Dia adalah pria yang sangat tampan, namun hidupnya tak bahagia meski memiliki istri berparas cantik karena sejatinya dia adalah pria miskin yang dianggap menumpang hidup pada keluarga sang istri.
Edwin berjuang keras dan membuktikan bila dirinya bisa menjadi orang kaya hingga diusia pernikahan ke-8 tahun dia berhasil menjadi pengusaha kaya, tapi sayangnya semua itu tak merubah apapun yang terjadi.
Edwin bertemu dengan seorang gadis yang ingin menjual kesuciannya demi membiayai pengobatan sang ibu. Karena kasihan Edwin pun menolongnya.
"Bagaimana saya membalas kebaikan anda, Pak?" Andini.
"Jadilah simpananku." Edwin.
Akankah menjadikan Andini simpanan mampu membuat Edwin berpaling dari sang istri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tri Haryani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB. 7 Jadi Membandingkan
"Kenapa, An?" tanya Bima mendengar adiknya yang tadi bergumam.
Andini buru-buru menghampiri sang kakak yang masih duduk di tempatnya.
"Ini Kak, pria yang tadi itu ternyata CEO di tempat aku kerja," ucap Andini sambil menunjukkan kartu nama Edwin pada Bima.
Bima mengambil kartu nama tersebut dari tangan Andini lalu memeriksanya, 'Edwin Pranata CEO restoran Hamara' itulah yang Bima baca.
"Iya An, dia CEO di tempat kamu kerja. Tapi kok bisa kebetulan seperti ini ya kamu ditolong olehnya.
"Aku rasa kita harus membalas kebaikan pak Edwin karena sudah membayarkan biaya rumah sakit ibu, Kak."
"Bagaimana caranya, An, kamu tahu sendiri kalau kita tidak akan mungkin bisa mengembalikan uangnya."
"Aku tahu, Kak, tadi aku mengatakan pada pak Edwin akan mengabulkan permintaannya bila beliau meminta sesuatu untuk membalas kebaikannya. Awalnya beliau menolak tapi aku terus membujukmu dan akhirnya beliau mengatakan akan memintanya bila membutuhkannya."
Bima terkejut mendengar perkataan adiknya, ia tak menyangka bila Andini berani mengambil keputusan seperti itu.
"Kenapa kamu tidak bilang dulu sama Kakak, An. Bagaimana kalau pak Edwin meminta sesuatu yang memberatkan kita? Bagaimana bila dia meminta kesucianmu seperti membelimu?"
"Tidak, Kak, aku yakin pak Edwin tidak akan melakukan itu. Aku melihat beliau orang yang sangat baik, pasti beliau juga mengerti keadaan kita."
"Tapi An_"
"Kak, percaya sama aku. Kalau pak Edwin bukan orang baik dia tidak akan mungkin mau menolong kita," ucap Andini meyakinkan sang Kakak.
"Ya sudah terserahmu, semoga saja benar apa kata kamu bila pak Edwin tidak akan meminta sesuatu yang memberatkan kita apalagi meminta kesucianmu," kata Bima yang diangguki kepala oleh Andini.
"Bagaimana keadaan ibu kita, An, apa dokter sudah ada mengatakan sesuatu?" tanya Bima.
"Belum, Kak, mungkin besok pagi dokter akan mengatakannya pada kita, tapi tentu saja pak Edwin juga harus hadir karena beliaulah yang membiayai rumah sakit ibu."
"Ya, nanti kamu hubungi pak Edwin lebih dulu agar Beliau juga tahu bagaimana kondisi ibu."
"Iya, Kak, semoga pak Edwin lagi tidak sibuk dan bisa datang."
...****************...
Sepulang dari rumah sakit Edwin beristirahat sejenak di rumah, kira-kira hanya 3 jam karena dia pulang sudah menjelang pagi.
Saat membuka mata dadanya terasa di remat karena lagi-lagi Ia hanya tidur sendiri. Beberapa hari ini tidak ada sosok sang istri yang menemaninya tidur apa lagi membangunkannya. Edwin hanya tidur sendiri dan bangun tidur juga masih sendiri.
Edwin pantas dijuluki sebagai duda beristri, memiliki seorang istri namun ia merasa dirinya seperti seorang duda.
Menurunkan kedua kakinya dari ranjang Ia pun menuju kamar mandi lagi-lagi Ia hanya bisa menghembuskan nafas kaca kasar berusaha lebih sabar lagi menghadapi sang istri.
Drrtt.. Drrtt..
Keluar dari kamar mandi Edwin mendapati ponselnya bergetar membuatnya segera mengambilnya.
Keningnya mengkerut saat melihat nomor baru yang ditampilkan dilayar ponselnya, tapi setelah mengingat bila tadi malam ia memberikan kartu nama pada Andini, Edwin pun menekan gagang telepon berwarna hijau.
"Selamat pagi, Pak, maaf mengganggu waktu anda, saya Andini," ucap Andini dari seberang telepon.
Benar dugaan Edwin bila nomor baru yang menghubunginya itu ialah nomor milik Andini.
"Iya Andini ada apa?" tanya Edwin.
"Saya mau memberitahukan bila nanti pukul 08.00 pagi dokter yang merawat ibu akan menjelaskan mengenai kondisi ibu. Apa anda bisa datang ke rumah sakit?"
Edwin melirik jam dinding sekarang masih pukul 06.30. "Ya, saya akan datang ke rumah sakit."
"Baik, Pak, terima kasih. Saya tunggu kedatangan anda."
"Ya."
Panggilan telepon pun berakhir, Edwin tidak langsung meletakkan ponselnya, ia menyimpan nomor ponsel Andini lalu membuka ruang chat sang istri. Disana tidak ada chat masuk atau panggilan tak terjawab dari Mona, istrinya sama sekali tidak menghubunginya padahal karena kejadian semalam dirinya nyaris meminum minuman haram.
"Kamu benar-benar kelewatan, Mon." Edwin menghempaskan begitu saja ponselnya di atas nakas.
Setelah selesai bersiap dengan setelan baju kerjanya. Edwin keluar dari kamar menuju meja makan. Beberapa hari ini juga Edwin sarapan sendiri tidak ada sang istri yang menemaninya makan.
"Mau sarapan apa, Pak?" tanya pelayan.
Edwin sudah duduk menghadap berbagai menu sarapan yang bisa ia pilih. Semuanya sangat lezat namun Edwin sama sekali tak berselera sarapan.
Ia pun memilih bangkit dari duduknya.
"Loh, Pak, tidak jadi sarapan?" tanya pelayan itu lagi.
"Tidak," sahutnya sambil berjalan menuju pintu keluar.
Edwin menuju garasi, mengambil mobilnya disana lalu ia kemudikan menuju rumah sakit. Edwin yang bertanggung jawab atas biaya pengobatan ibu Della sehingga apapun yang berurusan mengenai pengobatan wanita paruh baya itu Edwin yang akan menanggungnya.
Tiba di rumah sakit bertepatan dengan Andini dan Bima yang tengah sarapan bersama. Adik kakak itu cukup terkejut mendapati Edwin yang datang kerumah sakit 30 menit lebih awal dari jam yang Andini katakan.
"Sarapan, Pak," tawar Bima.
"Iya silahkan, sebaiknya saya tunggu di luar." Edwin sudah hendak kembali keluar namun bima buru-buru mencegahnya.
"Eh, jangan Pak, silakan anda duduk di sini saya akan duduk dikursi." Bima bangkit duduknya lalu berjalan menuju kursi yang tadi malam ia pakai.
Edwin mengangguk lalu berjalan mendekat pada sofa bekas Bima duduk lalu menyandarkan punggungnya disana.
Disebelahnya ada Andini yang juga tengah sarapan. Gadis itu langsung menoleh kearahnya.
"Anda sudah sarapan, Pak?" tanya Andini.
"Belum," jawab Edwin.
"Ya ampun, Pak, maaf, anda jadi belum sarapan gara-gara saya menghubungi anda terlalu pagi jadinya anda langsung pergi ke sini," ucap Andini tak enak hati.
Edwin tersenyum kecil, bukan karena itu ia tidak sarapan melainkan karena tidak ada yang menemaninya sarapan.
"Tidak apa-apa," ucap Edwin.
"Kalau begitu tunggu saya selesai sarapan, ya, Pak. Nanti saya antar beli nasi uduk."
Eh.
Seolah tersadar bila Edwin ialah orang kaya, Andini buru-buru bertanya.
"Anda makan nasi uduk kan?"
"Seperti yang saya makan ini," sambung Andini sambil menunjukan nasi uduk miliknya.
Edwin melirik pada menu sarapan yang Andini makan lalu mengangguk. "Saya makan itu."
"Ah, syukurlah kalau anda makan nasi uduk. Soalnya saya nggak sanggup kalau traktir anda makanan yang mahal. Hehehe."
Edwin geleng-geleng. "Siapa juga yang minta ditraktir kamu."
"Ya siapa tahu saja, Pak, balas budi saya terbayarkan oleh nasi uduk. Hehehe."
Lagi-lagi Andini menyengir membuat Edwin juga menarik sudut bibirnya ikut tersenyum. Entah Sudah berapa kali dirinya tersenyum dan terkekeh saat bersama Andini, padahal mereka baru mengenal dalam hitungan jam.
Berbeda dengan dirinya saat bersama Mona yang hampir tidak pernah tersenyum apa lagi tertawa karena tak ada sesuatu yang membuatnya tersenyum dan tertawa.
Ah. Kenapa Edwin jadi membandingkannya sih?