Cintailah pasanganmu sewajarnya saja, agar pemilik hidupmu tak akan cemburu.
Gantungkanlah harapanmu hanya pada sang pencipta, niscaya kebahagiaan senantiasa menyertai.
Ketika aku berharap terlalu banyak padamu, rasanya itu sangat menyakitkan. Kau pernah datang menawarkan kebahagiaan untukku tapi kenapa dirimu juga yang memberiku rasa sakit yang sangat hebat ?
~~ Dilara Annisa ~~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda Yuzhi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ceraikan Dia.
Suasana sarapan pasangan suami istri terasa hening dan kaku. Jika biasanya mereka makan diselingi celetukan-celetukan gombalan Fikri untuk sang istri atau ucapan-ucapan manja dari Dilara, kali ini setelah sekian hari. Hari ini adalah sarapan pertama mereka dengan penuh kecanggungan dan terasa senyap.
" Ra ! Abang sudah boleh bicara ? " Tanya Fikri lembut setelah menyelesaikan sarapannya, dan melihat Dilara juga telah menyudahi makannya.
Dilara mengangguk pelan mengusapkan tissu di mulutnya utuk menahan rasa mual yang tiba-tiba menyerangnya.
" Kenapa sarapannya tidak habis, Ra ? " Fikri melirik mangkuk bubur milik Dilara yang hanya berkurang setengah.
" Saya kenyang. " Jawab Dilara melempar pandangannya ke arah lain.
" Makan yang banyak, sayang ! Lihatlah badanmu semakin kurus. Abang suapin ya ?! " Tukas Fikri lembut meraih mangkuk bubur.
" Bicaralah, bang ! Saya harus ke cafe di Donggala hari ini. " Tolak Dilara tegas dengan aura yang semakin dingin.
Hati Fikri serasa ditusuk ribuan jarum melihat reaksi Dilara yang seolah enggan berlama-lama dengannya. Ditambah lagi, istrinya itu tak lagi berujar manja padanya.
" Maafkan abang kalau sudah melukaimu ! " Ujarnya meletakkan mangkuk kembali ke atas meja. " Abang mohon, jangan hukum abang dengan sikap dinginmu seperti itu. " Mohon Fikri dengan tatapan sendu menyorot pada sang istri.
" Ceritakanlah apa alasan abang menikah lagi ! Saya sudah memberi waktu untuk abang. Atau abang belum menemukan alasan yang tepat ? Biar saya siap-siap kerja dulu kalau begitu. Saya beri kesempatan pada abang untuk menyiapkan alasannya. " Pungkas Dilara tegas, tak menanggapi permohonan Fikri.
" Jangan ! Jangan dulu pergi, sayang ! Abang akan menceritakan semuanya. Dan ini bukan pembelaan. Abang akan bercerita fakta yang sebenarnya. " Cegah Fikri saat melihat Dilara hendak berdiri dari duduknya.
" Oke. Baiklah, ceritakan sekarang ! " Ucap Dilara datar lalu menatap dalam-dalam wajah sang suami.
Lagi- lagi Fikri menarik napas beratnya dan mulai menceritakan awal mula dia terpaksa harus menikahi Maria. Raut wajah gusar dan penuh sesal jelas tergambar dari laki-laki tampan penuh kharisma itu. Dilara diam, menyimak dengan seksama setiap rangkaian tutur kalimat yang diucapkan sang suami tanpa menyelanya.
" Begitu ceritanya, sayang. Abang juga sudah menceritakan semuanya pada Umi dan Abi. Sungguh, abang tidak punya niat untuk mengkhianati cinta kita. Abang masih tetap suamimu yang dulu. Suami yang hanya mencintaimu seorang. " Ucap Fikri mengakhiri penuturannya seraya menatap dengan wajah memelas ke arah Dilara.
Dilara bungkam tak berreaksi. Otaknya seketika blank. Dia bingung mengambil keputusan. Di sisi lain dia ingin mempertahankan pernikahannya karena dia masih sangat mencintai suaminya itu. Tapi di sisi lain dia sadar bahwa dia tidak bisa memberikan kebahagiaan yang sempurna pada sang suami. Dia tidak bisa memberi keturunan pada Fikri. Dia tidak boleh egois, dia harus merelakan Fikri untuk Maria yang jelas-jelas sempurna sebagai perempuan yang bisa melahirkan anak untuk sang suami.
" Ra ! Kita balik ke rumah kita, ya sayang. Abang tidak bisa hidup tanpamu. " Bujuk Fikri melihat Dilara hanya diam. Fikri bangkit lalu berlutut kembali di depan Dilara.
" Kamu percaya abang, kan Ra ? Abang tidak menyentuhnya sama sekali, sayang. Abang menikahinya pure hanya bentuk tanggung jawab. Jadi maafkan abang, ya sayang ! " Sekali lagi Fikri bersuara sambil menggenggam lembut kedua tangan Dilara yang terasa dingin.
" Pernikahan bukanlah sesuatu permainan. Saat abang mengucap ijab kabul, sesungguhnya abang sedang bersumpah di hadapan Allah. Kenapa bisa, abang menyematkan kata hanya di dalam satu ikatan suci ? Seperti apapun alasan abang menikahinya, jangan pernah abang menyepelekannya. Dia tetap istri abang juga. Wanita yang wajib abang beri nafkah lahir maupun batin. " Ucap Dilara tegas setelah beberapa saat diam. Tapi setelahnya dia menggigit keras pipi bagian dalamnya, mencoba menahan perih yang dia ciptakan sendiri.
Cih...semunafik itukah dirinya ?
Mulutnya memperingati suaminya tentang nafkah batin, tapi hatinya bagaikan diremas membayangkan sang suami harus menyentuh wanita lain. Sebagai manusia biasa dia tidak rela berbagi suami dengan siapapun itu, termasuk Maria yang sejatinya telah menjadi madunya. Sumpah demi apapun, dia rela meninggalkan Fikri daripada harus melihat suaminya bercumbu dengan wanita lain
Fikri terbeliak mendengar ucapan Dilara. " Tidak bisa, Ra ! Abang tidak bisa menyentuhnya. Abang tidak bisa menyentuh orang yang abang tidak cintai. Abang bisa memberinya nafkah lahir, tapi untuk nafkah batin abang tidak bisa. " kepalanya menggeleng keras seraya menatap tajam ke arah Dilara.
" Kalau begitu ceraikan dia ! " Ujar Dilara dengan suara bergetar. Ucapan itu bahkan terdengar kejam di telinganya sendiri. Sungguh dia sangat berdosa menyuruh seseorang untuk menceraikan istri yang sah di mata Allah. Tapi jujur, dari dalam hatinya terdalam dia tidak bermaksud dzolim pada orang lain. Dia masih punya hati nurani juga. Dan dia tidak ingin suaminya berdosa, tidak menjalankan pernikahan sesuai syariat. Alangkah baiknya Fikri menceraikan Maria saja jika tidak menafkahi batin istrinya itu.
Fikri tersentak dan seketika bungkam. Suami Dilara itu terlihat bingung. Genggamannya di tangan Dilara semakin erat.
" Tidak bisa, Ra ! Abang sudah berjanji akan membersamai Maria dan Ann sampai kapanpun. " Ujarnya lirih seraya menundukan pandangannya.
" Jleb ! " Ada yang terasa menusuk di dalam hati Dilara hingga terasa perih dan berdenyut nyeri.
" Membersamai mereka sampai kapanpun ? " Beo Dilara. Tubuhnya melemah dan sontak tersandar di sandaran kursi yang terbuat dari kayu jati itu. Dia menggerakan tangannya untuk menepis genggaman tangan Fikri. Lagi-lagi dia egois. Ternyata ikhlas itu tidak semudah diucapkan. Tahulah dia sekarang kata ikhlas itu tidak ada, yang ada itu adalah keterpaksaan yang terbiasa. Dan saat ini dia belum terbiasa.
" Kalau begitu saya yang mundur. " Tegas Dilara tanpa menatap Fikri.
Fikri kembali tersentak lalu mengangkat pandangannya. " Tidak ! Jangan, Ra ! Abang juga tidak bisa ! " Ucap Fikri gusar. Ditangkupnya kedua pipi Dilara, memaksa sang istri agar menatapnya.
" Lihat abang, Ra ! Abang dan Maria menikah hanya formalitas saja. Abang hanya bertanggung jawab atas kesalahan abang. Tapi abang tetap milikmu seutuhnya. Cinta abang, tubuh abang dan semua yang ada pada abang murni hanya milikmu seorang. "
" Plak " Suara telapak tangan beradu dengan kulit pipi terdengar renyah.
..
Aku selalu meninggalkan jejak kok Thor...
boleh yaa double up /Pray//Pray/
double up dong Thor ...pliss !/Pray//Pray//Pray/
double up dong
tidak anak tidak ibu,dua duanya bikin kesel /Panic//Panic/
lanjut kak
dan pergi jauh dari fikri
Fikri Maruk...
mau dua duanya.
mana ada perempuan normal, yang rela melihat suaminya dengan perempuan lain ?
agak laen memang kau, Bambang !!