Yang satunya adalah Nona muda kaya raya, sementara yang satunya hanyalah seorang Pelayan toko. Tapi sebuah insiden kecelakaan telah menghancurkan jurang ini dan membuat mereka setara.
Bukannya mati dalam kecelakaan itu, jiwa mereka malah terlempar masuk ke sebuah Novel kuno roman picisan. Tempat dimana segalanya siap dikorbankan demi pemeran utama wanita.
Dan yang paling sial, keduanya malah masuk menjadi Ibu tiri sang pemeran utama wanita. Sama-sama menjadi Istri dari seorang Marques, yang gemuk, jelek dan berperut hitam. Dua karakter, yang akan dihabisi oleh para pemuja Pemeran utama wanita.
Untuk menyelematkan nyawa mereka, keduanya berencana untuk kabur. Tapi tentu saja, tidak ramai tanpa mencuri dan kegagalan. Baca kisah keduanya, dengan kejutan karakter lainnya. ✨
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tinta Selasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21
Calix mengangkat Carnia dan membawanya pergi, di depan banyaknya pasang mata. Dengan identitasnya yang terungkap ke publik, Leroy harus mengikuti keduanya dari belakang, memastikan kakak beradik itu aman.
Tidak tahu bahwa ketiga wanita yang ditinggalkan, akan menjadi pihak yang disalahkan. Ketiganya yang baru saja lolos dari maut setelah menyelamatkan Tuan putri kerajaan, dengan nafas ngos-ngosan dan jantung yang berdebar kencang, malah menghadapi penghakiman dadakan.
"HEY, LIHAT KETIGA MEREKA. PANTAS SAJA MALA PETAKA INI TERJADI, TERNYATA ADA ORANG-ORANG YANG MELANGGAR TRADISI."
Seruan itu membuat semua mata memandangi mereka bertiga.
"Apa lagi ini?" Gumam Meira yang pening.
Sementara Ana, dia langsung berdiri. "Oh, wait hallo? Apa-apaan ini! Kenapa kalian menunjuk kami seperti itu?"
"MEREKA MEMAKAI PERHIASAN DI UPACARA SUCI INI. MEREKA BERNIAT MEMBUAT DEWA MARAH, DAN PUTRI CARNIA CELAKA!" Seru salah seorang lainnya.
Tapi ini jelas tidak masuk dalam akal sehat Ana. Dihadapan hanya orang, dia melawan mereka dengan cemohan. "Cih, omong kosong. Kalian semua pasti buta! Tidakkah kalian lihat, kamilah yang menyelamatkan Putri tercinta kalian? Lalu apa ini? kami menjadi pihak yang salah? Tidak berguna!"
"DENGAR! DIA BAHKAN BERANI MEMAKI KITA! AYO TANGKAP MEREKA!" ~~~~ "AYYYOOOO!"
Persetujuan dari orang banyak itu, membuat Tiara dan Meira langsung berdiri tegak. Tidak terasa mereka tiba-tiba sudah dikepung.
"Tunggu. Tunggu. Ini semua pasti kesalahpahaman. Ka-kami tidak memakai perhiasan ini dengan sengaja. Ka-kami adalah pendatang dan tidak tahu---" Tiara mencoba membela diri. Tapi sayang pembelaan ini tidak berarti.
"MEREKA HARUS DIHUKUM." Seruan yang paling mereka takutkan, terdengar.
"Sial, apa-apaan ini! Kenapa jadi begini?" Takut Meira, yang membuatnya mundur. Tidak sadar, mereka sudah berdiri dengan posisi siap siaga dan saling membentengi.
"Ana! inilah kenapa jangan bicara sembarangan." Ujar Tiara gugup.
Tapi mendengar kesalahan dilimpahkan padanya, Ana jelas sangat tidak senang. Dia menatap Tiara dengan sengit, dan bahkan menjadi semakin marah.
"Berani sekali kau mengatakan itu karena aku? coba saja kalau tidak mencoba hidup suci dengan menyelematkan putri sialan itu, maka kita masih aman-aman saja sekarang."
Kali ini Tiara terdiam, dia tahu dia menyesal telah menyelamatkan Carnia. Tapi terlalu takut dengan banyaknya masa, sampai bicara tak terkendali.
"DENGARKAN SEKALI LAGI! BUKAN KAMI YANG MEMBAKAR KUIL ATAU MEMEGANG API, JADI KAMI TIDAK BERSALAH." Teriak Ana, yang terdengar kemarahannya.
Tapi seolah tak peduli, mereka kembali berbicara. "Kita harus menangkap ketiga mereka, dan menjadikan mereka persembahan pada Dewa."
DEG.
Ana, Tiara dan Meira sontak saling memandang satu sama lain. Ketiganya yang sempat tidak saling senang beberapa saat yang lalu, kini menatap satu sama lain dengan anggukan.
"Kita tak punya pilihan selain, ... LARI!!!!" Ana menjadi yang pertama berlari diikuti Meira dan Tiara. Mereka hanya berlari sekuat tenaga, berlari ke antah-berantah.
"Sial! Kenapa mereka tidak berhenti mengejar." Keluh Meira dalam pelarian mereka. Dia sesekali menengok kebelakang, dan menemukan orang banyak itu tidak menyerah.
Membuat mereka harus terus berlari, sampai memasuki hutan dan itupun masih tidak berhenti dikejar. Hingga akhirnya mereka terpojok, di sebuah jurang yang dibawahnya adalah air terjun yang deras.
Seluruh tubuh mereka dipenuhi rasa takut. Tapi begitu, semenakut-nakutannya alam, masih lebih menakutkan manusia.
Ketiga mereka saling berpegangan tangan di pinggir jurang.
"Kalian harus ikut kemari untuk korban persembahan. Jangan menjadi bodoh dengan melompat ke sungai, ayo kembali." Ajak salah seorang penjaga kuil.
Tapi para orang-orang ini, tidak berbohong atau menakut-nakuti. Tapi korban persembahan yang mereka maksud adalah, mereka harus memberikan diri mereka selama beberapa malam dalam setiap bulan, untuk pelayanan pada Dewa di kuil. Bukan korban, dimana mereka akan disembelih seperti daging hewan.
Sementara bagi mereka bertiga, korban bagi dewa jelas adalah pembakaran seperti di film-film dalam dunia modern. Perbedaan pemikiran ini, terlanjur menjadi momok bagi pikiran ketiganya.
Jadi meskipun orang-orang itu mencoba untuk membawa mereka kembali, Tapi Ana, Tiara dan Meira menolak dengan dramatis.
"Aku lebih baik mati, daripada menjadi korban persembahan." Kata Meira dengan berderai air mata.
Begitu juga Tiara, "Aku tidak akan bisa menjalani hidup yang serba salah ini. Menolong orang lalu kemudian disalahkan? huh, lebih baik aku mati."
Ana yang biasanya juga pemberani, tanpa sadar mengangguk. Dia tidak memikirkan apapun sekarang, sangat buntu. Satu-satunya jalan yang dia lihat hanyalah jurang dengan sungai yang dalam itu.
"KAMI ADALAH ORANG-ORANG TIDAK BERSALAH YANG DIFITNAH. JIKA AKU MATI HARI INI, AKU MENGUTUK KALIAN SEMUA." Serunya lantang.
Melihat banyak orang semakin berdatangan, Ana tanpa sadar memanggil keduanya dalam kematian, "Ayo melompat."
Mereka tanpa berpikir benar-benar menjatuhkan diri ke sungai. Sementara semua orang yang melihat itu menjadi histeris.
Keberadaan sungai yang dalam dan deras, benar-benar menghilangkan mereka bertiga saat masuk ke air. Tapi siapa sangka, orang-orang yang katanya ingin mati ternyata lihai dalam berenang. Sementara Ana yang paling percaya diri dan tanpa drama air mata, ternyata dialah yang tidak tahu berenang.
Insting Meira dan Tiara membawa mereka naik ke permukaan di tengah derasnya arus. Beruntung mereka saling berpegangan tangan saat jatuh, dan tidak mencoba melepaskan, hingga menyadari bahwa Ana yang ditengah tidak tahu berenang. Pergerakan panik Ana, sempat membuat keduanya kesulitan di dalam air. Tapi keduanya tidak menyerah, dengan sekuat tenaga mereka membawa Ana hingga sampai ke pinggir.
Mereka benar-benar berhasil menyelamatkan diri, walau butuh beberapa waktu bagi Ana untuk sadar. "Uhhhukkk!" Ana memuntahkan air sungai. Dia menatap kesana kemari dengan yang kabur, "A-aku masih hidup?"
Meira mengangguk lemah, dia sudah sangat lelah dalam hidup. Baik dulu maupun sekarang. Dia sempat berharap dia tidak tahu berenang, hingga akan mati saja tadi, seperti ucapan Ana.
"AKU MASIH HIDUP? SIAL! LEBIH BAIK AKU MATI, HINGGA BISA MENGUTUK MEREKA." Kesal Ana sampai di urat-uratnya.
Tapi itu jelas hanya dimulut, nyatanya ketiga mereka sangat senang karena masih selamat. Namun menatap tingginya tempat mereka jatuh, mereka kembali sedikit putus asa.
"Entah apa yang akan kita lakukan sekarang?"