Rumah tangga yang sudah lama aku bina, musnah seketika dengan kehadiran orang ketiga di rumah tanggaku..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Aku dan Kevin duduk berhadapan di pinggir jalan yang tenang, cahaya senja menerobos masuk melalui jendela, menciptakan aura hangat di antara kami.
Obrolan kami mengalir, penuh dengan cerita dan tawa, hingga aku merasakan sebuah kedekatan yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya dengan pria manapun, terutama karena perhatian yang diberikan Kevin kepada Naura, putri kecilku.
Tiba-tiba suasana hangat itu terputus oleh deringan ponsel ku. Wajahku langsung pucat, mataku membesar saat aku melihat nama "Ibu" terpampang di layar.
Dengan tangan yang gemetar, aku mengangkat telepon itu, mendengarkan kabar yang membuat duniaku seakan berhenti berputar. [ "Naura kejang dan panas tinggi," ] kata ibu dengan suara tergagap.
Air mata ku langsung mengalir, tak terbendung. Kevin, yang melihat perubahan drastis pada ku, langsung bertanya dengan penuh kekhawatiran,
"Ada apa, Rania?"
Suara ku bergetar, hampir tidak terdengar, "Na-naura, Kevin,"aku berusaha mengucapkan kata-kata tapi hanya terbata.
Kevin langsung berdiri, memegang tangan ku. "Iya, ada apa dengan Naura?" tanyanya, mencoba mencari tahu lebih banyak.
"Naura kejang," aku hampir tidak bisa berbicara, suaranya tenggelam dalam isak tangis.
Kekhawatiran tergambar jelas di wajah Kevin, matanya terlihat waspada dan tegas. "Kita harus segera pergi ke sana," ucapnya cepat, sambil menarik ku untuk segera beranjak dari tempat tersebut.
Di dalam mobil, perjalanan ke rumah diwarnai dengan keheningan yang hanya sesekali diputus oleh isak tangis ku.
Di belakangku Kevin mengemudikan mobil dengan cepat namun tetap berhati-hati, meskipun pikiranku sudah tidak karuan aku mencoba untuk tetap tenang.
Begitu sampai di rumah, aku langsung berlari masuk untuk menemui Naura. Aku menemukannya tertidur dengan tenang, dan hatiku lega melihatnya baik-baik saja.
"Alhamdulillah, Naura tidak kenapa-napa ya, Bu?" tanyaku lega.
"Iya, nak. Tadi Ibu langsung menelpon dokter dan alhamdulillahnya langsung membaik," jelas Ibu.
Aku mengucapkan terima kasih dan mencium kening Naura dengan penuh sayang. Tiba-tiba, Ibu menyadari keberadaan Kevin yang berdiri di ambang pintu kamar Naura.
"Eh, nak Kevin, sini masuk," ajak Ibu. Kevin tersenyum ramah, namun menolak dengan sopan.
"Tidak perlu, Bu. Saya mau langsung balik saja, mau berangkat kerja," ujarnya.
"Iya, nak Kevin, terima kasih banyak ya," ucap Ibu dengan senyum.
Kevin membalas senyuman itu, dan mengucapkan perpisahan padaku. "Ran, aku balik dulu ya. Terima kasih banyak," ujarnya dengan tulus.
Aku mengangguk dan membalas senyumannya dengan tulus. Setelah Kevin pergi, Ibu duduk di sampingku dan mengelus lembut punggungku.
"Apa kamu habis menangis, nak?" tanyanya dengan lembut.
Aku menatap Ibu dengan nanar, merasa seolah dia tahu apa yang sedang kurasakan saat ini. Aku pun memeluk erat Ibu, mencari ketenangan dalam pelukannya, seakan semua luka di hatiku akan hilang seketika.
"Ibu," ucapku lirih sambil nangis terisak
Ternyata setelah menjadi seorang ibu, aku masih merasa membutuhkan sosok ibu dalam hidupku, peran seorang ibu memang sangat luar biasa dan tak tergantikan.
"Menangislah nak, apapun masalahmu kamu harus tetap kuat dan tegar, ibu selalu ada bersamamu," seru ibu dengan penuh kelembutan.
Aku mengangguk pelan, membenarkan apa yang diucapkan ibu. Dia memang tidak pernah mencampuri masalah yang ada, meskipun dia tahu apa yang sedang kualami dan masalah yang menimpa rumah tanggaku bersama Adnan.
Aku melepaskan pelukannya perlahan, lalu menatap ibu dengan pandangan kosong. "Bu, apa salahku dengan Mas Adnan, dia..."
sebelum aku sempat melanjutkan, ibu menutup mulutku lembut. "Jangan teruskan lagi, takutnya nuara dengar, Ibu tahu, nak. Pasti suamimu berbuat yang sangat menyakikan. Kamu tidak salah, nak. Hanya saja, Adnan kurang bersyukur memiliki istri sepertimu," ujar ibu sambil mengusap air mataku yang terus mengalir.
"Buk, ini sungguh sangat menyakitkan," isakku, hati penuh luka yang tak tertahankan.
"Ibu tahu, nak. Apapun masalahmu, jangan ambil keputusan saat emosi," kata ibu dengan bijaksana yang meluluhkan hatiku.
"Iya, buk," jawabku seraya mencoba meredam isakan.
"Yaudah, tenangkan dirimu, ibu mau sholat Isya dulu," lanjut ibu dengan lembut.
"Iya, buk," sahutku, menatap ibu dengan rasa haru dan cinta yang meluap.
Hatiku terasa bergetar saat menyaksikan ibu pergi. Mataku tertuju pada Naura, yang juga sedang menangis. Aku tidak tega melihat keadaannya yang begitu hancur.
Setelah mencium kening Naura, ku ambil keputusan untuk pergi ke kamarku dan mencari ketenangan. Begitu masuk ke dalam kamar, aku segera melangkah menuju kamar mandi.
Menghidupkan kran di bathtub, aku merendam diriku dalam air yang sejuk dan mencoba menenangkan pikiran. Aku memejamkan mata, merasakan sakit hati yang teramat dalam, namun sekaligus meresapi kesabaran yang harus kujalani.
Setelah berendam lebih dari setengah jam, aku menyalakan kran shower untuk mandi di bawah guyuran air yang terasa menyegarkan. Air yang mengalir di tubuhku seolah membawa keluar segala penat dan duka yang kurasakan.
Selesai mandi, aku keluar dari kamar mandi dan merasakan kelelahan yang menyelimuti tubuh dan pikiran. Saat itu, aku berharap hatiku kembali tenang dan bisa menemukan kekuatan untuk menghadapi masalah ini.
Aku duduk termenung di depan meja rias, menatap wajahku yang begitu sayu. "Apa lagi yang harus kulakukan?" gumamku sendiri.
Aku sudah bekerja keras tanpa henti demi menciptakan kehidupan yang lebih baik. Meski begitu, aku tetap menyempatkan diri untuk menjalani peran sebagai ibu rumah tangga dengan memasak dan merawat rumah Namun, apa yang kukerjakan ini, ternyata sia-sia.
Kriiiiit...
Pintu kamar terbuka, membuatku menoleh ke arah pintu. Adnan berjalan masuk, menutup pintu di belakangnya.
"Kenapa kamu pulang? Bukankah kamu mau lembur?" sindirku, hatiku terasa tersayat oleh perselingkuhan suamiku.
"Aku rindu dengan Naura," ujarnya, seakan tak peduli dengan perasaanku.
"Dia tidak butuh sosok bapak seperti kamu, Adnan!" ucapku sambil menahan amarah.
"Apa maksudmu, Rania?" balasnya dengan nada bingung.
Merasa tidak tahan, aku mengebrak meja rias, berdiri, lalu berjalan mendekati Adnan. "Kamu tidak berpikir apa? Kamu itu punya anak perempuan! Kamu mau anak perempuan kamu itu suatu saat nanti akan diselingkuhi suaminya? Kamu rela?" Emosiku meluap, memuncak, tidak mampu menahan semua perasaan pahit ini.
Aku tak mengerti mengapa Adnan bisa tega melakukan perselingkuhan saat aku berjuang sekuat tenaga untuk menjadi istri dan ibu yang baik. Tak henti-henti aku bertanya pada diriku, apa yang salah? Mengapa kehidupan ini begitu keras dan menyakitkan?
Adnan terdiam, tubuhnya lesu terkulai di sofa, "Maafkan aku, Rania. Sungguh, aku khilaf." Kata-katanya menusuk hatiku, seperti jarum tajam yang merobek-robek perasaanku yang telah hancur.
"Untuk saat ini, aku belum bisa memaafkan kamu, Adnan! Kamu tahu betapa besarnya kepercayaan yang telah kuberikan padamu, dan apa yang kau lakukan? Kamu mengkhianati perasaan ini!" seru aku penuh amarah.
"Maaf, Rania," ulang Adnan dengan nada lemah.
Aku melihat kesedihan dan penyesalan yang menggurat di wajahnya, namun itu tak cukup untuk menenangkan hatiku.
"Memaafkan itu mudah, Adnan, tapi aku? Hatiku sangat sakit!" ucapku sambil memukul dada bidangnya.
Adnan hendak memelukku, tapi aku menepis tangannya. Aku tak mau dipeluk oleh orang yang telah menyakiti hati dan perasaan ini.
"Mulai saat ini, kita tak usah tidur sekamar lagi!" tegasku, memutuskan untuk menjaga jarak agar luka ini tak semakin dalam.
***