Sensasi Duda Seksi

Dua puluh empat hari berlalu begitu saja, aku sudah tinggal dengan seorang duda selama hampir satu bulan. Dan untungnya aku masih perawan meskipun se atap dengan seorang pria dewasa. Semua hari kami lewati dengan banyak cerita, kami punya dunia masing-masing di luar sana dan membagi dunia berdua saat sudah di Villa. Namun sekarang semuanya sirna, usahaku telah berakhir. Aku akan menjalani kehidupan baruku.

Karena kini, kami adalah pasangan suami istri. Aku dan Rhine sudah resmi menikah di atas kertas. Aku berhasil.

Kemarin sore adalah akhir pekan, aku pulang lebih awal karena persediaan minuman habis disebabkan banyaknya pelanggan. Aku tidak langsung mengeringkan rambutku selesai mandi, aku masih membungkusnya dengan handuk sambil berjalan mendekat ke tempat tidur. Aku mendengar ponselku berdering saat aku mematikan shower, tapi aku tidak mungkin tergesa-gesa keluar dengan basah dan telanjang.

[4 panggilan tak terjawab]

Aku mengklik notifikasi yang ada di layar ponsel setelah aku mengidentifikasi sidik jariku untuk membuka kuncinya. Rhine. Pertama kalinya aku menerima panggilan masuk darinya, dan itu langsung sebanyak empat kali. Aku cemas, apa mungkin terjadi sesuatu padanya. Aku menelponnya balik. Bunyi panggilan tersambung terus terdengar hingga suara seseorang wanita mengatakan jika nomor itu tak bisa dihubungi, dia menyuruhku meninggalkan pesan.

Cemas. Jujur saja aku panik dan takut, bagaimana jika terjadi sesuatu padanya. Aku terus menelponnya, mondar mandir di depan jendela dengan handuk yang masih menutup kepalaku. Tapi tak ada jawaban. Aku berhenti, aku tak mencoba menghubungi nya lagi. Berfikir, aku mencoba menebak apa yang membuat pria itu menelpon ku.

Suara mobil berdecit di luar membuatku langsung berlarian keluar dari kamar, dengan hanya mengenakan handuk kimono tosca rabbit menutupi tubuhku. Aku membuka pintu, dan Rhine sudah berdiri di depanku.

"Kau baik-baik saja?" aku sedikit berjinjit untuk meraih wajahnya, memutarnya ke kanan dan ke kiri. Aku memeriksa, lalu tanganku turun ke bawah untuk memeriksa lebih lanjut. Tepat saat aku menjalari tangannya, dia menggenggam tanganku dan tiba-tiba memelukku. Aku mematung dan terdiam, tak bergerak sedikitpun.

"Aku berhasil.. Kita berhasil, Jade." ucap Rhine di telingaku. Dia melepas pelukannya dan menatapku dengan mata yang berbinar-binar, dia tampak bahagia. Sangat bahagia.

Aku bingung, aku sungguh tak tahu apa yang berhasil disini. Aku mencoba untuk menerka tapi tak bisa. Aku menaikkan alisku untuk meminta penjelasan.

"Aku sembuh, dia bisa berdiri." Dia memelukku lagi.

"Eh?" Mataku berkedip-kedip dan kurasa wajahku sudah memerah sekarang karena membayangkan sesuatu yang intim. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku mengusir pemikiran itu. Aku mengangkat tanganku untuk memeluknya juga, aku ikut senang. Aku tersenyum. Pilihanku untuk tetap tinggal dan tidak membatalkan rencana ku tidak salah. Yes. Aku akan menjadi istri pria kaya. Aku akan menghabiskan sisa hidup ku dengan kedamaian...

Kembali ke masa sekarang.

Kami baru saja kembali dari kantor sipil mendaftarkan pernikahan. Rhine mengantarku kembali ke Villa sementara dia pergi lagi karena ada pertemuan bisnis, dia juga bilang padaku kalau aku bisa libur bekerja hari ini. Dia sudah memintakan izin untukku pada Gea.

Pemandangan yang menakjubkan. Aku bisa melihat pemandangan laut dari ketinggian dari luar jendela kaca besar di lantai atas, di kamar Rhine. Aku sempat terpana begitu membuka pintu kamarnya. Ini pertama kalinya aku ke kamarnya sejak tinggal disini.

Dan mulai malam nanti, aku bisa tidur dengannya. Dikamar ini. Dan di ranjang ini, ranjang berukuran king yang nyaman. Aku menghempaskan tubuhku di kasurnya, aku bisa mencium aroma Rhine yang tertinggal disana.

Tak lama, aku bangun dan merapikan kembali tempat tidurnya. Rapi seperti semula, dia pria yang bersih. Mataku teralihkan pada buku kecil yang ada di atas meja dekat lampu tidur. Buku itu seperti sebuah catatan. Aku mengambilnya karena penasaran karena aku tak yakin pria sepertinya akan punya buku diary.

Kehadiran dan catatan perkembangan. Itu adalah buku catatan terapi Rhine di psikiater. Aku membalikkan sehelai demi sehelai kertasnya sambil membaca cepat, pria itu datang setiap hari. Catatannya penuh dengan saran dan hal-hal yang harus dia lakukan. Dia sudah sangat berusaha. Aku tersenyum setelah menutup buku itu, dia langsung menikahi ku begitu dia sembuh. Dia menepati janjinya.

Aku menghabiskan hariku dengan bersih-bersih sekaligus memindahkan barang-barang ku ke kamar Rhine. Dia punya kamar yang lebih besar dari pada kamar yang ku tinggali sebelumnya sehingga aku bisa mengaturnya dengan leluasa.

Matahari tenggelam juga tampak indah jika dilihat dari kamarnya, aku takjub begitu masuk setelah selesai memasak karena melihat pemandangan indah. Aku menikmati senja sebentar sebelum mandi.

Rhine belum kembali, sepertinya dia masih di perjalanan. Aku ada janji malam ini dengan Hana dan Ryan, sekaligus aku ingin memberitahu mereka tentang hubungan ku dan Rhine. Aku sudah mengirim pesan pada Rhine sore tadi jika aku akan ke bar Ryan. Namun aku masih belum mendapat balasan. Aku menyiapkan hidangan makan malam di meja, dia bilang ingin makan malam denganku pagi tadi.

Aroma tubuh yang familiar, aku mencium aroma Rhine saat sepasang tangan melingkar di pinggangku. Awalnya aku sedikit terkejut, aku bahkan tak mendengar suara hentakan kaki ataupun pintu terbuka. Dia sungguh berjalan seperti pencuri, aku tak menyadari kedatangan sedikitpun. Atau mungkin karena aku sibuk memikirkan bagaimana aku akan mengatakannya pada Ryan dan Hana.

"Ehmm, harum." bisik Rhine di telingaku. Tangannya mulai bergerak mengelus-elus perutku. "Kau juga memakai rok pendek, apa rencanamu malam ini gadis nakal?"

Aku mendengus tersenyum mendengar perkataannya seakan aku tahu apa yang sedang dia pikirkan, dia pasti berpikir jika aku berdandan untuk menyambutnya. Aku tak ingin dia salah paham, "Aku ada janji dengan Hana dan Ryan nanti, apa kau tidak membaca pesanku?"

"Ah ya? Kau mengirim pesan? Aku tidak mengecek ponselku selama perjalanan. Aku tidak tahu ada pesan masuk." Rhine membela diri. "Tapi..," dia melepas pelukannya dan berdiri berhadapan denganku. Dia menatapku dari kepala hingga ujung kaki. "kalian berencana berpesta tanpaku?" lanjutnya lagi.

"Tidak, tidak. Bukan begitu, aku.."

"Aku tidak mengizinkannya," tegas Rhine lantang. Aku terkejut, sangat terkejut. Aku pikir dia akan mengiyakannya, apa dia ingin menjadi suami yang tidak akan membiarkanku keluar. Dia juga membuatku di rumah seharian ini.

"Kenapa? Aku hanya.."

"Aku ikut," Rhine tersenyum dan mengedipkan satu matanya padaku. Aku sungguh lega, pikiran negatif yang muncul di kepalaku sungguh membuatku tidak tenang. "Aku akan mandi dulu dan bersiap, kita akan pergi setelah makan malam." Rhine berjalan menjauh dari ku, dari meja makan. Dia berjalan menaiki tangga. "Dan Hana, dia bisa menumpang dengan kita." ucapnya lagi sebelum dia menghilang di ujung tangga.

Aku mengangguk sambil menata piring dan peralatan makan.

...----------------...