Elle, seorang barista di sebuah kedai kopi kecil di ujung kota, tanpa sengaja terlibat perselisihan dengan Nichole, pemimpin geng paling ditakuti di New York. Nichole menawarkan pengampunan, namun dengan satu syarat: Elle harus menjadi istrinya selama enam bulan. Mampukah Elle meluluhkan hati seorang mafia keji seperti Nichole?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Absolute Rui, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 4: Cemburu kah?
Seminggu setelah acara amal, hubungan antara Elle dan Nichole tetap seperti roller coaster. Kadang mereka seperti dua orang asing, dan di lain waktu ada percikan kecil di antara mereka yang sulit dijelaskan. Namun, Elle terus berusaha menjalani perannya sebagai “istri” tanpa terlalu banyak mengajukan pertanyaan.
Hari itu, Elle memutuskan untuk pergi keluar sendiri. Ia merasa perlu sedikit melarikan diri dari dunia Nichole yang penuh tekanan. Ia berjalan-jalan di taman kota yang dipenuhi pepohonan rindang, menikmati udara segar yang mengalir di wajahnya. Saat sedang duduk di bangku taman, seorang pria muda mendekatinya.
Pria itu terlihat ramah, dengan senyum hangat dan mata cokelat yang bersinar lembut. “Hai, maaf mengganggu. Tapi aku perhatikan kau terlihat seperti sedang mencari sesuatu. Kau baik-baik saja?”
Elle terkejut oleh sapaan itu. “Oh, tidak, aku baik-baik saja. Hanya menikmati udara segar,” jawabnya dengan senyum sopan.
Pria itu duduk di bangku yang sama, menjaga jarak yang cukup sopan. “Nama aku Adrian. Aku sering ke taman ini, tapi aku belum pernah melihatmu sebelumnya.”
Elle ragu sejenak sebelum memperkenalkan dirinya. “Aku Elle. Aku jarang keluar rumah, jadi mungkin itu sebabnya.”
Percakapan mereka berlanjut dengan lancar. Adrian ternyata seorang seniman jalanan yang sering menghabiskan waktu di taman untuk mencari inspirasi. Ia bercerita tentang lukisan-lukisannya, hidupnya yang sederhana, dan mimpinya untuk membuka galeri seni suatu hari nanti.
Ada sesuatu tentang Adrian yang membuat Elle merasa nyaman. Mungkin karena ia begitu berbeda dari Nichole—hangat, ramah, dan penuh energi positif. Tanpa ia sadari, senyumnya semakin lebar seiring dengan berjalannya percakapan.
Namun, kebahagiaan singkat itu segera terganggu. Dari kejauhan, seseorang berjalan mendekat dengan langkah mantap. Sosok itu tinggi, dengan setelan hitam khasnya dan aura mengintimidasi yang tak bisa disembunyikan.
Nichole.
Tatapan dinginnya langsung tertuju pada Adrian, yang belum menyadari kehadirannya. Namun, saat Adrian akhirnya melihat Nichole, ia tampak bingung sekaligus canggung. Nichole tidak mengatakan apa-apa, hanya berdiri di sana dengan ekspresi yang sulit ditebak.
“Elle,” suaranya rendah tapi penuh otoritas, “kau harus ikut aku sekarang.”
Elle berdiri dengan gugup. “Tapi aku—”
Nichole tidak membiarkan Elle menyelesaikan kalimatnya. “Sekarang,” katanya lagi, lebih tegas.
Adrian terlihat bingung. “Hei, tunggu. Siapa dia? Apa kau kenal pria ini, Elle?”
Nichole mendekat, berdiri di depan Adrian dengan sikap mendominasi. “Aku suaminya,” jawabnya dengan nada dingin yang hampir membuat udara di sekitar mereka membeku.
Adrian mundur sedikit, kaget. “Oh, maaf, aku tidak tahu. Aku hanya...”
“Pergi,” potong Nichole tanpa memberi kesempatan untuk menjelaskan.
Adrian menatap Elle sekali lagi sebelum akhirnya mengangkat tangannya sebagai tanda menyerah dan berjalan pergi.
Elle hanya bisa menghela napas dalam-dalam sebelum menatap Nichole dengan tatapan penuh protes. “Apa-apaan itu? Kau tidak perlu bersikap seperti itu padanya.”
Nichole tidak menjawab, tapi ia mulai berjalan pergi. Dengan enggan, Elle mengikutinya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Di dalam mobil yang membawa mereka kembali ke penthouse, suasana begitu tegang. Nichole hanya duduk diam, menatap lurus ke depan dengan rahangnya yang mengeras.
“Kalau kau punya masalah denganku, lebih baik katakan langsung,” kata Elle akhirnya, memecah keheningan.
Nichole menoleh padanya, tatapannya dingin seperti es. “Masalahku? Masalahku adalah kau duduk di taman dengan pria asing yang tidak kukenal, tertawa seperti itu adalah hal paling wajar di dunia.”
Elle terkejut dengan jawabannya. “Dia hanya seorang pria ramah yang kebetulan berbicara denganku. Apa itu salah?”
Nichole mendekat, membuat jarak di antara mereka hampir hilang. “Aku tidak suka berbagi apa yang menjadi milikku, Elle,” katanya dengan suara rendah dan tajam.
Kata-kata itu membuat jantung Elle berdebar. Ada api di mata Nichole, sebuah kemarahan yang ia sadari berasal dari rasa cemburu. Tapi ia tidak ingin menyerah begitu saja.
“Aku bukan barang, Nichole. Aku bukan milik siapa pun, bahkan milikmu,” balas Elle dengan suara bergetar, meskipun keberanian di hatinya mulai memudar.
Nichole menatapnya dalam-dalam sebelum akhirnya menarik diri. “Kau tidak mengerti, Elle. Dunia ini tidak seaman yang kau pikirkan. Dan pria itu... dia bukan siapa-siapa. Kau tidak tahu siapa yang bisa kau percaya.”
Elle mendesah, merasa lelah dengan argumen ini. Ia tahu ada sesuatu di balik sikap Nichole, tapi ia belum bisa memahami sepenuhnya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Malam itu, Elle duduk sendirian di ruang tamu, mencoba menenangkan pikirannya. Nichole ada di ruang kerjanya, pintu tertutup rapat. Ia merasa frustrasi dengan bagaimana semuanya berjalan hari ini.
Namun, saat ia akan berdiri untuk kembali ke kamar, pintu ruang kerja terbuka. Nichole keluar, dengan ekspresi yang sedikit lebih lunak dari sebelumnya.
“Aku ingin meminta maaf,” katanya tiba-tiba, membuat Elle terkejut.
“Untuk apa?” Elle bertanya, meskipun ia sudah tahu jawabannya.
Nichole mendekat, duduk di sofa di seberangnya. “Untuk sikapku tadi. Aku tidak seharusnya bersikap seperti itu. Aku hanya...” Ia berhenti, seolah-olah mencari kata-kata yang tepat.
“Apa?” desak Elle, penasaran.
Nichole menatapnya, dan untuk pertama kalinya, ada kejujuran di balik tatapan dinginnya. “Aku tidak suka melihatmu dengan orang lain, Elle. Itu membuatku merasa... tidak tenang.”
Elle membeku di tempatnya. Ada sesuatu dalam nada suara Nichole yang membuatnya percaya bahwa ini bukan sekadar manipulasi atau permainan.
“Tapi kenapa? Ini semua hanya kontrak, bukan?” tanyanya, suaranya bergetar sedikit.
Nichole tersenyum tipis, tapi senyum itu penuh dengan rasa frustrasi. “Mungkin. Tapi aku tidak bisa mengontrol perasaan ini. Dan itu menggangguku lebih dari yang bisa kukatakan.”
Hati Elle berdebar mendengar pengakuan itu. Ia tahu bahwa di balik segala kebohongan dan permainan yang mereka jalani, ada sesuatu yang lebih dalam yang mulai tumbuh di antara mereka.
Namun, ia juga tahu satu hal: hubungan ini terlalu rumit untuk diselesaikan dengan kata-kata sederhana.
“Kalau begitu,” Elle akhirnya berkata, “kau harus belajar mempercayai aku.”
Nichole menatapnya lama sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Mungkin kau benar.”
Hening kembali mengisi ruangan, tapi kali ini tidak terasa menekan. Ada sesuatu yang berubah—sebuah langkah kecil menuju hubungan yang lebih nyata. Meski keduanya tahu bahwa jalan yang harus mereka lalui masih panjang dan penuh rintangan, malam itu mereka memilih untuk membiarkan waktu berbicara.
...To be Continued...
Aku membaca sampai Bab ini...alurnya bagus cuma cara menulisnya seperti puisi jdi seperti dibuat seolah olah mencekam tpi terlalu..klo bahasa gaulnya ALAY Thor...maaf ya 🙏...Kisah yg melatar belakangi LN dn itu soal cium" ketua mafia hrsnya lebih greget ngak malu"... klo di Indonesia mungkin sex tdk begitu ganas krn kita mengedepankan budaya timur..ini LN sex hrnya lbih wau....dlm hal cium mencium..ini mlah malu" meong 🤣🤣🤣🤣🤣