Warning! Konten Dewasa!
Kehidupan Hana baik-baik saja sampai pria bernama Yudis datang menawarkan cinta untuknya. Hana menjadi sering gelisah setelah satu per satu orang terdekatnya dihabisi jika keinginan pemuda blasteran Bali-Italia itu tidak dituruti. Mampukah Hana lolos dari kekejaman obsesi Yudis? Ataukah justru pasrah menerima nasib buruknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ira Adinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keraguan
Melihat keputusasaan di wajah ibu Alin, rasa optimis di dada Hana perlahan luntur. Harapan yang semula menggebu, berangsur redam. Gadis itu hanya bisa mendesah berat, lalu menatap ibu Alin dengan sendu.
"Memang ... membuka kasus kematian Alin nggak akan membuat dia kembali. Tapi setidaknya, dengan mengangkat kasus pembunuhan itu, bisa membuat Alin bahagia di alam baka sana. Apa Ibu mau, Alin merasa sedih karena para pelaku sebenarnya bisa hidup bebas dan berfoya-foya di luaran sana?" kata Hana berusaha membujuk.
"Ibu juga nggak mau itu terjadi. Masalahnya, lawan yang dihadapi itu berat, Hana. Orang tua mereka bukan dari kalangan rakyat biasa, melainkan pejabat dan pebisnis. Bagaimana bisa kita menang melawan mereka?" Ibu Alin memandang Hana dengan lesu.
"Salah satu dari orang tua keempat pelaku sudah tewas tertembak, Bu. Barangkali, dengan begitu kita bisa memanfaatkan kesempatan bagus ini," terang Hana, meyakinkan.
"Nggak semudah itu, Hana. Bagaimana dengan yang lainnya? Pasti mereka akan membuat permainan lagi di persidangan. Yang ada kita cuma buang-buang uang dan waktu," sanggah ibu Alin.
"Hm ... Baiklah, kalau ini keputusan Ibu, saya akan terima. Tapi, bolehkah saya akan mengirim beberapa rekaman ini ke hape Ibu? Barangkali suatu saat nanti Ibu berubah pikiran," tawar Hana.
"Boleh." Ibu Alin menyerahkan ponselnya pada Hana.
Sambil mengirimkan rekaman, Hana berkata, "Sebaiknya Ibu pikir-pikir lagi aja dulu. Bukan apa-apa, hanya saja saya menyayangkan, kalau pria yang sangat mencintai Alin mendapatkan hukuman yang tidak seharusnya dia terima. Jika saja dulu dia berhasil menolong Alin, dia pasti akan mendampingi anak Ibu sampai sembuh dari traumanya. Aku sudah banyak ngobrol sama Anwar di rutan."
"Ya ... Sebenarnya Ibu juga waktu di persidangan kaget banget. Bagaimana bisa, orang yang dikagumi Alin dapat berbuat sejahat itu? Padahal, dulu Alin sering menceritakan tentang Anwar tiap pulang kampung. Dia menaruh rasa kagum pada pemuda itu. Tapi, setelah mengetahui latar belakang Anwar yang merupakan putra seorang pejabat, Alin cukup memendam perasaannya saja. Dia sadar, butuh waktu untuk memantaskan diri dan masuk ke dalam keluarga orang berada," tutur ibu Alin, sambil memperhatikan Hana mengirim rekaman ke ponselnya.
Sontak, Hana tertegun mendengar penuturan ibu Alin. Ia menoleh, sembari berkata, "Jadi ... Alin diam-diam suka sama Anwar?"
"Ibu rasa begitu," jawab ibu Alin singkat.
Tersentuh hati Hana mengetahui cinta terpendam antara Anwar dan Alin. Perasaan mereka yang belum mekar itu harus layu oleh tragedi memilukan. Kini Hana mengerti, tujuan Anwar mencari Alin kala itu bukan semata-mata karena desakan dosen, melainkan kekhawatiran yang amat meresahkannya.
Selesai mengirimkan hasil rekaman, Hana menyerahkan kembali ponsel milik ibu Alin. Ditatapnya lagi wanita paruh baya itu dengan pilu, sambil mendesah pelan.
"Hana, kenapa kamu begitu gigih mencari kebenaran mengenai pembunuhan Alin? Apa kamu cuma merasa gusar kalau pengadilan menjatuhkan hukuman pada orang yang salah? Jika demikian, kenapa nggak kamu saja yang turun tangan dan melaporkan lagi kasus pembunuhan Alin?" Ibu Alin menatap wajah Hana dengan serius.
Hana menggeleng lemah seraya berkata, "Nggak semudah itu, Bu. Saya diancam oleh salah satu pelaku agar tetap diam dan tidak ikut campur. Sebenarnya, saya ingin sekali menjadi saksi bagi kasus pembunuhan itu, tapi saya justru ketakutan lebih dulu buat menghadapi permainan mereka. Dia mengancam akan menjadikan saya sebagai pelaku utama dalam kasus itu. Bisa dibayangkan, kan, kalau saya ikut dibui bersama Anwar? Bukti baru ini mustahil didapatkan."
"Kalau gitu, laporkan saja ancaman dia," cetus ibu Alin.
"Saya nggak mau ada korban lagi. Pacar sama sahabat saya di perantauan sudah dia habisi. Sayangnya, nggak ada cukup bukti buat menjerat dia," tutur Hana memandang kosong, lalu menoleh pada ibu Alin. "Satu-satunya harapan hanya dengan membuka kembali kasus pembunuhan Alin. Dengan begitu, saya bisa hidup tenang tanpa teror dan ancaman. Bukan itu saja, pemuda yang Alin kagumi pun bisa bebas."
Ibu Alin termenung memikirkan ucapan Hana. Ia tak menyangka, tragedi naas yang menimpa putrinya akan serumit ini.
"Bu, saya pamit dulu, ya. Saya mau jenguk bapak sama mama di rumah sakit," pamit Hana beranjak dari tempat duduknya.
Ibu Alin ikut berdiri dan mengantar Hana sampai halaman. Wanita itu tersenyum simpul tatkala Hana berpamitan dan melambaikan tangan. Kebimbangan masih menggelayuti benaknya, meski tahu, bahwa keputusan besar itu hanya ada di tangannya.
Sementara itu, Hana yang sudah menemukan angkutan umum menuju rumah sakit, segera menaiki kendaraan itu. Ketika duduk di jok penumpang, terasa getaran pada ponselnya. Tampak nomor asing muncul di layar gawainya. Alih-alih mengangkat panggilan masuk, Hana menolaknya dan memasukkan kembali ponsel ke saku celana.
Tak berselang lama, sebuah pesan singkat muncul di ponselnya. Hana kemudian membuka pesan masuk itu, laku membacanya.
+62xxx : Hana, kapan kamu ke sini lagi?
Hana : Ini sama nomor siapa, ya?
+62xxx : Masa kamu nggak tau? Kamu tuh jahat banget, ya, nggak bisa inget sama orang yang kangen kamu setiap saat.
Seketika napas Hana tercekat. Ia menelan ludah, kemudian menonaktifkan ponselnya. Gadis itu sudah yakin, bahwa seseorang di balik nomor baru itu tidak lain adalah Yudis.
Setibanya di rumah sakit, Hana bergegas menuju ruang ICU. Dihampirinya sang ibu yang masih termenung memandang kondisi Pak Parman dari balik jendela.
"Ma, gimana keadaan Bapak? Udah ada perkembangan?" tanya Hana, dengan raut harap-harap cemas.
Bu Esih menggeleng pelan, seraya berkata, "Kondisinya masih sama. Belum ada tanda-tanda siuman."
"Hm ... kalau gitu, sebaiknya Mama pulang dulu aja, ya. Biar Hana yang mantau kondisi Bapak di sini. Nanti kalau ada kemajuan, Hana kasih kabar. Mama pasti letih, kan, semalaman di sini?" ujar Hana menepuk pundak ibunya.
Bu Esih mengangguk. "Mama pulang dulu, ya. Tolong kabari Mama secepatnya kalau ada apa-apa sama Bapak."
"Iya, Ma."
Bu Esih berjalan dengan lesu menyusuri koridor menuju lift. Semalaman ia tidak tidur nyenyak akibat terlalu memikirkan kondisi sang suami. Kendati demikian, ia tak putus berdoa mengharapkan kesembuhan untuk Pak Parman.
Selepas ibunya pergi, Hana memandang sendu sang ayah yang terbaring lemah di dalam ruangan itu. Tak terasa, air matanya meluncur membasahi pipinya, mengingat kondisi Pak Parman begitu memprihatinkan.
Merasa tak kuasa menahan kesedihan, Hana duduk sejenak sembari menyalakan lagi ponsel. Muncul banyak pesan masuk dari nomor yang menghubunginya saat di angkutan umum.
+62xxx : Kok pesan aku nggak dibales, sih? Marah sama aku?
+62xxx : Kalau nggak mau bales, nggak apa-apa, sih. Aku nggak bakal balik marah sama kamu.
+62xxx : Nanti aku datang ke situ buat ketemu kamu, sekalian menjenguk orang tua kamu yang lagi sakit.
+62xxx : Pokoknya tunggu aja, deh, aku bakal ke rumah sakit secepatnya buat ketemu kamu sama keluarga kamu.
Tercengang Hana membaca pesan itu satu per satu. Suasana hatinya berubah gelisah, menyadari Yudis akan mendatangi rumah sakit.
Hana : Mau ngapain kamu sok-sokan menjenguk bapak aku?
+62xxx : Aku cuma mau kenalan sama keluarga kamu. Masa nggak boleh? Aku aja ngenalin kamu sama ayah ibuku.
Hana : Tapi kita nggak punya hubungan apa-apa.
+62xxx : Ayolah! Nggak usah munafik. Kalau kamu masih mikirin aku, berarti aku ini sangat berarti buat kamu. Walaupun aku akui kalau hubungan kita berdua ini rumit.
Hana : Berhentilah membual! Aku nggak mengharapkan kehadiran kamu di sini.
+62xxx : Oke. Tapi kamu jawab dulu, kapan mau datang ke Jakarta lagi?
Hana : Aku bakal mencari kerja ke kota lain dan nggak akan pernah ke sana lagi. Paham?
+62xxx : Baiklah, kalau gitu, aku bakal bikin kamu datang ke sini lagi.
Hana : Silakan aja kalau bisa.
Yudis yang membaca balasan dari Hana, hanya tersenyum sinis. Pesan singkat yang diterimanya bagaikan tantangan terbuka dari gadis itu. Ia pun mengangguk takzim, berencana akan melancarkan tindakan yang tak pernah Hana duga.
Thor 💪👍🙏🙏😘