SMA Rimba Sakti terletak di pinggiran Kota Malang. Menjadi tempat di mana misteri dan intrik berkembang. Di tengah-tengah kehidupan sekolah yang sibuk, penculikan misterius hingga kasus pembunuhan yang tidak terduga terjadi membuat sekelompok detektif amatir yang merupakan anak-anak SMA Rimba Sakti menemukan kejanggalan sehingga mereka ikut terlibat di dalamnya.
Mereka bekerja sama memecahkan teka-teki yang semakin rumit dengan menjaga persahabatan tetap kuat, tetapi ketika mereka mengungkap jaringan kejahatan yang lebih dalam justru lebih membingungkan.
Pertanyaannya bukan lagi siapa yang bersalah, melainkan siapa yang bisa dipercaya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moon Fairy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20
Perpustakaan terasa sunyi setelah Nadya dan Aisyah membawa Alya duduk di meja mereka. Tatapan tajam Arga, Rian, dan Dimas tertuju pada Alya, yang tampak cemas namun berusaha menyembunyikannya di balik ekspresi tenangnya. Aisyah dan Nadya duduk di samping, mencoba menjaga suasana tetap tenang tapi justru malah jadi tetap tegang. Udara di ruangan terasa berat.
"Jadi, Mbak Alya," Rian memulai dengan nada datar, "kita pengen tanya soal kebakaran di Balai Seni kemarin. Terutama soal lukisan yang Mbak buat."
Alya mengerutkan kening. "Lukisan? Kenapa kalian malah ngebahas itu?"
Arga menyilangkan tangannya di depan dada, menatap Alya tanpa berkedip. "Karena ada sesuatu yang aneh di sana, Mbak. Lukisan itu bukan cuma karya seni biasa. Tulisannya... ‘Temukan dia sebelum api melahap semuanya’—itu seolah-olah Mbak tahu sesuatu sebelum kebakaran terjadi."
Alya terdiam sejenak, jelas terlihat bahwa dia mulai merasa terpojok. "Kalian cuma terlalu mikirin semuanya. Itu cuma lukisan biasa."
"Biasa?" Dimas mengangkat alis. "Lukisan itu nggak kelihatan biasa. Apalagi setelah kebakaran di Balai Seni. Rasanya terlalu kebetulan."
Aisyah, yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara dengan nada lembut tapi tegas. "Kami cuma pengen tahu kebenarannya, Mbak Alya. Kalau memang Mbak nggak ada hubungannya sama kebakaran itu, tolong kasih tahu kami. Tapi kalau Mbak tahu sesuatu... lebih baik Mbak ngomong sekarang."
Alya masih berusaha mempertahankan sikapnya. Matanya beralih dari Aisyah ke Nadya, lalu ke Arga dan Rian yang masih menatapnya tanpa henti. Tekanan semakin besar, dan suasana semakin berat. Dia menghela napas panjang.
"Aku... nggak tau ada apa-apa di sana," ujarnya, tapi suaranya terdengar goyah. "Aku cuman... muak."
"Muak sama apa, Mbak?" tanya Nadya lembut, mencoba membuat Alya lebih terbuka.
Alya menundukkan kepalanya, jemarinya meremas ujung rok seragamnya. "Sama semuanya. Sama... hidup di bawah bayang-bayang Endah dan Ria. Sama semua karya seni yang selalu dianggap lebih baik dari punyaku. Aku selalu di posisi ketiga... selalu."
Perkataan Alya membuat keheningan sejenak di antara mereka. Perlahan, Arga bersandar di kursinya, sedikit melunak. "Jadi, kebakaran itu... ada hubungannya sama rasa iri Mbak ke Mbak Ria?"
Alya akhirnya mengangkat kepalanya, tatapannya penuh beban. "Aku nggak pernah maksud buat nyakitin siapa pun. Aku... cuma pengen semuanya selesai. Semua karya seni itu... lukisan-lukisan itu, semua yang mengingatkan aku sama kegagalan. Aku cuman pengen semuanya hilang."
Nadya menatap Alya dengan cermat. "Jadi maksud Mbak... Mbak sengaja bakar Balai Seni?"
Alya menggigit bibir bawahnya, lalu mengangguk pelan. "Iya... aku yang bakar Balai Seni. Tapi aku nggak tahu kalau Ria ada di sana! Aku nggak pernah maksud buat ngebunuh siapa pun."
Wajah Rian berubah tegang. "Terus gimana caranya Mbak bisa yakin kalau gak ada orang lain di sana?"
Alya mulai terlihat semakin tertekan. "Aku kira semua orang udah pulang. Balai Seni sepi waktu aku masuk. Aku pikir... nggak ada siapa pun. Aku cuman pengen bakar semua karya seni itu... supaya nggak ada yang ingat lagi. Supaya semuanya selesai."
Aisyah menatap Alya penuh simpati, meski masih ada ketegangan di wajahnya. "Dan lukisan yang Mbak buat? Apa itu bentuk pengakuan?"
Alya mengangguk lagi, kali ini lebih cepat. "Aku buat itu karena merasa bersalah. Waktu aku tahu Ria meninggal karena kebakaran itu, aku... aku nggak bisa tidur. Aku pikir, kalau ada yang bisa ngerti maksud dari lukisan itu, mungkin mereka bisa ungkap apa yang sebenarnya terjadi."
Suasana di ruangan itu kembali sunyi. Semua orang menyerap pengakuan Alya dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, Alya hanya ingin mengakhiri penderitaannya sendiri, tapi di sisi lain, dia tidak sadar tindakannya telah merenggut nyawa seseorang. Alya menunduk, menutup wajahnya dengan kedua tangan, menahan isak kecil yang mulai terdengar.
Rian menghela napas panjang. "Jadi motif Mbak Alya karena... merasa muak?"
Alya mengangkat wajahnya, air mata sudah mengalir di pipinya. "Aku nggak tau lagi harus gimana. Aku cuma... lelah selalu ada di posisi ketiga. Aku pengen semuanya berhenti. Tapi aku nggak pernah nyangka Ria bakal jadi korban."
Mereka semua terdiam sejenak, merasa berat mendengar pengakuan itu. Perlahan, Aisyah mengulurkan tangannya, menyentuh bahu Alya dengan lembut. "Kita bisa ngerti perasaan Mbak. Tapi yang jelas, kita harus kasih tahu polisi soal ini."
Alya hanya mengangguk lemah, tak lagi melawan. Dia tahu, waktunya untuk menyembunyikan semuanya sudah berakhir.
Arga mengambil napas dalam, menatap Alya yang duduk dengan tangan gemetar di depannya. Wajah gadis itu terlihat pucat, seperti beban berat menggelayuti bahunya. Suasana di sekitar mereka terasa tegang, hanya terdengar deru napas yang berat dan suara gesekan kursi saat mereka sedikit bergerak.
Arga melirik Aisyah sebelum akhirnya membuka suara, "Mbak Alya... Kenapa bisa sampai seperti ini?"
Hening sesaat, hingga Alya dengan hati-hati kembali bertanya, "Awal mulanya, gimana semua ini bisa terjadi?" Semua mengangguk. Saat itulah dirinya mulai bercerita....
...—o0o—...
FLASHBACK ON
Beberapa hari sebelum kebakaran, Alya duduk sendirian di studio seni. Kuas di tangannya bergerak lincah di atas kanvas, membentuk detail demi detail lukisan yang tengah dikerjakannya. Namun, pikirannya tidak sepenuhnya fokus. Ada rasa gelisah yang mengganggu sejak pagi tadi.
Di luar, terdengar suara Bu Asri sedang berbicara dengan Endah. Mereka berdiri dekat pintu masuk studio, dan meskipun Alya tidak ingin mencuri dengar, percakapan mereka terdengar jelas.
"Aku yakin kamu bisa, Endah. Untuk FL2SN, aku pilih kamu," kata Bu Asri dengan nada penuh keyakinan.
Alya merasakan tangannya gemetar. FL2SN? Bukankah ini seharusnya kesempatan untuk anak kelas 10 atau 11? pikirnya. Pandangannya menajam ke arah kanvas, dan tanpa sengaja, kuas di tangannya menggoreskan garis yang salah. Lukisannya rusak.
Frustrasi meluap dalam dirinya, dan dia melempar kuasnya ke lantai dengan gerakan kasar. "Kenapa... kenapa bukan aku?" desah Alya, perasaan kecewa dan marah memenuhi pikirannya.
Endah, yang dipilih untuk lomba, adalah teman seangkatannya. Tapi mengapa dia selalu dipilih? Kenapa dia selalu dianggap lebih baik?
Tangannya meremas kanvas yang rusak itu, dan air mata mulai mengalir di pipinya.
..._._._._._._...
Alya mengingat hari di mana ia mengantar tugas ke ruang guru. Hari itu cukup sepi, dengan hanya beberapa guru yang sibuk di meja mereka. Dia tidak sedang menghadap Bu Asri atau Ria—tugas yang ia antar memang untuk guru lain. Namun, ketika hendak keluar dari ruangan, tanpa sengaja telinganya menangkap percakapan yang membuatnya berhenti di ambang pintu.
Bu Asri sedang berbicara dengan Ria, keduanya duduk di dekat jendela besar yang menghadap ke taman sekolah. Topik pembicaraan mereka membuat hati Alya tercekat, lomba Singasari Art Competition Malang.
“Kamu sudah siap, Ria?” tanya Bu Asri dengan lembut, nada suaranya terdengar penuh harap. “Ibu yakin kamu bisa menang di SAC Malang nanti.”
Ria terdengar ragu. "Bu, sejujurnya saya ngerasa lukisan Alya jauh lebih bagus. Komposisinya kuat, dan dia selalu bisa mengekspresikan tema dengan sangat dalam. Sementara saya... saya hanya fokus pada teknik."
Alya merasakan ada sesuatu yang menusuk di dadanya. Dia merasa sedikit harapan ketika mendengar pengakuan Ria, tetapi kemudian kata-kata Bu Asri berikutnya meruntuhkan perasaan itu.
“Alya memang berbakat,” kata Bu Asri, “Tapi kamu, Ria. Kamu punya sentuhan emosi yang lebih halus. Kamu bisa menyentuh perasaan penonton dengan cara yang unik. Itu kenapa saya milih kamu, bukan Alya. Dia masih butuh waktu untuk memahami seni dari sisi emosi, bukan hanya dari teknik.”
Alya mengepalkan tangannya di balik pintu. Sakit hati, frustrasi, semua emosi itu berbaur menjadi satu. Lagi-lagi, ia tidak diakui. Lagi-lagi, ia ditempatkan di posisi kedua—atau lebih buruk lagi, ketiga. Saat ia akhirnya melangkah pergi dari ruangan itu, kepala dan hatinya penuh dengan kekecewaan.
..._._._._._._...
Malam itu gelap, dan hanya bulan yang menerangi sebagian area sekolah. Alya berdiri di depan Balai Seni, napasnya tersengal. Di tangannya, ia menggenggam korek api dan sebotol cairan mudah terbakar. Pikiran-pikirannya berkecamuk, kemarahan dan kekecewaan menyatu dalam hatinya. Malam ini, ia memutuskan untuk mengakhiri semuanya—seluruh karya seni yang mengingatkannya pada kegagalannya.
Alya melangkah masuk ke dalam Balai Seni yang sepi. Ia mengenakan pakaian serba hitam, topi yang menutupi wajahnya, dan sepasang sarung tangan. Setiap langkahnya pelan tapi pasti, gemuruh di dalam dirinya tak terbendung lagi. "Ini udah saatnya semuanya selesai," bisiknya pada diri sendiri.
Dia berkeliling, matanya menelusuri lukisan-lukisan yang tergantung di dinding dan karya-karya seni yang ditampilkan di ruangan itu. Dalam pikirannya, ia melihat bayangan kegagalan, kegagalan yang terus menghantui setiap langkahnya. Tanpa pikir panjang lagi, ia mulai menuangkan cairan di berbagai sudut ruangan, merendam kain-kain dan kanvas dengan bensin.
Namun, saat ia hendak menyalakan korek, Alya teringat tentang kabel-kabel listrik di salah satu sudut ruangan. Listrik—Alya pernah mempelajarinya di kelas fisika. Meski ia merasa gugup, ada perasaan tegang setiap kali berurusan dengan hal ini, ia tahu apa yang harus dilakukan. Pikirannya bersuara, "Listrik itu bahaya, tapi kalau aku bisa, ini pasti bakalan dianggap kecelakaan." Dengan hati-hati, ia merusak kabel di dekat salah satu soket, membuat percikan kecil di sana. Rasa takut mengalir, tapi ia terus melakukannya. Dalam beberapa detik, kabel itu mulai berasap, dan percikan api kecil muncul.
“Cepat!” batinnya berteriak.
Dengan tangan yang gemetar, Alya menyalakan korek api dan melemparkannya ke arah tumpahan bensin di lantai. Api langsung menyala, menjalar ke seluruh ruangan. Panik mulai menguasai dirinya, tapi ia berusaha tetap tenang. Api berkobar semakin besar, membakar semua karya seni yang ada di Balai Seni.
Alya melangkah mundur, memastikan dirinya tidak terlihat oleh siapapun. Dengan cepat, dia melarikan diri melalui pintu belakang Balai Seni, menuruni tangga kecil, dan berlari ke arah gymnasium. Pakaian hitamnya menyatu dengan kegelapan malam, membuatnya hampir tak terlihat. Di dekat gymnasium, dia berhenti sejenak, napasnya terengah-engah. Dia melihat sekeliling, memastikan tidak ada yang mengikutinya. Namun, CCTV di samping gymnasium menangkap siluet hitam yang samar saat Alya bersembunyi di sana.
Dia terus berlari ke belakang sekolah, menuju gerbang belakang. Tempat itu tak terpantau CCTV—gerbang yang jarang dilewati siswa, dengan pemandangan yang lebih sepi, hampir menyerupai lahan kosong yang berbatasan dengan hutan yang dikenal angker. Dengan hati-hati, Alya menyelinap keluar tanpa diketahui siapapun.
Keesokan Paginya
Saat Alya tiba di sekolah keesokan paginya, suasananya sudah sangat berbeda. Banyak sekali polisi dan tim forensik di sana, menyelidiki puing-puing Balai Seni yang terbakar. Pada awalnya, Alya menganggap hal itu wajar. Dia tahu akan ada penyelidikan, tapi dia tidak merasa bersalah. Tidak sampai ia mendengar percakapan dua siswi yang sedang berdiri tak jauh dari Balai Seni.
“Kebakaran, ya?” tanya siswi pertama dengan raut wajah penasaran.
“Katanya ada korban, anak 12 MIPA 1. Namanya Ria,” jawab siswi kedua, dengan suara sedikit berbisik.
Saat mendengar nama Ria, tubuh Alya terasa lemas. Buku yang sedang ia pegang jatuh ke lantai dengan bunyi gedebuk, menciptakan suara yang menarik perhatian beberapa murid di sekitarnya. Kakinya terasa lunglai, napasnya tercekat di tenggorokan.
Seorang teman menghampirinya, mengambil buku yang terjatuh. “Alya, kamu kenapa?” tanyanya dengan nada khawatir.
Alya cepat-cepat meraih buku itu dari tangan temannya, berusaha menahan ekspresi panik di wajahnya. “Enggak, aku ndak apa-apa,” katanya terbata-bata. “Aku ke kelas duluan, ya.”
Tanpa menunggu jawaban, Alya segera bergegas pergi, berusaha menghindari kecurigaan. Kepalanya penuh dengan pikiran kacau—Ria ada di sana, di dalam Balai Seni saat kebakaran terjadi, dan Alya sama sekali tidak tahu.
Sejak kebakaran di Balai Seni, Alya tak pernah benar-benar tenang. Setiap kali duduk di kelas, pikirannya melayang. Pemandangan api yang membakar ruangan itu terulang-ulang di kepalanya, dan kenyataan bahwa ada orang yang tewas di dalamnya membuat dadanya sesak. Dia hampir tidak bisa fokus di setiap pelajaran, pikirannya terus dipenuhi oleh kejadian malam itu. Bahkan tidur pun tak membawa kedamaian. Mimpi buruk terus menghantuinya, dan setiap pagi ia bangun dengan tubuh yang basah oleh keringat dingin.
Meski polisi menganggap kebakaran itu hanya akibat korsleting listrik, Alya merasa tidak bisa menerima kenyataan itu begitu saja. Rasa bersalah terus menggerogotinya. Setiap kali melihat polisi yang berpatroli di sekolah, hatinya berdebar. Dia berada di persimpangan—haruskah dia mengaku dan mengatakan yang sebenarnya? Atau biarkan saja semua berlalu seperti ini?
Sampai suatu hari, Alya merasa tekadnya sudah bulat. Dia harus mengaku. Setelah pulang sekolah, dia berencana menemui polisi yang sedang menyelidiki kebakaran di Balai Seni.
Ketika berjalan menuju Balai Seni untuk mencari ketenangan sebelum pulang, Alya tak sengaja berpapasan dengan Rian di sekitar area yang kini menjadi puing-puing bekas kebakaran. Rian sedang menyelidiki tempat itu, seperti biasa, penuh rasa ingin tahu.
"Eh, Rian! Ngapain di sini sendirian?" tanyanya dengan senyum hangat.
Rian tertegun sejenak, mencoba mencari alasan. "Ah, gak... cuma liat-liat aja. Lagi kepo soal kebakaran kemarin," jawabnya setengah malas. Alya merasa tertegun saat itu juga.
Ia kemudian tertawa kecil, tapi tatapannya terasa penuh arti. "Hati-hati, ya. Kadang rasa penasaran itu bisa bahaya," ucapnya sebelum berbalik dan pergi meninggalkan Rian.
Di kepalanya, banyak hal berputar. Rian tak sengaja menyebutkan hal yang membuatnya sadar bahwa orang lain juga mencurigai kejadian itu. Jika Rian dan teman-temannya menyelidiki, mungkin mereka bisa membantunya.
Alya pernah mendengar gosip bahwa Rian dan keempat temannya—Arga, Dimas, Nadya, dan Aisyah—dikenal sebagai detektif amatir yang berhasil mengungkap penculikan yang terjadi beberapa minggu lalu. Itu membuatnya ragu untuk melapor langsung ke polisi. Mungkin, ada cara lain untuk mengungkap semuanya, tanpa harus langsung mengaku.
Setelah percakapan singkat itu, Alya mulai merubah rencananya. Dia tak jadi menemui polisi sore itu.
Setelah sekolah mulai sepi, Alya berjalan ke taman yang sepi, membawa kanvas dan peralatan melukisnya. tempat itu tenang, hampir kosong, hanya ada beberapa murid yang tersisa. Ia duduk sendiri di bawah pohon apel yang cukup rindang, mencoba meredakan perasaannya yang berkecamuk dengan cara yang paling ia kuasai, melukis.
Tangannya gemetar saat memegang kuas, tapi Alya mencoba fokus. Dalam benaknya, ia sudah merencanakan setiap goresan. Dia melukis perasaannya, menggabungkan rasa bersalah dan penyesalan dalam warna-warna gelap yang memenuhi kanvas. Dengan setiap sapuan kuas, dia menuangkan apa yang selama ini dia tahan. Tidak ada kata-kata, hanya sebuah pesan visual yang dia harap akan dipahami oleh mereka yang cukup cerdas untuk menemukannya.
Di bagian bawah lukisannya, Alya menuliskan namanya. Dia sengaja memberikan tanda bahwa ini adalah karyanya—sebuah petunjuk yang jelas. Dalam hatinya, dia yakin bahwa Rian dan keempat detektif amatir lainnya akan mengerti maksud lukisan itu. Alya berharap mereka akan menangkap isyarat bahwa dia tidak berniat membunuh Ria. Itu adalah kecelakaan, tapi dia merasa perlu mengungkap semuanya, walau dengan cara yang tidak langsung. Tak lupa, ia menambahkan kalimat tak langsung yang merujuk padanya untuk dicurigai.
...‘Temukan dia sebelum api melahap semuanya’...
Ketika hari mulai menjelang maghrib, perpustakaan mulai kosong. Alya merapikan peralatannya, melipat kanvas yang baru saja ia lukis, dan melangkah keluar. Udara sore itu dingin, dan langit mulai gelap. Alya berjalan menuju Balai Seni yang sudah hangus, tempat di mana semuanya bermula.
Dia memasuki gedung yang penuh arang dan puing, menginjak lantai yang masih berbau asap. Kegelapan mulai menyelimuti ruangan, hanya ada beberapa cahaya lampu yang redup. Dengan hati-hati, Alya meletakkan lukisannya di studio tempat ia biasa berkarya, seolah-olah memberi penghormatan terakhir. Dalam hati, ia berharap lukisan itu akan ditemukan dan mereka akan tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Setelah itu, Alya bergegas pergi, tak ingin berlama-lama di tempat yang penuh kenangan pahit. Dia berjalan cepat melewati lorong, keluar dari gedung Balai Seni, dan pulang tanpa menoleh ke belakang.
FLASHBACK OFF
...—o0o—...
Alya duduk terdiam setelah menyelesaikan ceritanya, sementara Aisyah sudah merekam seluruh pengakuan itu di ponselnya. Dia menatap layar sejenak, memastikan semuanya terekam dengan baik, lalu mengirimkannya ke ayahnya, IPTU Bima, sebagai bukti yang jelas. Suasana perpustakaan terasa hening, seolah-olah semua beban baru saja terangkat dari bahu mereka.
Alya menundukkan kepala. Meskipun semua telah terungkap, ada perasaan lega dan rasa bersalah yang terus bergelayut di hatinya.
“Kamu sebenarnya berbakat banget, Mbak Alya,” sahut Nadya pelan. “Andaikan aja, dari dulu ada yang sedikit ngelirik, mungkin ceritanya akan lain. Mungkin Mbak bisa ikut lomba atau acara yang Mbak mau.”
Alya tersenyum lemah, menyadari kebenaran kata-kata Nadya.
“Ya, kalau udah terlanjur memang gak bisa diapa-apain lagi, Mbak. Karena kehidupan gak bisa diputar dan yang sudah terjadi gak akan pernah bisa dirubah. Sekarang Mbak Alya harus ngaku ke polisi biar semuanya jelas dan Mbak Ria juga mendapat keadilan di atas sana,” ucap Rian membuat yang lain menoleh ke arahnya.
“Tumben si sipit ini ngomongnya bener?” ledek Nadya.
Setelah beberapa perbincangan dan memberikan semangat pada Alya, mereka semua bangkit dari tempat duduknya, meninggalkan perpustakaan. Saat mereka berjalan beriringan menuju ruang guru untuk melaporkan segalanya kepada Bu Asri dan bagian kesiswaan, tak ada satu pun yang bersuara. Semua terlarut dalam pikiran masing-masing.
Namun, ketika melewati Balai Seni yang kini hanya berupa puing-puing hitam, pemandangan di depan mereka membuat semuanya terdiam. Polisi sudah berkumpul di sana, mengepung area tersebut. Alya berdiri di sana, tercengang melihat IPTU Bima dan beberapa petugas mendekatinya.
Nadya, yang selalu berusaha menenangkan, mendekat dan menepuk pundak Alya. “Semua bakal baik-baik aja,” katanya lembut, memberikan sedikit ketenangan di tengah kekacauan pikiran Alya.
“Mbak Alya Novita?” Alya mengangguk ketika ditanya hal tersebut oleh salah satu petugas polisi. “Kami akan membawamu ke kantor polisi untuk dimintai keterangan lebih lanjut terkait pengakuanmu atas insiden kebakaran gedung seni dan kematian Ria Astini,” lanjutnya.
Di tempat itu, guru-guru pun tampak terkejut. Wajah Bu Asri pucat sambil menutup mulutnya saat mendengar pernyataan petugas polisi tadi. Alya menatap gurunya dengan senyum penuh penyesalan.
“Maafkan saya, Bu... maaf...” katanya dengan lirih. Bu Asri tak mampu berkata apa-apa, hanya bisa menahan air matanya.
Alya lalu melihat Endah yang berdiri tak jauh dari sana. Air matanya menetes tanpa bisa ditahan, dan dengan suara yang bergetar, ia meminta maaf kepada Endah. “Aku benar-benar minta maaf, Endah,” katanya, hampir terisak.
Endah hanya bisa memandangnya, tak tahu harus berkata apa. Dalam momen itu, semua terasa begitu berat, seolah waktu berhenti sejenak untuk membiarkan mereka merenungi apa yang baru saja terjadi.
Sebelum dibawa oleh polisi, Alya menatap Arga, Rian, Dimas, Nadya, dan Aisyah. Dia membungkukkan badan dengan sopan, tanda rasa terima kasih yang mendalam.
“Terima kasih,” katanya pelan, namun tulus. “Kalian udah ngungkap semuanya. Aku gak tau harus gimana lagi kalau bukan kalian yang nemuin jawabannya.”
Mereka berlima hanya mengangguk sambil tersenyum kecil pada Alya. Saat polisi membawanya pergi, Alya tersenyum satu kali lagi sebelum menghilang di tengah kerumunan.
Setelah semuanya berakhir, Arga, Rian, Dimas, Nadya, dan Aisyah saling berpandangan. Ada senyum tipis di wajah mereka, tanda kemenangan kecil yang hanya mereka pahami. Tanpa perlu kata-kata, mereka tahu ini adalah pencapaian yang besar, namun tidak perlu ada selebrasi yang heboh. Mereka berjalan pelan meninggalkan kerumunan, mencari tempat yang lebih sepi untuk meredakan ketegangan.
Namun, sebelum sempat merayakan kemenangan mereka, IPTU Bima tiba-tiba muncul bersama bawahannya, IPDA Arya. Wajah mereka tegas dan serius, membuat suasana langsung berubah menegang. Mereka berlima berdiri kaku, menanti apa yang akan dibicarakan.
“Terima kasih atas kerja keras kalian. Lagi-lagi kalian membantu kami dalam penyelidikan. Lalu nanti, sehabis pulang sekolah, saya ingin kalian ke kantor polisi,” kata IPTU Bima singkat. Tatapannya begitu intens, membuat suasana di antara mereka terasa semakin tegang. Tak ada yang berani bertanya lebih lanjut, meskipun kepala mereka dipenuhi dengan kebingungan.
Setelah memberikan pesan itu, IPTU Bima dan IPDA Arya berbalik meninggalkan mereka. Tapi sebelum terlalu jauh, IPDA Arya tiba-tiba berhenti dan menoleh kembali ke arah mereka. Senyumnya kecil, dan dia mengacungkan jempol tanda kerja bagus.
Arga tersenyum tipis, merasa sedikit lega, sementara yang lainnya hanya saling pandang penuh kebingungan. Sesuatu yang lebih besar sepertinya menanti mereka di depan, tapi untuk saat ini, mereka hanya bisa berusaha menikmati momen ini, setidaknya sejenak.
...—o0o—...