Tiga ribu tahun setelah Raja Iblis "Dark" dikalahkan dan sihir kegelapan menghilang, seorang anak terlahir dengan elemen kegelapan yang memicu ketakutan dunia. Dihindari dan dikejar, anak ini melarikan diri dan menemukan sebuah pedang legendaris yang memunculkan kekuatan kegelapan dalam dirinya. Dipenuhi dendam, ia mencabut pedang itu dan mendeklarasikan dirinya sebagai Kuroten, pemimpin pasukan iblis Colmillos Eternos. Dengan kekuatan baru, ia siap menuntut balas terhadap dunia yang menolaknya, membuka kembali era kegelapan yang telah lama terlupakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yusei-kun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pemburu di Balik Kabut
Matahari pagi bersinar lembut di atas salju yang menyelimuti seluruh wilayah Arcatria. Rombongan itu bergerak perlahan menembus dinginnya udara pagi, dipandu oleh Borzak dan cucu-cucunya. Hari ini adalah hari yang mereka nanti-nantikan sejak tiba di kediaman Borzak: panen Cryomorphia. Jamur unik ini merupakan salah satu komoditas paling berharga di Arcatria karena kegunaannya dalam ramuan sihir tingkat tinggi dan pengobatan.
Keenam anggota rombongan Yusei berpencar, masing-masing dipandu oleh salah satu dari empat cucu Borzak atau oleh Borzak sendiri. Sai, yang tampak paling antusias, sibuk memanen jamur sambil bercanda dengan Eryon, cucu tertua Borzak yang terlihat tegas namun penuh perhatian. Katsuya, di sisi lain, tampak serius, mendengarkan dengan saksama arahan dari Frostan yang tenang namun tak banyak bicara. Kaito, meski biasanya santai, kali ini terlihat antusias bertanya tentang berbagai jenis Cryomorphia kepada Sylvia, yang menjawab dengan senyuman ramah. Yuki, dengan sifat lembutnya, terpesona oleh pengetahuan Nivara tentang tanaman dan jamur langka, mengajukan pertanyaan tanpa henti.
Sementara itu, Yusei mendapat kehormatan untuk dipandu langsung oleh Borzak. Pria tua itu, meskipun terlihat ringkih, memiliki energi yang luar biasa dan wawasan luas tentang hutan bersalju ini. Mereka berjalan perlahan, berbincang tentang berbagai hal.
"Bagaimana keadaan di Akademi Altais, anak muda?" tanya Borzak sambil memetik sebuah Cryomorphia besar dengan cekatan.
"Akademi berjalan seperti biasa, meskipun tahun ini cukup menantang. Banyak misi berbahaya yang harus kami hadapi," jawab Yusei sambil memungut beberapa jamur di sekitarnya.
Borzak mengangguk pelan. "Dunia ini memang tidak pernah benar-benar damai. Tapi aku yakin kau dan teman-temanmu akan menjadi penyihir yang hebat suatu hari nanti."
Yusei tersenyum kecil, lalu memutuskan untuk menceritakan sedikit tentang dirinya. "Saya berasal dari clan Shimizu," katanya perlahan.
Borzak berhenti sejenak, tatapannya berubah serius. "Clan Shimizu... Itu nama besar, meskipun kini hanya tinggal kenangan," ucapnya dengan nada dalam.
Yusei mengangguk, tak ingin terlalu larut dalam kesedihan. Namun, ia merasa bahwa Borzak tahu lebih banyak tentang tragedi yang menimpa klannya daripada yang ia ungkapkan.
"Yang penting adalah kau terus maju, anak muda. Jangan biarkan bayang-bayang masa lalu menghentikan langkahmu," lanjut Borzak sambil tersenyum.
Percakapan mereka terhenti ketika kabut mulai turun perlahan, menyelimuti hutan. Yusei memperhatikan bahwa jarak pandang mulai terbatas. Ia mencoba mengingat posisi teman-temannya, memastikan bahwa semua orang aman.
"Eryon dengan Katsuya... Frostan dengan Sai... Sylvia dengan Kaito... Nivara dengan Yuki..." gumamnya dalam hati sambil menghitung. Namun, ia tiba-tiba teringat sesuatu yang membuat dadanya berdegup kencang.
"Hiyori!" pikirnya. Ia sadar bahwa Hiyori tidak ditemani siapa pun. Segera, Yusei menoleh ke belakang, berharap bisa melihat jejak langkah mereka atau siluet Hiyori, namun kabut sudah terlalu tebal. Semua terlihat putih dan samar.
Borzak, yang memperhatikan kegelisahan Yusei, segera berbicara. "Kabut ini biasa terjadi di hutan ini. Di dekat sini ada goa, mari berteduh dahulu. Jangan khawatir, cucu-cucuku sudah terbiasa dengan kondisi seperti ini. Teman-temanmu pasti juga mencari tempat berteduh," ucapnya tenang.
"Tuan, saya rasa Hiyori sendirian. Aku harus mencarinya," balas Yusei dengan nada cemas.
Namun, Borzak tetap tenang. "Tadi aku melihatnya bersama Sylvia dan pemuda yang bersamamu malam tadi. Tenang saja, anak muda. Kabut ini memang menyesatkan, tapi mereka pasti baik-baik saja."
Yusei merasa ragu, namun akhirnya mengikuti Borzak menuju goa yang dimaksud.
Sementara itu, di tempat lain, kabut yang semakin tebal memaksa kelompok-kelompok kecil itu mencari perlindungan. Eryon memimpin Katsuya menuju sebuah gua kecil di sisi bukit, sementara Frostan membawa Sai ke celah di bawah pohon besar yang akar-akarnya membentuk pelindung alami. Sylvia dan Kaito menemukan tempat berteduh di bawah tebing salju, dan Nivara membawa Yuki ke balik formasi batu besar.
Namun, Hiyori, yang terpisah dari rombongan, menghadapi situasi berbeda. Ia terpaksa harus berhadapan dengan pria bertopeng yang ia temui. Hiyori berhenti, mempersiapkan diri untuk mengeluarkan sihir. "Siapa di sana?" tanyanya, suaranya bergetar oleh dinginnya udara dan rasa waspada. "Apa yang kau inginkan?" tanya Hiyori dengan nada tajam, mencoba menyembunyikan kegelisahannya.
Pria itu tidak menjawab. Sebagai gantinya, ia mengangkat tangan, memanggil belati yang terbuat dari sihir es. Dengan gerakan cepat, ia melancarkan serangan.
Hiyori menghindar dengan lincah dan menangkis serangan berikutnya. Pertarungan sengit pun dimulai. Meskipun pria itu tampak lebih kuat, Hiyori menunjukkan hasil latihannya selama ini.
"Siapa kau sebenarnya? Apa yang kau cari?" seru Hiyori sambil terus bertarung. Namun, pria itu tetap diam, hanya menjawab dengan serangan yang semakin cepat dan mematikan.
Pria tersebut terus menyerang, namun sepertinya ia sedikit menahan serangannya dan ingin melihat kemampuan Hiyori sejauh apa. "Jika kau terus menghindar dan menepis, jangan harap kau bisa menang" ucap pria tersebut.
Hiyori masih berusaha sekuat tenaga untuk melawan, ia mengalirkan sihir ke seluruh tubuhnya sehingga ia bisa menembakkan air dari arah manapun. "Aku sudah terbiasa dengan ini" ucap Hiyori yang kemudian memadatkan sihirnya dan menembakkan peluru-peluru air ke arah pria tersebut. Pria tersebut berhasil menghindar sehingga serangan Hiyori mengenai pohon yang ada di belakang pria tersebut, menciptakan ledakan air yang cukup kuat sehingga menghancurkan sebagian batang pohon tersebut.
"Menarik, bahkan dia belum menguasai elemen es. Apakah dia bisa menjadi salah satu kriteria?" pikir pria tersebut yang masih mengamati sejauh mana kekuatan Hiyori.
Hiyori kemudian memperbesar ukuran pelurunya dan memperbanyaknya sehingga peluang pria tersebut untuk menghindar menjadi lebih sedikit. Pria tersebut terus menghindar, melompat kesamping, merunduk ke bawah, dan juga melompat ke atas, hingga salah satu bola air dari Hiyori tepat melesat ke arahnya, sehingga ia terpaksa mengunakan belatinya untuk memecah bola ari tersebut. Namun, tembakan dari bola air tersebut cukup kuat sehingga membuatnya terdorong meskipun bola airnya sudah pecah.
"Bahkan kekutan tembakan airnya cukup kuat, ini menarik" gumam pria tersebut dalam hati. Kemudian pria tersebut mulai serius menyerang Hiyori, setiap air yang ditembakkan oleh Hiyori diubah menjadi es oleh pria tersebut dan dibalikkan ke arah Hiyori. Setiap bola-bola dan juga peluru-peluru air milik Hiyori dibalikkan kembali namun dalam bentuk es yang lebih keras sehingga beberapa serangannya mengenai Hiyori dan membuatnya terhempas ke batang pohon.
Sementara itu di sisi Kaito dan Sylvia yang akan menuju tempat di dekat tebing. Sylvia terus saja mengajak Kaito berbicara, ketika Kaito mencoba menoleh ke belakang untuk memastikan sesuatu tiba-tiba Sylvia mengalihkan pandanganya dan mengajaknya berbicara dengan topik yang lain. Menyadari sikap Sylvia yang mulai aneh, ditambah lagi Kaito merasakan kehadiran seseorang yang sedang mengintai mereka, tiba-tiba Kaito berhenti sejenak.
"Tidak apa-apa Sylvia, kau tidak perlu menyembunyikannya" ucap Kaito sambil memegang kedua bahu Sylvia. "Raut wajahmu tidak bisa berbohong, dan aku tahu kalau kau terpaksa melakukan ini" ucap Kaito yang kemudian menyebarkan elemen esnya ke sekeliling kabut sehingga membuat kabut tersebut membeku dan terjatuh. Latihan keras Kaito selama ini ternyata sudah membuahkan hasil yang cukup memuaskan, saat ini ia telah menguasai elemen es.
Ketika kabut sudah mulai hilang, Kaito maju beberapa langkah ke arah belakang Sylvia. "Ku rasa tugas mu sudah selesai, kau sudah boleh pergi sekarang" perintah Kaito kepada Sylvia. "Aku tidak tau apa tujuanmu, tapi aku tau apa maksudmu. Ayo kita selesaikan disini sekarang" ucap Kaito yang mengarah ke seorang pria bertopeng yang telah mengintai mereka daritadi.
Pria bertopeng itu tersenyum, dan Sylvia yang entah merasa takut, sedih, atau mungkin lega ia akhirnya pergi berlari meninggalkan mereka berdua. "Maafkan aku, Kaito" sambil meneteskan air matanya.
Sementara itu Kaito yang telah mengalirkan sihir ke seluruh tubuhnya sudah bersiap untuk bertarung. Kali ini Kaito sudah jauh lebih kuat, jika sebelumnya ia hanya ahli dalam sihir penyembuhan dan pertarungan fisik, namun kali ini ia telah menguasai sihir tingkat lanjut yaitu elemen es, sehingga saat ini ia sedang dalam kondisi siap untuk bertarung.
Di dalam goa, Yusei duduk di dekat dinding, mencoba menghilangkan rasa gelisahnya. Borzak menyalakan api kecil untuk menghangatkan mereka.
"Tenanglah, anak muda. Kabut ini akan hilang seiring waktu. Cucu-cucuku sudah terbiasa dengan kondisi ini," kata Borzak sambil tersenyum.
"Tidak apa-apa, tuan Borzak. Anda istirahat saja disini, aku ingin mengecek sekeliling dulu, tenang saja, aku punya penglihatan yang cukup bagus" ucap Yusei kemudian pergi meninggalkan Borzak sendirian di goa tersebut. Yusei yang sudah dari awal merasakan keanehan, seolah-olah mereka dibuat terpisah satu sama lain.
Setelah cukup jauh dari goa tersebut, di dalam kabut putih tebal yang menyelimuti hutan. "Sepertinya ini adalah tempat yang cocok untuk kita" ucap Yusei sambil mengeluarkan pedangnya dan mengarahkannya ke seorang pria yang dari tadi sudah mengintai mereka.
"Hahaha, klan Shimizu yang terakhir. Sepertinya aku dapat tangkapan yang bagus...."