"Menikahlah denganku, maka akan kutanggung semua kebutuhanmu!"
Karina Anastasya harus terjebak dengan keputusan pengacara keluarganya, gadis sebatang kara itu adalah pewaris tunggal aset keluarga yang sudah diamanatkan untuknya.
Karina harus menikah terlebih dahulu sebagai syarat agar semua warisannya jatuh kepadanya. Hingga pada suatu malam ia bertemu dengan Raditya Pandu, seorang Bartender sebuah club yang akan mengubah hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fafafe 3, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kerumitan Baru
Malam telah larut. Angin berhembus pelan di luar jendela, tapi, di dalam rumah kecil mereka yang nyaman, tidak ada ketenangan. Pandu terbaring di ranjang, lelah setelah seharian bekerja keras. Matanya mengerjap pelan, berusaha memejamkan diri, tetapi pikirannya terganggu oleh suara langkah-langkah ringan di ruangan sebelah.
Karin masih mondar-mandir di sekitar kamar, menyeka meja yang sudah berulang kali dibersihkan. Matanya merah, kelopak matanya berat karena kurang tidur, tetapi jemarinya masih aktif bekerja, seolah ada sesuatu yang tidak bisa ia biarkan.
"Sayang, sudah tengah malam," kata Pandu dengan suara pelan, tapi penuh harap. "Kamu nggak capek?"
Karin berhenti sejenak, mengusap dahinya dengan tangan gemetar. "Aku… aku tahu ini aneh, Pandu. Tapi aku nggak bisa tidur kalau merasa ada sesuatu yang kotor. Aku sudah mencoba, tapi… aku nggak bisa."
Pandu menghela napas panjang. Dia menatap Karin dengan cinta yang tulus, meski ada rasa letih yang tak bisa dihindari. Ia tahu ini bukan salah Karin, ini adalah penyakit yang selama ini Karin perjuangkan, dan dia sadar bahwa cinta mereka sedang diuji oleh sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar masalah kebersihan rumah.
Setiap hari, Pandu semakin menyadari bahwa kebersamaan mereka bukan hanya tentang cinta dan kasih sayang, tetapi juga tantangan yang luar biasa. Karin, yang dulu begitu penuh keceriaan dan canda, kini semakin sering diliputi oleh kecemasan dan tekanan yang tak tampak di permukaan. OCD-nya kian memburuk setiap kali ada hal kecil yang tidak sesuai dengan harapannya.
"Kamu nggak harus menyelesaikan semuanya malam ini, Sayang, "kata Pandu mencoba membujuk. "Aku tahu ini susah buatmu, tapi… kita butuh tidur. Kita bisa beresin lagi besok pagi."
Karin menggigit bibirnya, lalu menatap Pandu dengan mata yang penuh ketidakpastian. "Aku... Aku nggak bisa berhenti memikirkannya, Pandu. Kalau aku berhenti sekarang, aku akan terus merasa nggak tenang. Rasanya seperti ada yang menghimpit dadaku, dan aku nggak bisa bernapas lega sampai semuanya benar-benar bersih."
Pandu bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan ke arah Karin. Dia meraih tangan istrinya yang gemetar, merasakannya dingin di telapak tangannya sendiri. "Kamu nggak sendiri, Sayang. Aku ada di sini. Kita bisa menghadapi ini bersama."
Karin tersenyum tipis, tapi Pandu tahu senyum itu dipaksakan. Ia melihat kelelahan yang mendalam di mata istrinya, dan hatinya terasa berat. Namun, dia tidak akan pernah meninggalkannya sendirian. Tidak malam ini, dan tidak pernah.
Malam semakin larut, dan Karin masih belum bisa tenang. Pandu akhirnya mengambil kain lap dari tangan Karin dan membimbingnya duduk di sofa. "Dengar, Sayang,” katanya dengan suara lembut namun tegas, "Kamu adalah orang yang sangat hebat, tapi kamu juga butuh istirahat. Kita harus mulai belajar untuk melepas sedikit kontrol, sedikit demi sedikit. Aku tahu ini nggak mudah, tapi kita bisa coba, oke?"
Karin menunduk, merasakan air mata menggenang di matanya. "Aku nggak tahu bagaimana caranya, Pandu. Setiap kali aku mencoba berhenti, pikiranku nggak bisa diam. Aku merasa seperti gagal, terus-terusan gagal, dan aku nggak bisa jadi istri yang baik buat kamu."
Pandu meremas tangan Karin, lalu menarik napas dalam-dalam sebelum bicara. "Karin, kamu nggak gagal. Kamu justru luar biasa. Kamu berjuang dengan hal yang nggak semua orang bisa pahami, tapi aku di sini untuk kamu. Dan selama kita berdua saling mendukung, kita nggak perlu merasa gagal. Kita cuma harus terus belajar dan saling menguatkan. Mulai dari yang kecil, ya?"
Karin menatap Pandu dengan mata berkaca-kaca. "Aku benar-benar takut, Pandu. Aku takut kalau aku nggak bisa berubah. Aku takut kamu akan lelah dan pergi."
Pandu tersenyum lembut dan mengusap pipi Karin. "Aku nggak akan pernah pergi. Kamu sudah jadi bagian dari hidupku, dan aku akan selalu ada di sini. Bahkan kalau itu berarti aku harus bersihkan rumah seratus kali sehari untuk bikin kamu nyaman, aku akan lakukan. Tapi aku yakin, kita bisa coba untuk mengendalikan ini bersama-sama."
Karin akhirnya menyerah pada kelelahan yang menghimpit tubuhnya. Dia mengangguk pelan, dan untuk pertama kalinya malam itu, dia membiarkan Pandu membimbingnya kembali ke ranjang. Mereka berbaring bersama dalam keheningan yang penuh kehangatan, dan meskipun kecemasan masih ada di dalam hati Karin, sentuhan Pandu di tangannya memberikan ketenangan yang tak terduga.
Pagi harinya, saat sinar matahari mulai menyelinap ke dalam kamar mereka, Karin membuka mata lebih dulu. Pandu masih terlelap di sebelahnya, wajahnya terlihat tenang dan damai. Karin menatap suaminya sejenak, merasakan rasa syukur yang mendalam. Meskipun pikirannya masih berkecamuk dengan segala kekhawatiran, ada sesuatu yang lain dalam hatinya, sebuah tekad baru.
Dia sadar bahwa perjalanan mereka masih panjang. OCD-nya tidak akan hilang begitu saja, dan masalah ini tidak akan selesai dalam semalam. Namun, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Karin merasakan harapan. Dia tahu bahwa dengan Pandu di sisinya, mereka akan terus maju bersama. Meskipun hari-hari sulit masih menunggu di depan, Karin percaya bahwa mereka bisa menghadapinya. Bersama.
Karin merapatkan diri ke Pandu, dan meski dia tahu masih banyak yang harus mereka lalui, untuk saat ini, dia merasa damai. Mereka akan menghadapi hari baru dengan cinta dan kesabaran, karena dalam pernikahan ini, cinta mereka adalah kekuatan terbesar yang akan mengalahkan segala masalah.