Ada cowok yang pikirannya masih di zaman batu, yang menganggap seks cuma sekedar kompetisi. Semakin banyak cewek yang ditiduri, maka semakin jantan dia.
Terus ada juga yang menganggap ini cuma sebagai salah satu ajang seleksi. Kalau goyangannya enak, maka mereka bakal jadian.
Ada lagi yang melihat ini cuma buat kesenangan, tanpa perlu ada keterikatan. Ya, melakukannya cuma karena suka. Sudah, begitu saja.
Dan ada juga cowok yang menganggap seks itu sesuatu yang sakral. Sesuatu yang cuma bisa mereka lakukan sama orang yang benar-benar mereka sayangi.
Nah, kalau gue sendiri?
Jujur, gue juga nggak mengerti. Gue bahkan nggak tahu apa arti seks buat gue.
Terus, sekarang gue ada di sini sama Carolline?
Gue baru kenal dia, jadi gue nggak ada niatan buat tidur sama dia. Tapi kalau soal bikin dia puas?
Itu cerita lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Teman Satu Kelas
...Asta...
...✦•┈๑⋅⋯ ⋯⋅๑┈•✦...
Gue nggak bisa tidur.
Bolak-balik di kasur, kepala gue muter-muter mikirin tiap momen, tiap tatapan, dan pastinya cara Selma sama Phyton pamit tadi.
..."Ini urusan pribadi, lo nggak usah ikut campur."...
Gue pengen banget tanya, tapi gue tahu ini bukan urusan gue. Gue bukan tipe orang yang suka maksa atau ikut campur tanpa izin. Gue hargai privasi orang. Tapi, tetap saja gue kepikiran soal Phyton sama cowok itu… Melvin.
Dan ternyata dia malah kakaknya Selma?
Sumpah, gue nggak nyangka.
Senyum canggung Selma terus kebayang di kepala gue. Cara dia genggam tangannya erat, ngelak buat menatap gue.
Dia malu atau bagaimana?
Bukan salah dia kalau kakaknya ternyata seorang gay. Ini pertama kalinya gue lihat dia sekaku itu. Bahkan waktu malam di mana kita bertemu pun dia nggak setegang ini.
Akhirnya, gue menyerah dan keluar kamar. Koridor gelap menyambut gue sampai gue sampai ruang tamu, dan kaget pas lihat lampu dekat balkon menyala. Gue loncat pas melihat ada sosok di ujung sofa panjang.
"Ah!" kejut gue, pas sadar siapa yang duduk di situ, pakai piyama, kaki dipeluk ke dada. Dia mandang ke arah balkon, rambutnya jatuh di sisi wajah. "Vey?"
Dia nurunin kepalanya, rambutnya kayak tirai menutupi mukanya, terus dia cepat-cepat ngelap wajahnya.
Dia habis nangis?
Berantem sama Dino, ya?
Gue maju selangkah ke arahnya.
"Gue nggak apa-apa," kata dia sambil angkat muka buat lihat gue. Matanya masih berkaca-kaca, tapi dia maksa senyum.
"Vey..."
"Nggak bisa tidur? Sama, gue juga," dia nyengir, tapi kelihatan dipaksain, dan entah kenapa itu bikin gue sedih.
Gue duduk di sofa, kasih jarak satu badan. Nggak mau bikin dia nggak nyaman.
"Iya, malem ini aneh banget. Otak gue nggak bisa berhenti mikirin semuanya."
Dia geleng-geleng kepala. "Pas pertama kenal lo, gue kira lo tipe manusia yang males ngomong sama orang lain, yang nggak mau buang waktu sama kita-kita, manusia biasa... Gue mikir lo sombong atau entahlah, lo tahu sendiri, dan..."
"Dan...?"
"Dan lo cakep." Dia angkat bahu santai, sementara gue pura-pura biasa aja. Gue memang nggak jago menanggapi pujian. "Tapi sekarang gue paham."
"Oh ya? Paham apa?" Gue silangkan tangan, pura-pura tertarik, apa aja deh biar dia lupa sama masalahnya.
"Lo kebanyakan mikir. Serius, lo harus santai dikit."
"Semua orang pada bilang begitu."
Vey cemberut, terus nunjukin jari tengah ke gue.
"Benaran." Gue lanjut ngomong karena, jujur, gue kangen ngobrol gini. Gue selalu merasa nyaman sama dia, mungkin juga karena kita makin sering ketemu belakangan ini. "Lo bukan yang pertama bilang gitu. Kakak-kakak gue, pacar mereka, Dino... Teman-teman cewek di kampus, semua orang bilang gitu."
"Terus kenapa lo nggak coba?" Dia noleh, matanya langsung membidik mata gue.
"Maksud lo, kenapa gue nggak coba buat santai aja?" keluh gue pelan. "Nggak tahu, kayaknya memang bukan sifat gue."
"Lo nggak capek hidup kayak gitu? Pasti ribet banget kalau setiap hal harus dipikirin sampai segitunya. Kayak lo hidup di atas ladang ranjau, harus mengamati setiap gerakan."
Dia meluk bantal sofa, dan mata gue malah melirik ke belahan dadanya.
Reflex saja, sumpah.
Piyamanya belahannya lumayan rendah, dan gue bisa lihat sedikit kulit di antara dadanya. Gue buru-buru naikkan pandangan lagi, terus merasa pipi gue agak panas.
Tadi kita lagi bahas apa, ya?
Oh, iya...
Gue sempat hilang fokus sebentar, tapi tanpa sadar, mulut gue malah tanya hal yang dari tadi gue tahan.
"Lo kenapa nangis?"
Vey buang muka terus mengeluh pelan. "Langsung to the point, ya?"
"Sorry, lo nggak harus jawab kalau..."
"Santai, gue cuma cewek biasa, dan gak ada rahasia besar yang harus di sembunyiin."
"Jangan ngomong gitu."
Dia ketawa kecil. "Beneran. Gue nangis gara-gara cowok."
Gue diam, nunggu dia lanjut.
"Cowok yang nggak suka sama gue."
Gue bingung harus ngomong apa.
"Dino?"
"Siapa lagi?" Dia mengeluh, terus mata kita ketemu.
Kayaknya kita mikirin hal yang sama, soalnya tiba-tiba dia tanya, "Serius, lo sempat kepikiran gue nangis gara-gara lo? Gue nggak segitu melankolisnya, Asta. Lagian kita juga belum pernah..."
Dia berhenti, dan tiba-tiba suasana berubah total. Gue yakin dia juga keingat malem itu. Malem pas pesta di sini, dia deketin gue. Terus, pas gue mabok, gue sempat ngaku ke Dino kalau gue suka sama dia.
Hening.
Oke, suasana santai barusan sudah buyar total. Gue garuk belakang leher, terus berdehem, mencoba cari cara buat balikin mood.
"Gue nggak se-narsis itu sampai mikir lo nangis gara-gara gue, Vey."
"Santai, gue cuma bercanda." Dia meluk bantalnya lebih kencang.
"Jadi… Dino, ya? Ada apa emang?"
"Gue bingung… Gue sama dia… ya, kita cuma seru-seruan aja. Tapi setiap kali kita mau melangkah serius, selalu aja ada yang mundur. Dan dia…"
"Dia kenapa?"
"Gue rasa dia masih belum move on."
Gue langsung kerutkan alis.
"Belum move on dari siapa?"
"Mantan dia."
Gue kaget banget.
Dino nggak pernah ngobrolin cewek. Dia selalu kelihatan santai, kayak nggak ada yang bisa ganggu dia. Kalau yang Vey bilang benar, dan dia masih kepikiran sama mantannya, harusnya dia pernah cerita, kan?
"Gue benaran nggak tahu itu siapa."
"Tuh kan? Dia sama sekali nggak pernah menyebut namanya."
"Gue bahkan nggak tahu Dino pernah pacaran serius. Gue kira tahun pertama dia di kampus sama aja kayak tahun kedua ini, liar."
Vey mengeluh pelan.
"Nggak. Dari yang gue tahu, dia kenal cewek itu di bulan kedua awal dia masuk kampus."
"Siapa namanya?"
"Bessie."
"Hah?"
Gue langsung freeze.
Nggak mungkin.
Nggak mungkin Bessie yang itu.
Satu-satunya teman cewek yang gue punya di kampus
cobalah utk hidup normal phyton
𝚜𝚊𝚕𝚞𝚝 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊,𝚠𝚊𝚕𝚊𝚞𝚙𝚞𝚗 𝚖𝚊𝚕𝚟𝚒𝚗 𝚔𝚊𝚔𝚊𝚔𝚗𝚢𝚊 𝚝𝚊𝚙𝚒 𝚍𝚒𝚊 𝚝𝚍𝚔 𝚋𝚎𝚕𝚊𝚒𝚗 𝚔𝚊𝚔𝚊𝚔𝚗𝚢𝚊,𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊 𝚖𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚗𝚐𝚎𝚍𝚞𝚔𝚞𝚗𝚐 𝚙𝚑𝚢𝚝𝚘𝚗
𝚜𝚎𝚖𝚊𝚗𝚐𝚊𝚝 𝚍𝚘𝚗𝚐 🥰🥰
𝚜𝚖𝚘𝚐𝚊 𝚌𝚘𝚌𝚘𝚔 𝚢𝚊 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊 🥰🥰
𝚜𝚎𝚖𝚘𝚐𝚊 𝚍𝚐𝚗 𝚊𝚍𝚊𝚗𝚢𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊 𝚔𝚊𝚖𝚞 𝚋𝚒𝚜𝚊 𝚗𝚎𝚖𝚞𝚒𝚗 𝚓𝚊𝚝𝚒 𝚍𝚒𝚛𝚒 𝚔𝚊𝚖𝚞 𝚍𝚊𝚗 𝚕𝚞𝚙𝚊𝚒𝚗 𝚟𝚎𝚢..𝚐𝚊𝚔 𝚜𝚎𝚝𝚞𝚓𝚞 𝚔𝚕𝚘 𝚊𝚜𝚝𝚊 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚟𝚎𝚢