke saku jas, diam seperti batu di tengah arus manusia yang tak ada habisnya.
“Selamat pagi, bos! Jangan bilang kau sudah menunggu lama.”
Suara itu datang tiba-tiba, penuh keceriaan yang begitu khas. Elea menoleh dengan cepat. Darren muncul dari kerumunan dengan senyuman lebar. Jaket wol hitam dan sweter krem yang dipakainya terlihat kasual tapi tetap rapi. Rambutnya sedikit berantakan, entah disengaja atau memang tak diatur. Ada sesuatu dalam gaya santainya yang bertolak belakang dengan profesionalisme Elea, namun di satu sisi, tampak begitu alami, seolah dunia yang sibuk tak menyentuhnya sedikit pun.
“Kau tepat waktu,” ujar Elea singkat, tatapannya dingin seperti biasa. “Tapi aku tak yakin itu seperti sebuah prestasi bagimu.”
Darren tertawa kecil sambil menarik kopernya. Mata gelapnya yang penuh canda menatap Elea seakan melihat sesuatu yang lucu di balik wajah kaku itu.
“Aku selalu tepat waktu kalau menyangkut dirimu, Elea,” balasnya, suaranya setengah bergurau namun terdengar lebih dalam daripada yang seharusnya. “Aku tahu kau benci menunggu.”
Elea hanya mendengus kecil dan membuang pandangannya. Sekilas, ia merapikan syalnya, sebuah gerakan kecil yang tak disengaja, seakan ingin menghalangi perasaan tak nyaman yang entah datang dari mana. Darren selalu berhasil membuatnya merasa sedikit goyah.
***
Gerbong bisnis yang nyaman dipenuhi oleh tim keuangan mereka. Kursi-kursi kulit empuk berjejer rapi, sementara jendela besar menampilkan panorama London yang perlahan memudar di kejauhan. Awan kelabu terus bergelayut, dan tetesan hujan kecil membentuk garis-garis tipis di kaca. Setiap kali kereta bergetar melewati rel, suara kecil berdesir di telinga, seakan menjadi irama perjalanan panjang mereka.
Jane dan Lisa sudah membenamkan diri dalam layar laptop masing-masing, dengan alis berkerut penuh konsentrasi. Sementara itu, Mark dan Fiona, yang duduk berseberangan, berbisik pelan membicarakan agenda proyek minggu ini. Suasana hening, hanya diiringi deru lembut kereta yang melaju dan sesekali desahan napas yang terdengar dari orang-orang yang lelah.
Darren menjatuhkan tubuhnya di kursi sebelah Elea dengan gerakan berlebihan. Ia menyandarkan kepalanya ke belakang sambil menarik napas panjang, suara desahannya terdengar dramatis dan sengaja dilebih-lebihkan.
“Ah, perjalanan ini pasti akan terasa panjang,” katanya, suara lelah yang jelas dibuat-buat. “Tapi setidaknya ada kau di sini. Itu sudah cukup untukku.”
Elea, yang tengah memeriksa jadwal presentasi di laptopnya, melirik Darren dengan tatapan menusuk. Sorot matanya menunjukkan ketidakpercayaan.
“Kita ke sini untuk bekerja, Darren,” ujarnya tajam. “Aku harap kau bisa fokus setidaknya sekali dalam hidupmu. Tidak ada waktu untuk bercanda.”
Darren mendesah dramatis sambil menyunggingkan senyumnya yang khas, senyum yang mampu membuat orang lain kesal tapi tak bisa benar-benar marah.
“Bos, kau meremehkanku. Aku ini anak magang yang penuh dedikasi. Kau akan melihat betapa seriusnya aku kali ini,” ujarnya sambil menyilangkan tangan di dada, pura-pura tersinggung.
“Dedikasimu hanya ada saat kau memutuskan menggoda orang lain,” balas Elea tanpa menatapnya, jarinya terus mengetik dengan cepat di laptopnya.
Tawa Darren pecah, suaranya rendah namun terdengar jelas. Ia bersandar dengan satu siku di meja kecil di antara mereka, wajahnya lebih dekat kini, matanya memandang Elea dengan tatapan yang berbeda.
“Aku cuma penasaran, Elea. Seberapa sering kau melakukan perjalanan seperti ini dengan Adrian?”
Pertanyaan itu membuat Elea berhenti mengetik. Matanya menatap Darren tajam, tapi ia tak langsung menjawab. Ada jeda panjang, seakan ia memilih setiap kata dengan hati-hati. Suasana di antara mereka tiba-tiba berubah, lebih berat, seolah udara di dalam gerbong jadi sulit dihirup.
“Itu bukan urusanmu,” jawab Elea akhirnya, suaranya datar tapi tegas.
Darren tidak tinggal diam. Ia mengangkat bahu, senyum nakalnya tetap bertahan.
“Aku cuma bertanya. Kau tak pernah bicara soal suamimu, dan entah kenapa, aku merasa itu agak...” Ia berhenti sejenak, seakan memilih kata yang tepat. “...menyedihkan. Kau terlalu serius, Elea. Hidup tak harus selalu seperti itu.”
Elea memicingkan mata, amarah kecil tersirat di wajahnya.
“Kami berdua punya prioritas masing-masing. Dia sibuk, aku juga sibuk. Pernikahan adalah soal pengertian, bukan drama.”
Darren memiringkan kepalanya, tatapannya lebih serius kali ini, bukan sekadar iseng.
“Tapi apa itu cukup bagimu, Elea? Kesibukan? Logika? Kau tidak terlihat bahagia. Bukankah hidup harus lebih dari sekadar jadwal kerja dan kewajiban?”
Pertanyaan itu menusuk lebih dalam dari yang Elea duga. Dengan cepat, Elea mengembalikan pandangannya ke layar laptop, memilih untuk tidak menanggapi lebih lanjut.
“Itu urusan pribadiku, dan kau tidak perlu ikut campur,” gumamnya singkat.
Darren hanya tersenyum kecil, namun ada sesuatu di balik senyumnya kali ini—bukan sekadar ejekan, tapi rasa ingin tahu yang lebih dalam. Dan mungkin, kepedulian yang tak ia ungkapkan.
***
Kereta berhenti perlahan, dan tim kecil itu turun ke peron. Udara Birmingham lebih dingin daripada London, menusuk hingga ke tulang. Jalanan basah dan orang-orang berlalu lalang dengan mantel tebal, beberapa bergegas menuju pintu keluar stasiun yang besar dan megah. Gedung-gedung modern menjulang tinggi di kejauhan, menyatu dengan arsitektur tua khas kota industri ini.
Elea melangkah cepat di depan, memimpin timnya dengan langkah pasti. Taksi-taksi hitam berjajar rapi di luar, menanti penumpang. Di sampingnya, Darren berjalan santai, menarik kopernya tanpa beban, seperti seorang turis yang menikmati suasana baru.
“Jadi, bos,” katanya sambil menyelipkan tangan ke dalam saku mantel, matanya menatap langit kelabu di atas mereka. “Kau siap menghadapi seminggu penuh bersamaku?”
Elea meliriknya sekilas, wajahnya tak menunjukkan ekspresi apa pun.
“Kalau kau bisa berhenti menggangguku dan mulai bekerja keras, mungkin aku bisa bertahan.”
Darren tertawa kecil, tawanya lembut namun menggema di tengah hiruk-pikuk pagi itu.
“Kita lihat saja, Elea. Aku punya firasat kau akan berubah pikiran tentangku sebelum minggu ini berakhir.”
Elea mendesah pelan, memilih untuk tidak menjawab. Tapi jauh di dalam dirinya, ada sesuatu yang mulai tumbuh—sebuah perasaan aneh yang tak bisa ia definisikan. Antara frustrasi, rasa penasaran, dan mungkin, ketertarikan samar yang tak ia inginkan.
***