ANGST, MELODRAMA, ROMANCE
Davino El-Prasetyo memutuskan bahwa dia tidak akan mencari yang namanya 'cinta sejati'. Bahkan, dia menginginkan pernikahan palsu. Pada suatu malam yang menentukan, Nadia Dyah Pitaloka, yang mengenalnya sejak masa kuliah mereka, mengaku pada Davino bahwa dia ingin ikut serta dalam perjodohan yang tidak bergairah itu.
Masalahnya adalah... dia sudah lama naksir pria itu!
Bisakah dia meyakinkannya untuk jatuh cinta padanya...?
Atau akankah pria itu mengetahui niatnya yang tersembunyi...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Afterday, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20. Saat Bunga Mawar Mekar
Nadia dan Davino duduk bersama di sebuah ruangan pribadi kecil di sebuah restoran Cina.
“Dim sum adalah makanan ringan yang berasal dari kebiasaan makan siang di wilayah Guangdong, Cina. Makanan ini terdiri dari pangsit dan berbagai kue-kue khas Tiongkok. Orang-orang biasanya menikmati….”
Nadia diam-diam membaca penjelasan di menu secepat mungkin. Dia berusaha keras untuk tidak terlihat seperti baru pertama kali makan dim sum, meskipun ini adalah pertama kalinya.
Kenapa aku selalu kehilangan akal sehatku saat aku berada di dekatnya? gumam Nadia dalam hati. Inilah mengapa dia selalu menjaga jarak begitu lama dari Davino.
Nadia selalu sangat cemas untuk tidak terlihat seperti orang bodoh di depan Davino sehingga dia biasanya tidak melakukan apa-apa. Dia hanya diam dan meringkuk.
Davino, yang telah duduk di kursinya, mencondongkan tubuhnya ke depan. Melihat Nadia membaca menu dengan panik, dia bertanya, “Apa yang ingin kamu makan?”
“Oh, hmm….” Nadia masih belum membaca semuanya. Ada begitu banyak pilihan. Har gow, xiaolongbao, chang fen—hidangan yang tidak dikenalnya memenuhi menu yang tak ada habisnya.
Semuanya berputar-putar dalam bidang penglihatannya. Setiap makanan memiliki penjelasan singkat di bawahnya, tapi Nadia tidak punya waktu untuk membaca semuanya sebelum memutuskan.
Davino melihatnya ragu-ragu dengan dagu yang ditopang di tangannya. Setiap kali Nadia menatapnya, jantungnya berdebar-debar di dadanya dan keringatnya mengalir deras di punggungnya. Nadia bahkan tidak bisa fokus pada menu. Kemudian dia melihat daftar menu kembali.
Bagus, mari kita makan dari set menu saja. Akhirnya Nadia sudah memutuskan apa yang ingin dipesan. “Em, aku rasa aku hanya akan makan salah satu menu set saja.”
“Oke.” Davino mengangguk setuju.
“Bagaimana denganmu, senior… maksudku Davino?” Nadia masih berjuang untuk memanggilnya dengan nama yang tepat.
“Yah, aku….” Davino memulai. Kemudian dia mencondongkan tubuhnya ke arah Nadia. Dia meletakkan tangannya di atas selembar menu yang Nadia pegang, dan punggung tangannya mengusap jari-jemari Nadia. Aku tidak melakukan apa-apa, tapi dia sudah tersipu malu.
“Oh maaf, aku akan membiarkanmu melihat menunya,” kata Nadia sambil meraba-raba untuk memberikan menu tersebut.
Davino mengangkat satu alisnya. “Nadia, aku punya pertanyaan untukmu.”
“Ya? Apa itu?”
“Kenapa kamu selalu—”
Bzzzt. Bzzzt. Saat itu juga, ponsel Nadia bergetar di atas meja. Layarnya berkedip dan menampilkan nama si penelepon-Rama.
Davino berhenti berbicara dan matanya menajam. Alisnya sedikit terangkat saat dia berbicara. “Oh, kamu mendapat telepon dari Rama,” katanya.
“Um… ya,” kata Nadia sambil menganggukkan kepala.
Mengapa Rama menelepon?
Apa dia mendengar sesuatu dari Reyhan?
Reyhan belum mengatakan apapun di grup chat.
Keringat yang mengalir di punggung Nadia menjadi dingin.
“Senior, bisakah aku menerima telepon ini sebentar? Aku akan segera kembali,” kata Nadia, cepat.
Davino mengangguk. “Oke. Cepatlah kembali.”
Nadia dengan cepat mengambil ponselnya dan segera meninggalkan ruangan. Begitu dia menutup pintu, dia segera menjawab telepon. “Halo, Rama.”
“Nadia, apa yang sedang kamu lakukan?”
“Aku… sedang berada di restoran….” Nadia berbicara pelan di telepon sambil berjalan ke ujung lorong.
“Oh, benarkah? Apa kamu sedang sibuk?”
“Hmm, tidak…. Aku tidak terlalu sibuk, tapi aku tidak bisa bicara lama,” kata Nadia. “Apa ada yang salah?”
“Tidak, aku hanya ingin tahu….” Rama berhenti sejenak, melanjutkan, “Kamu bilang kamu mengenal seseorang yang bisa berbahasa Korea, kan?”
Nadia memiringkan kepalanya mendengar pertanyaan yang tak terduga itu. “Seseorang yang bisa bahasa Korea?” Dia mengulangi.
“Ya. Maaf mengganggu kamu di hari libur ini, tapi perusahaan tempat aku bekerja sedang merencanakan beberapa pekerjaan dengan perusahaan di Korea dan kami sedang mencari penerjemah. Apa kamu bilang temanmu hanya bisa menerjemahkan?”
Nadia memiliki seorang teman SMA yang mengambil jurusan bahasa Korea. Dia menjawab, “Oh, tidak, aku pikir terjemahan dan interpretasi keduanya bagus.”
“Oh bagus, bisakah kamu memberikan nomor teleponnya?”
“Ya, tentu saja.”
“Terima kasih, terima kasih.”
“Itu saja?” tanya Nadia.
“Ya, hanya itu saja,” kata Rama.
Itu hanya tentang pekerjaan.
Tentu saja—Reyhan sudah berjanji tidak akan menceritakannya…. Tidak mungkin dia akan mengingkari janjinya secepat itu. Jantung Nadia yang berdegup kencang kembali menjadi lebih lambat.
“Baiklah, aku akan mengirimkannya sebentar lagi.”
“Oke. Terima kasih.”
“Tunggu, Rama? Ada yang ingin kukatakan padamu. Bisakah kita bertemu besok?” tanya Nadia. Dia merasa dia harus memberitahukan tentang pernikahannya secara langsung. Hanya dengan cara itu dia bisa membuat Rama diam.
“Ya, tentu. Apa makan malam boleh?”tanya Rama.
“Kapan pun kamu mau.”
“Kalau begitu aku akan ke kantormu sepulang kerja.”
“Oke, sampai jumpa besok.” Nadia mengakhiri telepon dan bergegas kembali ke ruangan.
Nadia merasa gugup tanpa alasan, berpikir bahwa Rama mungkin sudah mendengar tentang pernikahannya. Bahunya terasa rileks. Saat dia melangkah masuk ke dalam ruangan, dia menatap Davino…. Ada senyuman manis di wajahnya yang tampan.
Davino mengangkat alisnya. “Apa semuanya baik-baik saja.”
“Um, ya,” jawab Nadia sedikit canggung.
“Hmm….” gumam Davino sambil mengangguk.
Nadia duduk di hadapannya dan menyibakkan rambutnya dari wajahnya. Pipinya memerah karena sentuhan Davino beberapa saat yang lalu, tapi sekarang dia terlihat santai, dan raut mukanya kembali normal…
“Dia membutuhkan penerjemah bahasa Korea dan salah satu temanku adalah seorang mahasiswa jurusan bahasa Korea. Jadi, dia memintaku untuk memperkenalkan padanya.” Nadia tersenyum saat menjelaskan, meskipun Davino tidak bertanya.
Ketika dia menyisir rambutnya ke belakang, jarinya tersangkut di jepit pita kecil yang dia jepit di pagi hari, dan jepit pita itu jatuh ke atas meja. “Ups!”
Betapa cerobohnya diriku…. Sebelum Nadia bisa mengambilnya, Davino langsung memungutnya. Dia membukanya dan menjepitnya kembali di rambut Nadia.
Ujung jari Davino membelai dahi Nadia yang halus. Jepit rambut itu sudah tersemat dengan aman di rambut Nadia, tapi Davino tidak melepaskan tangannya.
Dia menatapnya dengan intens. “Kurasa kamu dekat dengan Rama Handoko?”
“Oh, hanya saja… kami satu kelas,” kata Nadia terputus-putus. Matanya menyala seperti lampu interogasi. Kenapa dia menatapku seperti itu?
Namun, tatapan intens Davino membuat Nadia merasa seakan-akan dia tengah diinterogasi. “Dan kamu… juga sepertinya sangat dekat dengan Reyhan,” katanya, dengan nada dingin.
“Rama dan Reyhan hanya teman baikku,” lanjut Nadia, mencoba meredakan ketidaknyamanan di dalam dirinya.
“Mungkin kamu bisa memberi tahu aku lebih banyak,” tuntut Davino, suaranya bergetar dengan pesona misterius. “Ada sesuatu yang menarik dari pandangan matamu.”
Nadia tetap diam saat jari-jari Davino mengusap rambutnya yang tergerai panjang. Mereka bahkan tidak bersentuhan, tapi Nadia bisa merasakan wajahnya sendiri memanas. Dia lupa bernapas saat dia menatap Davino.
Nadia tergagap, mencari kata-kata yang tepat. “Kami hanya teman baik. Dan tidak ada yang istimewa.”
“Tapi bagaimana denganku...?” tanya Davino masih menatap mata Nadia dalam-dalam, bibirnya memonyongkan tanda tidak setuju. “Apakah kamu takut aku akan menggigitmu?”
^^^To be continued…^^^
Bisa jadi Davino juga tidak menyadari bahwa ada cinta di depannya karena pemikirannya sendiri
Nadia berani memulai lebih dulu
sama² menjalani cinta dalam diam maybe