Shin adalah siswa jenius di Akademi Sihir, tapi ada satu masalah besar: dia nggak bisa pakai sihir! Sejak lahir, energi sihirnya tersegel akibat orang tuanya yang iseng belajar sihir terlarang waktu dia masih di dalam kandungan. Alhasil, Shin jadi satu-satunya siswa di Akademi yang malah sering dijadikan bahan ejekan.
Tapi, apakah Shin akan menyerah? Tentu tidak! Dengan tekad kuat (dan sedikit kekonyolan), dia mencoba segala cara untuk membuka segel sihirnya. Mulai dari tarian aneh yang katanya bisa membuka segel, sampai mantra yang nggak pernah benar. Bahkan, dia pernah mencoba minum ramuan yang ternyata cuma bikin dia bersin tanpa henti. Gagal? Sudah pasti!
Tapi siapa sangka, dalam kemarahannya yang memuncak, Shin malah menemukan sesuatu yang sangat "berharga". Sihir memang brengsek, tapi ternyata dunia ini jauh lebih kacau dari yang dia bayangkan!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kembali ke Akademi dan Laporan-laporan kocak
Shin dan Leo melangkah kembali ke Akademi Sihir setelah petualangan mereka yang penuh kekacauan di Hutan Terlarang. Udara segar di luar menampar wajah mereka, dan meskipun Shin sedikit lelah setelah pertempuran melawan monster dan mencoba berbagai eksperimen konyol untuk membuka segelnya, ia tak bisa menahan tawa mendengar suara Leo yang berdiri tegak di sampingnya.
"Sial, gue benci banget kembali ke tempat ini," gumam Shin sambil memiringkan kepalanya, melirik ke arah Leo yang tampaknya sangat serius. "Maksud gue, ini tempat yang selalu penuh dengan drama dan aturan konyol!"
Leo memandang Shin dengan tatapan tajam, tapi tetap menjaga sikap sopannya. "Shin, kita harus melaporkan kejadian ini kepada Kepala Sekolah. Itu yang benar."
Shin menggerutu. "Laporan apa sih? Bukannya dia udah tau kita berdua selamat, kan? Hahaha... Ngapain kita bikin laporan?"
Leo menarik napas panjang. "Karena... itu adalah prosedur yang harus kita ikuti. Kita perlu melaporkan keberhasilan kita dan menjelaskan bagaimana kita mengalahkan monster-monster itu."
Shin menggelengkan kepala dengan pelan. "Beneran, Leo, kadang gue bingung sama lo. Kenapa lo harus selalu ngikutin aturan sih? Kan, hidup udah cukup aneh tanpa harus ikut aturan-aturan itu."
"Karena... itulah cara orang terhormat berperilaku," jawab Leo, tetap dengan nada serius. "Jika kita tidak mengikuti aturan, kita bisa berakhir dalam masalah besar, Shin."
Shin menatap Leo dengan ekspresi bingung. "Maksud lo... masalah besar kayak waktu lo harus ikut ujian sihir dan malah tiba-tiba jadi badut? Hahaha! Gitu maksud lo?"
Leo menatap Shin dengan pandangan datar. "Tolong, Shin. Jangan mulai lagi."
Shin hanya tertawa kecil. "Ah, lo tuh lucu, Leo. Tapi, ya sudah. Kita masuk aja ke dalam. Gue juga malas dengerin nasehat lo."
Setelah beberapa saat, mereka sampai di depan ruang Kepala Sekolah, dan dengan langkah yang sedikit ragu, Shin membuka pintu.
"Selamat datang, Shin dan Leo. Kalian tampaknya kembali dengan selamat," kata Kepala Sekolah, yang duduk di belakang meja besar dengan ekspresi yang cukup serius.
Shin masuk tanpa banyak bicara, langsung melemparkan diri ke kursi yang ada di depan meja Kepala Sekolah. "Yah, kita selamat, sih. Tapi ngomong-ngomong, apa kabar, Pak Kepala Sekolah? Kira-kira ada yang menarik terjadi di sini selama kami hilang?"
Kepala Sekolah mengangkat alis, terlihat tak terkejut dengan sikap Shin. "Ada beberapa hal yang terjadi, tapi itu bukan urusan kalian. Kalian seharusnya tahu bahwa Akademi ini tetap berjalan meskipun kalian berdua sedang tidak ada."
Shin mendengus. "Ah, jadi di sini cuma sibuk aturan aja ya? Kita baru aja selesai bertempur dengan monster super kuat, eh malah diomelin."
Leo langsung memberikan tatapan meminta maaf kepada Kepala Sekolah. "Maaf, Kepala Sekolah. Kami hanya ingin melaporkan hasil kami dan memastikan semuanya baik-baik saja."
Kepala Sekolah menghela napas. "Ceritakan semuanya, dari awal hingga akhir. Bagaimana kalian berhasil mengalahkan monster-monster itu? Dan... apa yang terjadi dengan Arvin?"
Shin mengangkat bahu. "Hah? Arvin? Nggak tahu, dia udah hilang entah ke mana setelah kita selesai dengan monster-monster itu. Sepertinya dia punya urusan sendiri, deh."
Leo menatap Shin dengan sedikit curiga, tapi Shin tidak peduli. "Pokoknya, kami berhasil mengalahkan monster-monster itu dan kembali dengan selamat. Gimana, ada masalah, Pak?"
Kepala Sekolah melirik mereka berdua dengan tatapan penuh perhatian. "Kalian berdua, Shin, Leo... kalian sudah melewati banyak hal. Tapi ingat, ini bukan akhir dari semuanya. Segel yang ada pada diri Shin... itu jauh lebih rumit daripada yang kalian kira. Dan kalian perlu lebih berhati-hati, terutama dengan Arvin yang tiba-tiba menghilang begitu saja."
Shin tercengang mendengar ini. "Apa maksudnya, Pak? Arvin? Kenapa dia tiba-tiba hilang gitu aja?"
Kepala Sekolah menatap mereka dengan serius, namun tanpa memberi penjelasan lebih lanjut. "Itu urusan yang lebih besar. Untuk saat ini, kembalilah ke kamar asrama kalian dan persiapkan diri kalian. Aku punya rasa bahwa tantangan sesungguhnya baru akan dimulai."
Setelah meninggalkan ruang Kepala Sekolah, Shin dan Leo berjalan ke asrama. Udara malam yang tenang hanya dihiasi suara langkah kaki mereka yang berat.
Shin merasa ada sesuatu yang aneh. Kepala Sekolah tampaknya tahu lebih banyak tentang situasi yang mereka hadapi. Ada sesuatu yang lebih gelap sedang mengintai.
"Leo," Shin memulai, "Lo ngerasa ada yang aneh nggak? Kenapa Kepala Sekolah ngomong soal tantangan baru?"
Leo mengangguk pelan. "Aku juga merasa itu. Ada sesuatu yang tidak kita ketahui. Arvin... dia pasti tahu lebih banyak, kan?"
Shin melirik ke arah Leo. "Lo yakin Arvin tahu lebih banyak? Hahaha, itu orang emang bisa sangat misterius kadang."
Leo tak menjawab, hanya mempercepat langkahnya.
Namun, sesaat sebelum mereka sampai di kamar asrama, mereka berdua mendengar suara langkah kaki mendekat dari belakang. Suara itu terdengar seperti seseorang yang sedang berjalan cepat, namun tidak ada yang bisa mereka lihat.
Shin menoleh ke belakang, tetapi hanya gelap yang ada. "Eh, siapa itu?"
Leo menoleh, tetapi tidak ada seorang pun yang tampak. "Mungkin... itu hanya angin."
Tapi Shin merasa ada yang tidak beres. Ia merasa seperti ada yang mengawasi mereka dari kegelapan malam yang semakin tebal.
Mereka akhirnya tiba di kamar asrama, dan Shin langsung melemparkan diri ke tempat tidur, merasa cemas dengan apa yang baru saja terjadi. Sesuatu yang besar sedang datang, dan Shin bisa merasakannya.