NovelToon NovelToon
Sebuah Pilihan

Sebuah Pilihan

Status: sedang berlangsung
Genre:Beda Usia / Dijodohkan Orang Tua / Enemy to Lovers
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: keisar

Hidup Kian berubah drastis setelah kecelakaan tragis yang merenggut nyawa ibu Keira, putri dari sahabat dekat kakeknya. Di tengah keputusasaan, Kian harus menghadapi permintaan terakhir dari ayah Keira yang sedang kritis—sebuah permintaan yang mengguncang hatinya: menikahi Keira dan melindunginya dari segala ancaman yang mengintai. Terjebak di antara janji yang berat dan perasaannya yang masih tak percaya pada cinta karena Stella, mantannya yang mengkhianati.

Kian dihadapkan pada pilihan sulit yang
akan menentukan masa depan mereka berdua. Haruskah ia memenuhi janji terakhir itu atau mengikuti kata hatinya yang masih dibayangi cinta masa lalu? Di tengah kebimbangan dan tekanan dari berbagai pihak, keputusan Kian akan mengubah hidup mereka selamanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keisar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Perbedaan

Stella duduk melamun di balkon kamarnya, pandangannya kosong, seolah ada beban berat yang menghimpit hatinya. Angin malam yang sejuk tidak mampu menenangkan pikirannya. Pikirannya melayang jauh, mengingat momen-momen yang menghantuinya selama ini. Namun, apa yang ada di kepalanya masih tersimpan rapat, bahkan Lio, tunangannya, tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Lio yang khawatir mendekati Stella dengan langkah hati-hati. Ia menepuk pundak Stella, mencoba memecah kebisuan yang terasa mencekam.

“Stell, kamu nggak apa-apa?” tanya Lio lembut, suara khawatirnya tak bisa disembunyikan. “Ada yang kamu pikirin?”

Lamunan Stella langsung buyar. Ia menoleh ke arah Lio dengan senyum yang dipaksakan. “Nggak kok, aku baik-baik aja,” jawabnya sambil menggeleng pelan. “Kamu pasti lapar ya? Ayo aku masakin sesuatu.”

Tanpa menunggu jawaban Lio, Stella beranjak dari tempat duduknya dan masuk ke dalam kamar. Lio hanya bisa menatap punggungnya yang semakin menjauh, merasa ada sesuatu yang tidak beres, namun ia ragu untuk mendesaknya lebih jauh. Ia tahu ada yang disembunyikan Stella, tapi ia juga tahu, memaksa hanya akan membuat dinding di antara mereka semakin tinggi.

.......................................................

Kian membuka matanya perlahan, sisa mabuk yang sempat membuatnya kehilangan kendali mulai hilang, meski kepalanya masih terasa berat. Ia menatap sekeliling dengan pandangan kabur, hingga akhirnya matanya tertuju pada sosok wanita yang telanjang di sampingnya. Nafasnya tercekat.

“K... Keira?” ucapnya pelan saat wanita itu berbalik.

Wanita itu adalah istrinya, Keira, yang kini masih terlelap. Rasa lega menghampiri Kian, tapi hanya sebentar. Kelegaan itu cepat tergantikan oleh kekhawatiran yang lebih besar. Meski wanita di sampingnya adalah istrinya sendiri, ada rasa takut yang merayap perlahan di hatinya—takut akan apa yang terjadi setelah ini.

“Ya Tuhan, gimana kalau dia hamil?” pikir Kian, panik mulai terasa. Dalam kepalanya, ia belum siap untuk menjadi seorang ayah. Bayangan tanggung jawab dan perubahan besar dalam hidupnya membuat dadanya sesak.

Keira mengerang pelan, mulai terbangun. "Ahh..." desahnya, matanya masih setengah terbuka, wajahnya menunjukkan rasa sakit. “Aduh, sakit banget...” ia memegang perut bagian bawahnya, tampak merasakan nyeri yang cukup tajam di tubuhnya.

Kian mendekatkan wajahnya ke telinga Keira, berbicara dengan suara rendah dan penuh perhatian. "Masih sakit ya?" tanyanya lembut, mencoba menenangkan istrinya.

Keira terbangun dengan jantung berdebar kencang, matanya membulat saat menyadari dirinya dan Kian dalam keadaan telanjang. "Astaghfirullah, Ian! Kamu kok bisa ada di sini?" Keira menjerit panik, menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang terlanjur terlihat.

Kian yang masih setengah mengantuk mengernyitkan dahi, mencoba mencerna kata-kata Keira. "Justru aku yang harus nanya ke kamu, kok kamu ada di sini?" jawabnya, suaranya serak, namun ekspresi wajahnya sedikit terhibur oleh kekacauan situasi ini.

Keira terdiam, tak mampu memberikan jawaban yang masuk akal. Ia menatap Kian yang kini menghadapnya, tubuh pria itu yang kekar dan sempurna benar-benar menggodanya. Namun, di tengah rasa bersalah dan kebingungan, pikirannya berkecamuk.

Merasa perlu untuk mengakhiri suasana yang memalukan ini, Keira bangkit dengan cepat dari tempat tidur, duduk di tepi kasur dengan punggung menghadap Kian. Ia mulai meraih pakaiannya yang tergeletak di lantai, berniat untuk berpakaian secepat mungkin. Namun, sebelum sempat melanjutkan niatnya, Kian tiba-tiba meraih pundaknya dengan lembut namun tegas, memaksanya untuk kembali berbaring di tempat tidur.

"Mau kemana sih kamu?" ucap Kian dengan senyum nakal di wajahnya. "Layanin aku lagi dong," tambahnya sambil membelai rambut Keira dengan jari-jarinya.

Keira menelan ludah, hatinya berdebar semakin kencang. "Oh no..." bisiknya dalam hati. Ia tahu, baik menolak ataupun setuju, hasilnya akan tetap sama.

................

Beralih ke tempat lain, Devin duduk di ruang kerjanya , ia memegangi kepalanya yang terus berdenyut, tekanan menggelayuti pikirannya. Ia menyeruput kopi hitamnya yang sudah tidak panas lagi, namun itu tidak membantu meringankan beban pikirannya.

Devin bukanlah orang yang mudah panik, tetapi kali sudah berbeda. Cucu dan menantunya, Kian dan Keira hilang, ia sudah mengerahkan anak buahnya ke seluruh Jepang sejak malam tadi.

“Mereka ke mana sih?” Devin mendengus kesal, memeriksa ponselnya dengan cemas. Tidak ada kabar baru dari anak buahnya ataupun polisi setempat. Tekanan semakin terasa di dadanya. Tanpa ragu, ia menekan kontak Shintaro, orang kepercayaannya yang sedang memimpin pencarian.

"Shin, gimana? Udah ada petunjuk?" Suara Devin terdengar dingin dan penuh harap.

"Belum, Bos. Ini masih dalam tahap pencarian," jawab Shintaro dari seberang telepon, suaranya penuh ketegangan.

Devin menggebrak meja kerjanya dengan keras, frustasi mulai menguasai dirinya. "Argh! Gua gak mau tau! Cari keberadaan Kian sama Keira! Telusuri semuanya, tempat Yakuza, mafia, apa pun itu! Cari sampai dapet!"

Setelah menutup telepon dengan kasar, Devin menghempaskan ponselnya ke atas meja. Pikirannya semakin kacau, dadanya terasa sesak oleh rasa bersalah dan kekhawatiran yang membebani. Ia melirik ke arah dua foto yang terbingkai di sudut mejanya. Dengan tangan gemetar, Devin meraih salah satunya—sebuah foto dirinya bersama Abdullah, anaknya, yang juga ayah dari Kian.

"Maafin gua, Dul," bisik Devin dengan suara parau. "Harusnya gua kasih bodyguard yang lebih banyak buat lindungin mereka."

Ia menaruh kembali foto Abdullah dengan hati-hati, lalu mengambil foto lainnya. Kali ini, foto itu menunjukkan dirinya bersama Norman, sahabat karibnya yang sudah lama tiada. Senyum di wajah Norman dalam foto itu mengingatkannya pada masa-masa penuh canda yang pernah mereka habiskan bersama.

“Maafin gua, Man...” Devin memeluk foto itu erat ke dadanya, air mata perlahan mengalir di pipinya. Kenangan-kenangan yang tak bisa diulang kembali terus berputar di kepalanya.

Flashback On

Devin dan Norman, dua pria paruh baya itu, duduk bersisian di dekat api unggun di sebuah perkemahan. Itulah kebiasaan mereka sejak muda—berkemah bersama setiap kali ada kesempatan, merayakan persahabatan yang telah terjalin lama.

"Vin," ucap Norman sambil menghisap rokoknya, menatap api yang berkobar di depannya. "Gua kok berharap Kian jadi suaminya Keira dan jadi menantu gua, ya?"

Devin tertawa kecil, menyetujui tanpa ragu. "Lu pikir cuma lu doang? Feeling gua bilang cuma Kian yang cocok buat Keira."

Devin tersenyum. "Keira itu sempurna. Dia baik, penurut, cocok banget buat anak pembuat masalah kayak Kian. Kalau gua masih jomblo, gua nikahin dia!"

"Tai lu, Vin!" Norman tertawa keras. "Gua nggak mau punya menantu yang tua bau tanah kayak lu!"

Devin balas tertawa. "Sadar diri bego!"

Tawa mereka meledak, bergema di hutan yang sepi. Malam itu, bintang-bintang dan hutan menjadi saksi bisu dari persahabatan erat mereka.

Flashback Off

Tok... tok... tok...

Ketukan di pintu membuyarkan lamunan Devin. Ia buru-buru menaruh foto Norman kembali di meja sebelum berjalan ke pintu. Begitu ia membuka, ternyata Grace, istrinya, berdiri di ambang pintu dengan ekspresi khawatir.

"Mas?" sapanya lembut.

Devin berusaha tersenyum, meskipun kesedihan jelas terlihat di wajahnya. "Iya, Sayang. Kenapa ke sini?"

"Kamu nangis?" tanya Grace, menyadari jejak air mata di pipi suaminya. Nada suaranya penuh perhatian.

Devin tak bisa berbohong pada istrinya. Ia menunduk, merasa rapuh di hadapan wanita yang selalu setia di sisinya. "Ya... aku frustasi. Aku ngerasa bersalah aja sama Abdul dan Norman."

Grace tanpa ragu memeluk Devin, memberikan rasa hangat dan dukungan yang selalu dibutuhkannya. "Tenang, Sayang," bisik Grace lembut. "Mereka pasti ketemu. Kamu udah ngelakuin yang terbaik."

Devin hanya bisa terdiam dalam pelukan Grace, membiarkan dirinya sejenak larut dalam ketenangan yang diberikan istrinya.

Bersambung.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!