Hanung Rahayu, seorang gadis periang dengan paras menawan. Sejak kematian sang ayah, Hanung tinggal bersama Ibu tiri dan ketiga adiknya.
Ibu Jamilah, Ibu tiri Hanung dulunya adalah abdi dalem di sebuah pondok pesantren yang ada di kotanya. Ketika Bu Nyai datang melamar Hanung untuk putranya, Ibu Jamilah menyerahkan keputusan sepenuhnya di tangan Hanung.
Dengan rela Hanung menerima lamaran tersebut, tanpa tahu calonnya seperti apa. Akankah Hanung mundur dari pernikahan? Bagaimana Hanung menjalani kehidupannya kedepan?
Note: Jika ada kesamaan nama, dan setting, semuanya murni kebetulan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31. Tunggu Aku!
Revisi
.
.
.
.
.
Suasana dirumah Surati hari ini sangat sepi. Sejak kepergian Hanung kemarin, Lala dan Lili menghindari Ayah dan Ibu mereka. Surati dan Donga juga terlihat tak ada percakapan. Mereka sibuk dengan urusan masing-masing.
Lala merasa bersalah karena selama ini menganggap Hanung saingan. Ia sadar, kata-kata yang diucapkan Hanung kemarin malam benar adanya. Ia harus berani mengemukakan pendapat jika ingin menentukan masa depannya sendiri.
"Kamu tahu nomor ponsel Hanung?" tanya Lala ke Lili.
"Tidak. Bukankah Kakak yang menyimpan ponselnya kemarin."
"Aku tidak menyimpannya! Aku mengambilnya dari kamar Ibu kemarin."
"Oh iya!" Lala teringat dengan Alung yang mengatakan Hanung menghubunginya.
Segera Lala menghubungi Alung untuk meminta nomor ponsel Hanung. Sayangnya teleponnya tak kunjung tersambung. Hanya ada dua kemungkinan, yaitu kehabisan baterai atau Alung sedang berpatroli. Lala pun mengirimkan pesan agar saat Alung mendapatkan sinyal bisa mengabarinya.
"Kamu bilang Hanung penurut! Tapi apa? Justru sifat pembangkang yang mendominasi." suara teriakan Donga segera membuat Lala dan Lili menegang.
"Itu Hanung dalam ingatanku 10 tahun yang lalu, Yah! Aku pun tak tahu kalau Hanung yang sekarang seperti itu!"
"Sekarang bagaimana? Kamu mau jadi gantinya?"
"Apa maksud kamu?"
"Jika Hanung menikah dengan Alung, kita bisa memiliki dukungan. Dan sekarang tidak terwujud, kamu saja yang tidur dengan tua bangka itu agar kontrak bisa diperpanjang!"
"Gila kamu, Yah! Aku tidak sudi!"
Keduanya kembali berdebat. Catering Surati tak lagi menjadi catering satu-satunya yang melayani perusahaan. Semakin bertambahnya perusahaan yang ada, usaha catering juga mulai banyak pesaing. Perusahaan yang Surati pegang saat ini sedang melakukan surplus karyawan. Selain itu banyak karyawan yang dipindahkan ke site lain.
Satu-satunya cara untuk bertahan adalah dengan mendapatkan dukungan atau dengan mempertahankan kontrak mereka saat ini, agar catering tetap berjalan. Walaupun mereka harus pindah site mengikuti perusahaan tersebut, itu tak masalah. Mereka masih bisa menjalankan usahanya dan bertahan.
Alung: Memangnya Hanung kenapa?
Tanya Alung yang saat ini membalas pesan Lala.
Lala: Hanung pergi dari rumah, Kak! Kami tak tahu dimana dia sekarang.
Alung: Bagaimana bisa?
Lala: Hanung bertengkar dengan Ayah dan Ibu karena tak mau menurut dengan pengaturan mereka.
Alung: Ini nomor Hanung +62xxxx aku akan membantumu mencarinya nanti.
Lala yang sudah mendapatkan nomor Hanung pun segera menghubunginya, tetapi tak tersambung. Satu jam kemudian, Alung datang ke rumah Donga.
"Bagaimana? Apa bisa dihubungi?"
"Tidak, Kak!" jawab Lala.
"Sama. Aku juga tidak bisa menghubunginya, makanya aku kemari. Kamu tahu kemungkinan tempat Hanung berada?"
"Aku tak tahu. Hanung tak pernah keluar rumah."
"Bagaimana jika terjadi apa-apa dengan Hanung?" tanya Lili yang sedari tadi hanya diam.
Baik Alung dan Lala pun segera melayangkan tatapan tajam. Keduanya pun memutuskan untuk mencari Hanung dengan menyisir jalan. Lala berpesan kepada Lili untuk mengabarinya jika kedua orang tua mereka kembali.
Alung dan Lala mulai pencarian mereka dengan bertanya kepada orang-orang yang mereka perkirakan ada diluar malam itu. Tetapi tak membuahkan hasil, yang ada mereka justru terjebak hujan di sebuah rumah kosong. Disaat yang bersamaan, Hanung sedang mengangkat jemuran pakaiannya yang ada di dekat kamar mandi.
"Pakdhemu belum pulang?" tanya Budhe Cici yang baru keluar kamar.
"Belum ada, Budhe." jawab Hanung sambil melipat pakaian.
"Biasanya sebelum hujan sudah pulang." Hari ini hanya Pakdhe yang ke warung karena Budhe Cici ingin menemani Hanung.
"Hujannya ini tadi tiba-tiba deras, Budhe. Mungkin Pakdhe tidak sempat siap-siap."
"Mungkin saja."
Saat Hanung sudah selesai melipat pakaian, ponsel yang selalu ada dikantongnya berdering. Hanung pun mengangkat panggilan yang ternyata dari Gus Zam dan pamit masuk ke kamarnya. Ia sudah menunggunya sejak pagi dan mengirim pesan beberapa kali tetapi tak mendapatkan balasan. Ning Zelfa juga tidak kunjung memberikan kabar. Dan sekarang sudah lewat dzuhur Gus Zam baru menghubunginya.
"Assalamu'alaikum Humaira.."
"Wa'alaikumsalam Mas.. Kenapa baru menghubungiku?"
"Maaf, tadi.." Gus Zam ragu mengatakannya.
"Apakah Mas sedang tidak baik-baik saja?" tebak Hanung.
Gus Zam hanya diam dengan terus menatap Hanung.
"Kenapa Mas tidak menjawab?"
“Apa yang terjadi dengan pipi kamu, Humaira?” Pandangan Gus Zam tertuju pada lebam di pipi kiri Hanung.
Saking senangnya Gus Zam menghubungi, Hanung sampai lupa dengan bekas tamparan yang ada di pipinya.
“I-ni..”
“Siapa yang melakukannya?” Tanya Gus Zam gusar.
“Ini..” Hanung masih ragu mengatakannya.
“Tunggu aku!” Gus Zam mematikan sambungannya begitu saja.
Hanung pun mencoba menghubungi kembali tetapi tidak tersambung. Ia pun mulai khawatir dengan keadaan suaminya yang terlihat tidak baik-baik saja.
“Zelfa, bagaimana keadaan Mas Zam?” Tanya Hanung yang menghubungi Ning Zelfa.
“Maafkan aku Hanung! Aku belum memberimu kabar. Mas Adib hilang! Mas Adib tidak ada dipesantren!” Seru Ning Zelfa.
Bu Nyai yang ada di samping Ning Zelfa pun mengambil alih ponsel.
“Hanung, jangan khawatir! Kami sedang mencoba mencarinya. Kami sedang menunggu Rahim kembali. Karena selain Adib, Rahim dan satu mobil Abi juga tidak ada di pesantren. Kemungkinan mereka sedang keluar tetapi tidak berpamitan dan ponsel keduanya mati.” Bu Nyai mencoba menenangkan Hanung, walaupun dalam hati beliau juga mengkhawatirkan Gus Zam.
“Barusan Mas Zam menelpon, Umi. Tetapi setelah memutuskan sambungan, Mas Zam tidak bisa dihubungi lagi.” Jujur Hanung.
“Benarkah? Apa yang dikatakannya?”
“Mas Zam tidak mengatakan apa-apa, Umi. Hanya saja wajahnya terlihat tidak baik.”
“Maksud kamu?”
“Sepertinya Mas Zam baru saja kumat, tetapi saat Hanung tanya tidak menjawab.”
“Astagfirullah.. Dimana…” kalimat Bu Nyai menggantung karena dari kejauhan beliau melihat mobil yang menghilang memasuki garasi.
“Hanung, tunggu kabar dari Umi!” Bu Nyai langsung memutuskan sambungan dan berlari ke garasi diikuti Ning Zelfa dan Pak Kyai yang juga melihat kedatangan mobilnya.
“Rahim!” Teriak Bu Nyai saat Kang Rahim baru keluar dari mobil.
“I-iya, Bu Nyai.”
“Mana Adib?”
“Bukannya Gus Zam mau menjemput Mbak Hanung?” Tanya Kang Rahim bingung.
“Apa!” Bu Nyai, Pak Kyai dan Ning Zelfa terkejut dengan pertanyaan Kang Rahim.
Karena mereka sedang ada di garasi, Pak Kyai pun membawa mereka masuk ke dalam kediaman untuk berbicara lebih lanjut. Di sana Kang Rahim menjelaskan jika Gus Zam meminta bantuannya untuk mengantar ke bandara. Kang Rahim yang mengira Gus Zam sudah mendapatkan izin dari Pak Kyai dan Bu Nyai pun setuju tanpa curiga, walaupun sempat ragu meninggalkan Gus Zam sendiri di bandara.
“Lalu kenapa tidak bisa dihubungi? Dan kenapa baru sampai?” cecar Bu Nyai.
“Ponsel saya mati dan tidak cocok dengan cas yang ada di mobil. Kalau kenapa baru sampai, itu karena ban mobil bocor saat di tol. Jadi, nunggu yang mau bantu itu lama karena di mobil hanya ada dongkrak.” Jelas Kang Rahim.
“Bagaimana keadaan Adib, Bi?” Tangis Bu Nyai seketika pecah.
Gus Zam yang tidak pernah keluar rumah selain untuk menemui psikiater, nekad menyusul Hanung sendirian. Walaupun mereka sudah tahu tujuan Gus Zam, mereka tidak tahu posisi tepatnya sekarang. Pikiran macam-macam pun mulai terngiang di kepala mereka, tetapi Pak Kyai segera menepis semuanya dengan mengatakan agar mereka mendoakan yang terbaik untuk Gus Zam.
padahal udah bagus lho