"Rumah Tanpa Atap" mengisahkan tentang kehidupan seorang remaja bernama Zilfi, yang tumbuh dalam keluarga yang terlihat sempurna dari luar, namun di dalamnya penuh ketidakharmonisan dan konflik yang membuatnya merasa seperti tidak memiliki tempat untuk berlindung. Setelah perceraian orang tuanya, Zilfi harus tinggal bersama ibunya, yang terjebak dalam rasa sakit emosional dan kesulitan finansial. Ayahnya yang Berselingkuh Dengan Tante nya hanya memperburuk luka batin Zilfi, membuatnya merasa tak pernah benar-benar memiliki "rumah" dalam arti sebenarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yiva Adilla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TABIR RAHASIA AYAH
Z ilfi merasa dadanya semakin sesak. Semua ini terlalu membingungkan. Ibunya mengajaknya pulang, tetapi ada ketakutan yang tak dapat ia pahami. Dan kini, kata-kata "diawasi" serta larangan Ayah untuk bertemu dengan ibunya menambah lapisan misteri yang membuatnya sulit bernapas. Ia memandang wajah ibunya, namun yang ia lihat hanya kelelahan dan rasa takut yang terselubung di balik senyum lembutnya.
Namun, Zilfi juga tahu sesuatu tentang ayahnya. Meski keras, Ayah selalu memperlihatkan rasa sayang yang dalam, meski mungkin tidak secara langsung. Ayahnya tidak pernah terlihat berbahaya, hanya tegas dan selalu berhati-hati dalam hal apa pun. Tapi kenapa ia melarang Zilfi bertemu dengan ibunya?
Keesokan harinya, Zilfi tidak bisa lagi menahan diri. Pagi itu, sebelum ibunya bangun, ia mengambil telepon di sudut kamarnya dan memutuskan untuk menghubungi Ayah. Tangannya gemetar saat menekan nomor yang sudah dihafalnya sejak kecil. Setelah beberapa nada sambung, suara Ayah yang dalam terdengar di ujung telepon.
"Zilfi? Kenapa kamu menelepon pagi-pagi begini? Bukannya kamu seharusnya di asrama?"
Zilfi menelan ludah. "Ayah... Aku di rumah. Ibu menjemputku lagi," katanya dengan suara pelan, takut reaksi ayahnya.
Terdengar keheningan panjang di ujung telepon sebelum Ayah berbicara lagi, kali ini suaranya terdengar tegas. "Zilfi, kamu harus kembali ke asrama. Ibu tidak seharusnya menjemputmu. Dia tidak berpikir jernih."
"Ayah, kenapa? Kenapa Ayah melarang aku bertemu dengan Ibu?" Zilfi akhirnya mengeluarkan pertanyaan yang selama ini ia pendam.
Ayah terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. "Zilfi, Ibu kamu... dia selalu penuh dengan emosi. Dia selalu berpikir dengan hati, bukan dengan kepala. Ayah tidak ingin kamu dipengaruhi oleh caranya berpikir. Ada alasan kenapa ayah ingin kamu tinggal di asrama dan menjaga jarak darinya."
Zilfi merasa perasaannya semakin bercampur aduk. "Tapi Ayah, aku juga butuh Ibu. Aku tidak bisa hanya meninggalkannya begitu saja."
"Zilfi, dengar," suara Ayah menjadi lebih pelan, namun tetap tegas. "Ibu kamu bukan orang jahat. Dia hanya... dia tidak stabil. Dia ingin kamu bersamanya karena dia merasa kesepian, bukan karena itu yang terbaik untukmu. Dia sering membuat keputusan tergesa-gesa, dan ayah tidak ingin kamu terseret dalam pola pikirnya yang penuh kekhawatiran dan rasa takut."
Zilfi merasa bingung. "Ayah, tapi Ibu bilang kita diawasi. Apa maksudnya?"
Di ujung telepon, terdengar napas panjang Ayah. "Itulah yang Ayah maksud, Zilfi. Ibu kamu terobsesi dengan pikiran bahwa ada sesuatu atau seseorang yang selalu mengawasi kita. Itu tidak benar. Dia selalu hidup dalam ketakutan yang tidak beralasan. Ayah tidak ingin kamu dibesarkan dengan pemikiran seperti itu."
Zilfi merasa ada bagian dari dirinya yang ingin mempercayai Ayah. Tapi ada juga bagian lain yang merasa bahwa ibunya hanya mencoba melindunginya. "Tapi, Ayah... aku merasa seperti ada yang tidak benar. Ibu kelihatan sangat ketakutan."
"Kamu harus percaya pada Ayah, Zilfi. Apa yang kamu lihat pada Ibu hanyalah cerminan dari kekhawatirannya. Dia tidak mampu melihat bahwa ketakutannya hanya membahayakanmu. Ayah ingin kamu tumbuh menjadi seseorang yang kuat, yang bisa berpikir jernih dan tidak terbebani oleh ketakutan yang tidak berdasar."
Zilfi terdiam, mencerna kata-kata Ayahnya. Ia mencintai kedua orang tuanya, tapi kini ia terjebak di antara dua dunia yang sangat berbeda. Dunia Ayah yang rasional dan dunia Ibu yang penuh dengan emosi dan ketakutan.
"Ayah ingin kamu kembali ke asrama," lanjut Ayah. "Ayah akan menjemputmu sore ini. Ini untuk kebaikanmu, Zilfi. Percayalah."
Zilfi menutup telepon tanpa berkata apa-apa lagi. Di satu sisi, ia merasa lega karena Ayah akan segera menjemputnya. Namun, di sisi lain, ia tidak bisa menghilangkan rasa bersalah karena meninggalkan ibunya. Apa pun yang terjadi, ia harus membuat pilihan, dan ia takut pada apa yang akan ia hadapi setelah ini.