Demi menghindari bui, Haira memilih menikah dengan Mirza Asil Glora, pria yang sangat kejam.
Haira pikir itu jalan yang bisa memulihkan keadaan. Namun ia salah, bahkan menjadi istri dan tinggal di rumah Mirza bak neraka dan lebih menyakitkan daripada penjara yang ditakuti.
Haira harus menerima siksaan yang bertubi-tubi. Tak hanya fisik, jiwanya ikut terguncang dengan perlakuan Mirza.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadziroh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pergi
Air mata mengalir deras membasahi pipi Haira saat melihat dua garis merah yang bertengger di test pack. Sekujur tubuhnya teras lemah hingga membuatnya ambruk. Fakta yang mencengangkan. Ia yakin kalau pil itu benar-benar tertelan. Namun, Tuhan yang maha berkehendak ternyata memiliki rencana lain dan menitipkan makhluk di rahimnya.
Kepalanya terus menggeleng tak percaya dengan apa yang terjadi. Ini seperti sebuah mimpi. Tak pernah terselip di otaknya keinginannya untuk menjadi seorang ibu, namun kini harus mengandung seorang bayi dari laki-laki kejam.
"Ini tidak mungkin?" sangkal Haira tak percaya.
Tangannya terangkat mengelus perutnya yang masih rata.
Kenapa kamu harus hadir di rahimku, apa salahku? Haira hanya mampu mengucap dalam hati. Suaranya tercekat di ujung lidah. Hatinya benar-benar hancur berkeping-keping.
Semua kata-kata yang pernah Mirza ucapkan terlintas di otaknya membuat Haira takut.
Kamu harus minum ini setiap hari. Aku tidak mau kamu mengandung anakku. Kalau sampai itu terjadi, kamu harus menggugurkannya.
"Menggugurkan, itu artinya anak ini akan terbunuh sebelum dia lahir."
Tangan Haira mengulur, memungut benda yang teronggok itu lalu memasukkan ke saku bajunya. Ia bangkit, menatap bayangannya dari pantulan cermin. Sangat menyedihkan. Impiannya kini lebur tanpa sisa, tak ada harapan lagi untuk bahagia.
"Anak ini tidak berdosa, dan dia tidak boleh menanggung dosaku. Aku harus bisa pergi dari sini untuk menyelamatkan dan membesarkannya."
Haira merapikan rambutnya. Lalu keluar, duduk di tepi ranjang, menatap ke arah jendela, memikirkan cara untuk bisa pergi dari rumah itu. Rumah yang dianggap seperti neraka.
"Siapa orang yang bisa membantuku?"
Haira mengabsen nama-nama penghuni rumah itu. Akhirnya berhenti pada nama Arini. Hanya nama itu yang menjadi harapan satu-satunya untuk bisa terlepas dari jeratan Mirza.
"Mungkin dia yang bisa membantuku pergi dari sini."
Haira beranjak dari duduknya lalu membuka pintu. Bertepatan dengan itu, Mirza berjalan ke arahnya membuat Haira menunduk.
Sepasang kaki yang dibalut sepatu hitam mengkilap berhenti di depan Haira. Tubuhnya tegap tinggi. Haira hanya bisa menatap separuh tubuh pria itu. Dari lubuk hati terdalam ingin melayangkan pukulan. Namun sayang, ia tak mungkin melakukannya.
Mirza menatap rambut Haira yang sedikit basah lalu beralih pada kedua tangan gadis itu yang saling terpaut.
Jantungnya kembali berdegup kencang seperti benderang mau perang. Meskipun begitu, ia tetap menepis ucapan Aslan dan tak ingin mengakuinya.
"Sebentar lagi obat kamu datang, makan dan minum obat yang teratur, aku tidak mau kamu sakit."
Secuil perhatian saja membuat dada Haira sejuk. "Terima kasih, Tuan." Haira membungkuk sopan.
Mirza membalikkan tubuhnya. Namun, baru beberapa langkah, ia berhenti lagi tanpa menoleh.
"Jangan senang dulu, aku hanya nggak mau kamu terus-terusan merepotkanku," sanggah Mirza kemudian.
Aku tahu, sampai kapanpun kamu tidak mungkin peduli padaku. Hanya mengucap dalam hati.
"Tuan," panggil Haira dengan suara lemah. Berjalan menghampiri Mirza dan berhenti di belakang pria itu. Mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk meminta izin pada Mirza.
"Apa saya boleh keluar?" tanya Haira ragu-ragu. Ia tahu pasti sulit mendapat izin dari Mirza, tapi ia harus tetap melakukan itu. Waktunya tak banyak, sebelum Mirza mengetahui kehamilannya, Haira harus bisa hengkang dari rumah itu.
"Untuk apa?" tanya Mirza dengan suara dingin.
"Mau membeli obat yang biasa saya minum saat di kampung. Tempatnya nggak jauh, dekat pabrik."
Mirza membisu seperti memikirkan sesuatu. Setelah ia mengingat toko obat tradisional yang ada di samping pabrik garmen miliknya itu, ia mengangguk tanpa suara.
Akhirnya, aku bisa keluar dari sini.
Haira mengusap dadanya lalu keluar. Sikapnya yang nampak biasa dan bajunya yang sederhana tak membuat semua orang curiga, termasuk Mirza yang dengan mudah mengizinkannya.
Haira menghampiri bi Enis yang ada di taman. Jalannya tak terlalu buru-buru. Ia berusaha penuh untuk tetap tenang dan santai.
"Bi, pinjam uangnya. Aku nggak biasa minum obat dari dokter. Lebih cocok obat tradisional," ucap Haira berbisik.
Bi Enis mengambil beberapa lembar uang yang diambil dari sakunya.
"Bibi hanya punya uang segini, kalau Nona mau yang lebih, Bibi bisa ambilkan lagi." memberikan semuanya pada Haira.
Haira menghitungnya lalu menggeleng. "Ini sudah lebih cukup, nanti kalau aku punya uang, pasti aku kembalikan."
Haira langsung berlalu. Seperti tadi, sedikit pun tak menampakkan sikap yang mencurigakan. Setelah punggung Haira menghilang di balik gerbang, Mirza menghampiri pelayannya itu.
"Tadi dia pinjam apa, Bi?" tanya Mirza.
"Pinjam uang, Tuan. Katanya untuk membeli obat."
Mirza langsung pergi tanpa berkomentar apapun. Entah kenapa hatinya merasa tersauat mendengar penuturan bi Enis.
Apa yang sudah aku lakukan?
Merasa aman, Haira langsung menaiki kendaraan ke arah terminal.
Matanya berkaca dengan tangannya terus mengelus perutnya yang rata.
"Maafkan mommy, Sayang. Mommy harus menjauhkan kamu dari Daddy. Mommy akan menjagamu sendirian, kita akan tinggal di tempat yang jauh dari orang jahat yang akan membunuhmu."
Haira mengusap air matanya yang kembali lolos. Menguatkan hatinya untuk tetap tegar demi janin yang saat ini bersemayam di rahimnya.
Hampir tiga puluh menit, akhirnya Haira tiba di sebuah terminal. Ia menaiki bus jurusan ke arah rumah sang nenek. Baru ada beberapa penumpang yang duduk hingga Haira memilih di samping jendela.
Semakin lama bus itu semakin penuh membuat Haira berkeringat. Dinginnya ac tak mampu menghilangkan rasa panas yang menyeruak.
Namun, tiba-tiba saja hatinya teringat Mirza.
"Aku tidak mungkin pulang ke rumah nenek, pasti Tuan Mirza akan mencariku ke sana. Lagipula apa kata orang kampung jika tahu aku hamil tanpa ada suami, pasti mereka akan menghina nenek."
"Stop… "
Haira menghentikan sang sopir yang hampir melajukan bus nya.
"Maaf, Tuan. Saya salah jalur." Haira langsung turun dari bus itu. Ia berjalan ke arah bus yang lain dengan tujuan yang berbeda. Ia menimbang tempat yang tepat untuk melabuhkan dirinya. Menjalani kehidupan baru bersama anaknya nanti.
"Maafkan aku, Nek. Untuk kali ini aku tidak bisa kembali bersama kalian. Tapi aku janji akan kembali setelah anakku lahir nanti."
Hampir satu jam mata Mirza terus menatap ke arah gerbang. Rasa cemas mulai menyelimuti saat mengingat Haira yang tak kunjung datang. Padahal, jarak antara pabrik dengan rumahnya hanya berkisar tiga puluh menit, itu pun pulang pergi, namun ini sudah lebih dari waktu yang seharusnya, dan Haira belum ada tanda-tanda pulang.
Mirza merogoh ponsel dari saku celana lalu menghubungi Erkan.
"Apa Tuan membutuhkan saya?" tanya Erkan dari seberang ponsel.
"Haira keluar, katanya mau membeli obat di samping pabrik. Sekarang kamu cari dia. Bawa pulang ke rumah. Kalau perlu periksa ke tempat yang pernah ia kunjungi selama bekerja di pabrik."
"Baik, Tuan."
𝚑𝚎𝚕𝚕𝚘 𝚐𝚊𝚗𝚝𝚎𝚗𝚐 𝚜𝚊𝚕𝚊𝚖 𝚔𝚗𝚕 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚊𝚞𝚗𝚝𝚢 𝚊𝚗𝚐𝚎𝚕𝚊 🤣🤣