Konon ada sebuah kejadian mistis, roh seorang dukun beranak yang tidak sempurna. Mendatangi setiap warga dengan wujudnya seperti di kala dia hidup, terkadang membuat lupa jika Bu Inggit sudah meninggal ketika orang yang tak sengaja berpapasan dengannya. Kematian Bu Inggit yang tidak wajar masih menjadi misteri di desa, mungkin karena sebab itu rohnya masih gentayangan. Teror tidak berakhir, semua warga di sana menjadi tumbal, tidak akan ada yang lolos, seperti kutukan semuanya meninggal dan akan kembali ke tanah kelahirannya. kecuali, keluarga Asih yang berhasil melarikan diri ke kota 13 tahun berlalu teror itu datang menjadi bumerang untuk kehidupan keluarganya, bagaimana perjuangan Citra, cucu dari Asih yang tidak tahu apapun dan harus berjuang menanggung semua nya, berjuang untuk tetap hidup dan mencari sendiri jawaban yang tersembunyi. Apakah citra bisa melewatinya? Atau takdir membuatnya mati seperti yang dikatakan teror itu, jika tidak akan ada yang selamat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Siti Nurhasanah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketakutan Nenek, Fakta Citra
"Semua gara-gara Ahmad, kalau saja keluargaku tidak ada yang mengenalnya dan sudi membawa ahmad, prahara terbesar itu tidak akan pernah terjadi."
#####
Aaaa. ..
Teriakkan Citra terdengar sampai ke lantai satu berhasil membuat neneknya hampir terkena serangan jantung.
Neneknya cepat menaiki anak tangga dengan napas yang ngos-ngosan karena faktor usianya yang sudah sepuh. "Citra!" Pekiknya. Buru-buru mendatangi Citra yang sudah terlihat aneh di kasur, kedua bol matanya tampak menjadi putih semua, hingga ketika melihat citra neneknya langsung panik juga ketakutan melihat pemandangan yang mengerikan di depan mata.
"Cucu mu Untukku!"
Samar terdengar suara yang menggema di telinga, seolah naluri alami bulu kuduknya kian merinding ketakutan karena bagi Asih neneknya Citra, suara khas itu mirip Ahmad. Suara yang sangat ditakutinya kian meradang seakan ingin membuat asih sampai mati Kutu.
Brakkk...
Suara pintu terdengar terbuka sekaligus. "Citra?" Disusul dengan ibunya yang masuk ke dalam kamar. Tak kalah panik, ibunya sampai menutup mulut dengan kedua mata yang membulat melihat tingkah Citra. Zira tetap memaksakan diri, bagaimanapun dia seorang Ibu, meski tangannya gemetar tapi zira masih berusaha meraih tubuh Citra sampai ketika telapak tangannya menyentuh bahu Citra, spontan tubuh Citra melemas dan tersungkur ke arah depan tepat pada tubuh Ibunya. Zira menangis karena khawatir.
"Kamu baik-baik saja, citra baik-baik saja!" Ucapnya terus menerus sambil menciumi Citra yang sudah pingsan.
Asih yang masih syok mulai bingung, padahal tadi dia sedang melakukan ritualnya seperti biasa dan seharusnya Citra semakin baik-baik saja, tapi mengapa terjadi seperti itu? Hatinya terus bertanya tanpa menemukan jawaban.
Asih terdiam bingung, tapi batinnya tak bisa dibohongi, asih selalu memikirkan Ahmad setiap kali mendengar bisikan yang entah berasal dari mana, maka dia bisa setengah mati ketakutan sendiri. Apalagi melihat Citra yang semakin lama ini tampak seperti linglung, citra bisa pingsan dalam seminggu, tidak ingat apapun, padahal dia yakin dosis yang diberikan untuk cucunya tidak terlalu berlebihan, lagipula seharusnya ritual itu sudah cukup membuat keluarganya semakin damai, tapi tidak dengan akhir-akhir ini. Tepat setelah kejadian itu. Tepat setelah seorang teman Citra yang asih kenal dengan nama Cantik.
Asih semakin bingung, mengapa rasanya dia begitu akrab dengan Cantik. Dia harus menemukan gadis itu dan mencari tahu.
"Bu, ngomong apa sih sama citra? Tau sendiri kan citra baru siuman!" Bentak Zira pada Asih mertuanya dengan sangat murka.
Asih diam tak sanggup bicara, apalagi hatinya yang selalu mengatakan jika semua itu adalah salahnya.
"Hubungi Mas Kavi Bu!" Pintanya lagi dengan berteriak, kesal karena Asih hanya melongo kebingungan.
Buru-buru Asih mencari hp di kamar citra, setelah melihat hp citra tergeletak di cermin dia segera meraihnya dan hpnya cepat diberikan pada Zira menantunya.
"Citra baik-baik saja kan?" Asih baru bicara namun tak didengarkan sama sekali oleh Zira.
"Mas! Dimana sih? Kok belum pulang?" Cerocos Zira ketika menelpon suaminya itu. Berbicara kasar meski di hadapannya ada asih ibu mertuanya. "Citra mas dia histeris. Udahlah cepet pulang." Pintanya kemudian telpon pun dimatikan sekaligus. Melihat tingkah Zira yang selalu seperti itu membuat Asih hanya bisa mengusap dada.
Asih ingin mendekat lagi namun Zira cepat menangkis tangan mertuanya itu. "Mending Ibu itu pergi saja!" Usir zira karena terlanjur kesal.
Ketika Zira sudah merapihkan kasur, menidurkan Citra yang aneh sekali karena Citra sedang pingsan. "Bu! Citra tidur ya!" Tiba-tiba terdengar suara Citra menyahut, ketik melihat ke arahnya di depan mata Zira juga asih, tubuh citra berbalik dengan santai seolah tidak terjadi apapun.
Zira mematung, tapi dia yang sedang diambang bingung memilih pergi dari kamar Citra dengan semua pertanyaan yang ada. Tidak luput dari rasa takut, zira ketakutan setengah mati, selalu merinding tanpa sebab, dan merasa sedang diperhatikan atau diawasi oleh seseorang.
Nenek yang berada di dekat citra sangat menyalahkan dirinya sendiri, jika saja bukan karena Ahmad, keluarganya tidak akan sampai seperti itu. Diteror dengan rasa takut sampai belasan tahun.
Terpaksa Asih juga meninggalkan citra yang sudah tenggelam di antara bantal. Tidak enak jika keberadaannya malah mengganggu Citra.
"Asih! Cucu mu untukku!" Diikuti dengan suara tawa laki-laki yang menggema diantara ruangan.
Asih mematung, dia merasakan kehadiran sesuatu di belakangnya sampai ketika suaranya hilang lagi, bulu kuduknya berdiri merinding sekali.
"Cepat keluar Bu!" Ucap Zira tiba-tiba kembali ke hadapan Asih.
Buru-buru Asih pergi saat itu.
"Aneh Ra. Aneh sekali!" Ucap neneknya berulangkali. Maksud Asih sebenarnya ingin menceritakan semua yang dialaminya tadi, termasuk suara-suara yang mengganggu. Namun ucapannya tidak diindahkan Zira, lebih baik memang hanya diam saja.
Zira hanya menghela napas dan tak menjawab, rupanya dia masih marah dengan cara ibunya tadi. Zira paling menyalahkan mertuanya itu, gara-gara mertuanya yang selalu dekat dengan Citra maka kejadian aneh sering terjadi.
Sadar dengan sikap Zira yang seperti itu akhirnya dengan suka rela nenek citra pergi sendirian ke arah kamarnya. "Ibu mau ke kamar saja. Kamu jangan tinggalkan citra sendirian." Sambil berjalan Asih bicara, sebetulnya dia masih cemas dan tak ingin meninggalkan citra, tapi seperti yang sudah terlihat jika zira selalu tak terima jika dirinya berada dekat dengan Citra, begitupun mungkin nasehatnya baru saja, zira tak akan mendengarkannya.
"Nenek-nenek, dasar! Udah tahu itu anak kaya gitu, masih pemulihan, masih lemah, bicara seenaknya, sembarangan." Gerutu Zira berbicara sendiri.
Ketika berbalik mata zira menangkap sesuatu yang aneh, seketika dia merasa seperti ada sesuatu yang baru saja masuk ke kamar Citra. Terlihat sekelebat seperti bayangan. Memikirkan hal itu zira bingung mengapa merasa merinding seketika. Tapi lagi-lagi zira tak mengindahkan apa yang dikatakan oleh Asih mertuanya tadi, meski mengalami kejadian aneh Zira tetap saja pergi dan tidak mengawasi citra.
Sedangkan Asih yang sudah masuk ke dalam kamar masih tampak gelisah. Dia berjalan mondar-mandir dan pikirannya tidak lepas dari citra. Ada sesuatu yang membuat hati Asih berat dan tidak tenang. Tentu saja sesuatu yang terjadi di masalalu dan dia tidak pernah berharap jika karena hal itu mungkin keluarganya? Pikiran Asih terhenti lagi.
Membayangkan wajah Ahmad, membuat Asih semakin tidak tenang, dia takut sekali.
Andaikan 13 tahun yang lalu tidak membawa sembarangan orang ke rumah, mungkin? Lagi-lagi pikiran Asih terhenti.
Sebenarnya sudah lama Asih ingin membuang jauh-jauh pikiran itu, dia ingin hidup tenang dengan semua yang sudah ada di masa depan sekarang, yang terpenting adalah kehidupan saat ini.
"Bu! Bu!" Panggil seseorang terdengar dari luar. Suaranya adalah milik kavi anaknya. Buru-buru Asih keluar dari kamar.
"Kavi!" Ucapnya menyambut kedatangan anaknya itu. Padahal jarak rumah dan kantor cukup memakan waktu jika hanya mengendarai mobil, tapi kavi sudah cukup cepat untuk pulang.
"Mana Zira dan Citra Bu?" Tanya kavi setibanya masuk ke dalam rumah.
Asih seperti terpikirkan sesuatu. "Ayo kita temui citra sekarang!" Terlihat yang paling panik, padahal asih senang karena bisa menggunakan alasan anaknya dia bisa bertemu dengan Citra.
Kavi berjalan menyusul ibunya yang pergi ke kamar citra.
"Mas Kavi!" Panggil zira mendekat, tapi matanya mulai sinis karena melihat mertuanya itu sudah nyelonong masuk ke kamar citra.
Kavi berhenti melihat istrinya yang berjalan ke arahnya. Sebenarnya Kavi sudah tahu jika Zira tidak begitu senang jika Ibunya dekat dengan Citra. "Sudah, ibu mungkin sangat khawatir. Memangnya kenapa dengan citra?" Tanya kavi penasaran dan ingin mendengarkan penjelasan dari istrinya itu.
"Tanya saja sama ibu kamu!" Jawab judes Zira, keduanya mengikuti Asih yang sudah lebih dulu masuk ke dalam kamar.
"Citra baik-baik saja Nak! Citra udah tidur." Ucap Asih ketika kavi dan Zira baru saja masuk. Asih duduk di samping kasur menatap citra penuh khawatir. "Ibu tidur di kamar citra saja ya!" Pintanya pada Kavi dengan sengaja, karena kavi tidak pernah menolak permintaannya, dia juga tidak peduli dengan Zira yang tidak suka padanya.
Mendengarkan permintaan dari ibunya Kavi diam dulu tidak langsung menjawab, dia semakin tidak enak dengan hubungan ibu dan istrinya. Kavi menatap ke arah Zira berharap kali ini Zira bisa bicara, tapi harapan kavi pupus karena zira yang tampak tidak peduli. "Boleh Bu. Ibu tidur di kasur yang satunya lagi. Nanti aku bawakan ibu kasur ya!" Tapi jawaban kavi pada akhirnya tidak lagi menunggu pendapat zira. Kesal dengan suaminya itu Zira langsung keluar dari kamar.
"Bu! Jangan diambil hati ya!" Kavi langsung memberikan pengertian pada ibunya itu dan memilih tak mengejar Zira.
"Ibu hanya khawatir sama citra. Ibu makanya mau tidur di sini. Gak apa-apa kan?" Bukannya membahas sikap zira yang seperti tadi, Asih masih terus meminta pendapat Kavi agar dia diizinkan tidur menemani Citra.
"Boleh Bu. Tunggu sebentar, kavi mau mengambil kasurnya dulu." Kavi juga ikut keluar dari dalam kamar citra saat itu. Dan sekarang hanya tinggal citra dan neneknya Asih.
Asih terus menatap citra, dia sangat menyayangi citra meski sekarang batinnya masih terus berdebat, tapi demi citra dia akan bersikap baik-baik saja dan menganggap jika tidak ada hal lain yang dia takutkan. Suara dan teror itu tidak ada apa-apanya. Tidak akan pernah terjadi lagi.
Ketika tenang menatap citra tiba-tiba wajah citra tampak berbalik dengan sendiri nya dengan cara memutar ke belakang memperlihatkan mata yang melotot melihat ke arah neneknya dengan tatapan benci. Seketika Asih langsung syok dan hanya bisa menahan mulutnya agar tidak berteriak.
"Bu!" Terdengar kavi memanggilnya lagi. Asih menoleh melihat kavi yang membawakan kasur dan selimut untuknya.
Asih masih berusaha bersikap biasa saja, meskipun keanehan satu persatu tampak nyata di depan mata. Ketika menatap ke arah citra lagi, tampak citra baik-baik saja dengan posisi tidur yang seharusnya.