Dua Hati, Satu Takdir

Matahari sore yang perlahan tenggelam di ufuk barat memancarkan semburat warna oranye dan merah di langit, menciptakan pemandangan indah yang biasanya disukai oleh Mila dan Maya. Hari itu, Mila dan Maya memutuskan untuk pergi ke pantai bersama, mencoba menghabiskan waktu berdua setelah banyaknya ketegangan yang terjadi di antara mereka berdua. Mila mengendarai motor, dengan Maya yang duduk di belakang, memeluk erat pinggang sang adik kembaranya. Suara debur ombak seakan memanggil Mila, menawarkan ketenangan yang Mila butuhkan.

Namun, ketenangan itu berubah menjadi mimpi buruk. Saat motor mereka melintasi jalan menuju pantai, tiba-tiba dari arah berlawanan sebuah mobil muncul dengan cepat di tikungan. Mila yang terkejut, mencoba menghindar, tetapi jalan yang sempit dan licin membuatnya kehilangan kendali. Dalam hitungan detik, motor mereka menabrak bagian samping mobil tersebut. Tubuh Maya terlempar ke sisi jalan, sementara Mila, yang berada di posisi depan, terhempas keras ke aspal.

Semua terjadi begitu cepat. Maya hanya mengalami luka lecet dan memar, tetapi ketika dia bangun dan melihat Mila tergeletak tak bergerak, hatinya terasa seperti dihancurkan. Darah mengalir di kepala Mila, dan matanya tertutup rapat seakan-akan dia sedang tertidur membuat jantung Maya berdetak hebat. Dengan panik, Maya berteriak meminta bantuan, berharap ada orang yang bisa segera datang menolong.

Namun, rasa takut dan kecemasan yang begitu besar akhirnya membuat Maya pingsan di tempat. Beberapa orang yang berada di sekitar lokasi kecelakaan segera datang menolong. Mereka melihat Maya yang pingsan dan Mila yang tergeletak tak berdaya, dengan luka yang cukup parah. Salah satu dari mereka mengambil ponsel Maya yang terjatuh di jalan dan menemukan nomor kontak Arga yang terakhir kali dihubungi. Tanpa ragu, orang itu segera menelepon Arga.

"Halo May,? Ada Apa?" suara Arga terdengar bingung di ujung sana.

"Halo Mas, ini temannya terkena kecelakaan. Mereka ada di jalan dekat pantai. Sebaiknya segera datang atau kita bawa ke rumah sakit."

Mendengar kabar itu, Arga langsung merasa panik. "Gue bakal langsung ke sana. Tolong bawa mereka ke rumah sakit terdekat!"

Setelah menelepon Arga, orang-orang di sekitar mereka segera berinisiatif membawa Mila dan Maya ke rumah sakit terdekat. Mereka bergegas mengangkat tubuh Maya yang masih pingsan dan Mila yang terbaring lemah ke dalam mobil mereka, melaju secepat mungkin untuk mencari pertolongan medis.

Di dalam mobil, suara napas Mila yang berat dan keadaan Maya yang masih tak sadarkan diri membuat suasana menjadi sangat mencekam. Orang-orang di sekitar mereka hanya bisa berdoa agar mereka segera mendapatkan perawatan yang tepat. Tidak ada yang bisa mereka lakukan selain menunggu dengan cemas, berharap keduanya bisa segera pulih.

Saat tiba di rumah sakit, tim medis dengan cepat menangani mereka. Maya yang hanya mengalami luka ringan dan pingsan karena shock, segera mendapatkan perawatan dan sadar beberapa saat kemudian. Namun, kondisi Mila..... keadaan gadis itu jauh lebih serius. Dia langsung dibawa ke ruang ICU, di mana para dokter berusaha keras untuk menyelamatkan nyawanya.

Arga tiba di rumah sakit dengan napas yang terengah-engah dan wajah yang pucat. Hatinya terasa sesak saat melihat Maya yang masih duduk lemah di kursi roda, dengan perban di beberapa bagian tubuhnya.

"Maya, Kamu nggak apa-apa?" Arga bertanya dengan suara gemetar, menatap Maya dengan penuh kekhawatiran.

Maya mengangguk pelan, tapi matanya penuh dengan air mata. "Aku nggak apa-apa, Ga... ta-tapi Mila.... Dia di bawa ke Ruang ICU, aku takut dia kenapa-naa..."

Arga segera menghampiri Maya, memeluk tubuh sang kekasi dengan erat. "Tenang, Maya. Mila pasti kuat kok, dia pasti bisa lewatin ini semua. Aku di sini ada buat lo, dan kita bakal ngelewatin ini bareng-bareng."

Namun, di dalam hati Arga, rasa cemas yang tak tertahankan mulai merayap. Dia tahu bahwa Mila adalah seorang wanita yang tangguh, tapi kali ini, semuanya terasa sangat tidak pasti. Dia hanya bisa berharap dan berdoa agar sahabatnya itu bisa melewati masa kritis ini. Orang tua mereka segera tiba di rumah sakit tak lama setelah Arga, dan suasana di rumah sakit semakin tegang ketika mereka mengetahui kondisi Mila yang kritis.

Selama beberapa hari berikutnya, Maya menghadapi masa yang penuh dengan ketidak pastian. Setiap detik terasa begitu lama saat mereka menunggu kabar dari dokter tentang kondisi Mila. Kecelakaan itu tidak hanya melukai tubuh mereka, tetapi juga membuka luka yang lebih dalam dalam hubungan mereka berdua.